Keberagaman dan Kebhinekaan dalam Sastra
[Esai ini pernah ditayangkan di Riau Pos pada 23 Januari 2022]
Dengan rendah hati aku mengakui: Aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.
Pramoedya Ananta Toer [Anak Semua Bangsa]
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini ditopang oleh keragaman budaya yang telah berakar dalam sejarah panjang bangsa ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, agama, adat-istiadat dan tradisi. Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila menjadi falsafah pengikat untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam sebuah “komunitas terbayang”, istilah Ben Anderson, yang bernama bangsa Indonesia.
Bangsa ini dengan keragaman budayanya dapat disebut sebagai bangsa multikultural yaitu, berbagai kelompok kultural yang hidup dan berinteraksi secara berdampingan dalam komunitas masyarakat tertentu. Dalam novel-novelnya, seperti Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer menarasikan dengan jitu tentang keragaman suku dan etnis yang mendiami kepulauan nusantara.
Istilah multikultur mengamini bahwa manusia dapat hidup dalam perbedaan-perbedaan di luar kelompoknya sehingga toleransi antar sesama kelompok masyarakat adalah sebuah keniscayaan demi terciptanya kohesi dan harmoni sosial. Fenomena-fenomena yang melingkupi bangsa multikultural seperti hibriditas budaya, pola-pola toleransi, hingga konflik sosial juga terekam ke dalam karya sastra. Karya semacam ini dapat dikategorikan sebagai sastra multikultural.
Dalam buku Sastra Multikultural, Taufiq (2014) menulis bawah sastra multikultural pertama-tama berpijak pada karya sastra yang mencerminkan keberagaman budaya. Sastra multikultural dalam konteks keindonesiaan adalah potret ragam aneka kebudayaan yang hidup di bumi nusantara ini di dalam karya sastra. Membaca sastra multikultural adalah membuka pintu masuk untuk mengenal budaya kelompok lain melalui misalnya, kisah-kisah yang bercerita tentang upacara agama tertentu, ritual pernikahan kelompok kultural tertentu atau tradisi pemakaman etnis tertentu. Karya sastra semacam ini merefleksikan fakta bahwa bangsa ini adalah bangsa yang menjunjung tinggi toleransi dan solidaritas antar sesama.
Sastra multikultural dapat menggambarkan adanya hibriditas biologis dan budaya antara satu etnis dengan etnis lain yang berjalan dengan baik tanpa adanya persinggungan sosial yang cukup tajam. Seperti yang terekam dalam novel Pecinan Kota Malang (2008) karya Ratna Indraswari Ibrahim dimana sorang tokoh beretnis Tionghoa yang telah menyatu dengan keindonesiaan. Ia lebih senang dipanggil dengan nama ‘Jawa’ Anggraeni daripada nama Tionghoanya. Ayahnya adalah seorang aktivis nasionalis dan kakaknya meninggal saat Perang Revolusi Agresi Belanda I. Perkawinannya dengan anak anggota Partai Nasional Indonesia yang bersuku Jawa juga tidak mengalami hambatan sosial apapun.
Perbedaan aliran keagamaan juga tidak menghalangi pernikahan Miftah dan Fauzia di dalam Novel Kambing dan Hujan (2015) karya Mahfud Ikhwan. Bahkan, perkawinan keduanya malah menjadi tabir pembuka rekonsiliasi ketegangan sosial yang terjadi antara pengikut Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Tidak terdapat konflik sosial yang tajam meskipun warga dari kedua ormas ini saling membandingkan, memperdebatkan, dan mempertentangkan bahkan mengejek perbedaan-perbedaan pandangan di dalam menjalankan agama.
Karya sastra semacam ini menggambarkan fenomena multikultural bangsa ini secara lebih lembut (soft) ketika kelompok agama dan etnis hidup dalam iklim sosial yang kondusif sehingga tidak terjadi kekerasan fisik, pembunuhan, pengusiran atau perusakan secara masif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.
Namun, sastra multikultural tidak hanya bercerita tentang fakta-fakta yang membahagiakan tentang takdir multikultural bangsa ini. Sastra multikultural juga berkembang lebih jauh dengan menjadi suara-suara yang membela kelompok-kelompok-kelompok agama, etnis, ras ataupun gender yang selamaini terpinggirkan dan termarginalkan secara sosial.Periode pasca reformasimenandai munculnya karya-karya sastra yang lebih berani dan keras (hard) dalam membela kaum-kaum mustadh’afin, menyuarakan hak-hak minoritas, dan memperjuangkan warga-warga yang lemah.
Karya-karya sastra semacam ini mengungkap keberagaman dan perbedaan kultural sebagai pemicu tegangan dan konflik sosial. Baik itu berupa konflik vertikal antara negara dan kelompok sosial atau konflik horisontal antara kelompok masyarakat (mayoritas dan minoritas). Sastra multikultural dalam hal ini menjadi corong bagi kelompok yang tidak dapat beraktualisasi diri dantidak memperoleh akses sosial padahal negara telah menjamin tentang kesetaraan hak-hak warganya.
Kaum minoritas beragama seperti Ahmadiyah dalam novel Maryam (2012) karya Okky Madasari diceritakan mengalami diskriminasi dan pengusiran. Rumah tempat tinggal mereka yang sah dirusak, dihancurkan dan dibakar. Novela Rumah Jadah (2019) karya Royyan Julian juga berkisah tentang stigma yang melekat pada seorang penganut Syiah sehingga dia gagal menjadi kepala desa. Karya-karya ini menjadi contoh tentang gambaran minoritas yang tidak dapat menjalankan agamanya secara bebas dan tanpa gangguan di negeri ini.
Persoalan keterpinggiran sosial masyarakat etnis terekam dalam novel Tanah Tabu (2009) karya Anindita S. Thayf. Permasalahan etnisitas berkelindan dengan eksploitasi kapital. Masyarakat suku Dani di Papua bermigrasi karena kehadiran perusahaan tambang yang mengeruk kekayaan dari tanah leluhur mereka. Para perempuan utamanya menjadi korban dari sistem kapital ini. Ketika laki-laki banyak kerja di tambang dan kemudian mereka bermabuk-mabuk yang mengakibatkan kekerasan rumah tangga menjadi meningkat.
Masalah diskriminasi sosial tidak hanya dalam hal etnis dan agama, tetapi juga perbedaan gender. Yonathan Rahardjo dalam novel Taman Api (2011) berkisah tentang kaum waria yang mendapatkan stigma negatif menjadikan mereka terpinggirkan secara sosial. Hal ini memberikan gambaran tentang kompleksitas kehidupan waria yang masih dibalut dengan kekerasan dan diskriminasi karena perbedaan ekspresi dan identitas gender.
Karya-karya sastra multikultural yang mengandung diskriminasi dan marginalisasi semacam ini menghadirkan rasa sakit, duka lara dan pedih luka dari orang-orang yang dianggap berbeda. Pengalaman membaca karya sastra semacam ini membuat pembaca untuk lebih menghargai dan menghormati orang-orang yang berbeda.
Walhasil, sastra multikultural yang berkisah tentang keberhasilan hibriditas budaya dan toleransi mengajarkan kita untuk mensyukuri keindahan dan keunikan bangsa ini. Di sisi lain, sastra multikultural yang bercerita tentang narasi intoleransi menyadarkan kita untuk terus merawat dan mengelola perbedaan secara lebih dewasa demi meminimalisir eskalasi konflik antar kelompok masyarakat agar bisa hidup berdampingan dengan harmonis sebagai sesama warga Indonesia.
Komentar
Posting Komentar