Gadis Penumpang Mikrolet

   [Dimuat di Radar Surabaya 14 Februari 2016]



Jalanan masih basah oleh rintik-rintik hujan saat malam memeluk kabut yang terus turun. Aku menatap tajam ke depan, lurus. Tiba-tiba, seberkas cahaya menyorot langsung ke mataku dan menikam pandanganku, aku memalingkan wajah menghindarinya. Kaca depan mikrolet yang berembun, melindungiku dari hunusan kilauan cahaya dari mobil yang datang sekelebat. Jalanan lengang karena hujan yang turun semenjak siang tadi.

Kulihat kaca spion di samping kananku, tak terlihat pejalan kaki di tengah-tengah medan yang dikuasai rintik air ini. Sekotak kaca diatas kepalaku, kulirik, kursi panjang dibelakang punggungku kosong dan gelap. Tiba-tiba, kuingat tangisan anakku yang menyusu bersembunyi di balik ketiak ibunya. Ibu yang sudah menemaniku sejak beberapa tahun terakhir.

“Pak, jalan Jakarta, Pak”, suara seorang gadis membuyarkan lamunanku. Dia melongok dari balik pintu di belakang punggungku. “Silahkan masuk,” ucapku pelan. Dia menunduk memasuki besi tua ini. Terdengar suara benturan sepatunya beradu dengan lempeng berkarat yang dia injak. Kulirik kaca spion diatasku, dalam gelap yang menyelimut kupicingkan mataku. Sesosok gadis masih dengan pakaian sekolahnya, abu-abu putih.Tas biru laut menghiasi punggungnya. Dia mengikat rambut panjangnya yang basah. Caranya mengikat rambut dan wajahnya yang bercahaya membuatku terpesona. Baju dan roknya sedikit basah, tertimpa hujan, batinku. Sejurus kemudian, dia mengibaskan roknya, membuat angin yang akan mengeringkan roknya.

Kustarter mikroletku, suara menderu memecah keheningan malam. Pelan-pelan kutancap gas, mobil besi itu membelah rintik-rintik hujan dan berselancar di jalanan. Kulirik cermin diatasku, gadis itu mengeluarkan hape androidnya, memainkan jari lentiknya di atas dunia yang tak bertepi, tanpa batas.

“Baru pulang sekolah ya?” tanyaku membuka percakapan.

“Iya,” jawabnya ketus.

“Sekolah dimana?” menimpali jawabannya.

“SMA 3,” jawabnya.

Sepertinya dia tidak lagi ingin bercakap-cakap, asyik masyuk dengan gadget yang dia mainkan. Jari jemarinya menari diatas papan seluncur yang bercahaya. Sekulum senyum terbit di bibirnya. Entah, apa yang dia senyumkan aku tak tahu. Akupun diam, fokus dengan jalanan yang masih basah. Terdengar cipratan air saat roda mikrolet menghempaskan air genangan.

“Ini jalan Jakarta, Mbak.” Dia terkaget. “Agak ke depan, Pak. Itu gerbang warna biru.” Saat mikrolet berhenti, dia memberiku satu lembar lima ribuan dengan gadget masih di tangan kirinya. Sosoknya menghilang ditelan gerbang biru yang kokoh.

***

Hari ini tak sekelabu kemarin. Mega merah terlihat mempesona di ufuk barat. Lalu lalang manusia silih berganti. Semilir angin menerpa wajahku yang keluar dari jendela mikrolet. “Terminal, Stasiun, Balaikota, Terminal, Stasiun, Balaikota,” teriakku. Seorang pejalan kaki hanya menoleh ke arahku. Bahkan beberapa lainnya tak menghiraukan teriakanku. “Ah, mereka memang belum membutuhkan mikroletku,” kataku dalam hati.

Kulirik cermin diatasku. Ibu, bapak, tante, anak sekolah, mahasiwi berjubel di belakang punggungku. Mereka duduk berhimpitan, melebur menjadi satu. Mikrolet ini akan mengantarkan mereka ke tujuan, melepaskan lelah mereka setelah seharian beraktivitas. Kemudian, mereka akan bertemu keluarga dengan senyum yang sudah menyambut di depan pintu.

Seorang nenek dengan tampah bambu duduk di pojokan. Dia datang paling awal dengan beberapa buah pisang di tampah-nya. Sepertinya dia baru jualan di pasar. Seorang pria dengan baju masuk celana duduk di samping nenek. Penampilannya yang rapi menunjukkan bahwa dia pekerja kantoran.Dia resah, berkali-kali melihat arloji yang bertengger di tangan kirinya. Disampingnya lagi, seorang perempuan berbaju putih dari kepala hingga kaki, kecuali sepatunya saja yang hitam. Di sudut satunya, dua ibu-ibu bercakap-cakap. Entah apa yang mereka cakapkan, aku tidak tahu, tapi dari gesture  tubuh mereka, aku tahu kalau mereka baru berkenalan di atas mikrolet ini. Aku yakin bahwa berpuluh tahun aku mengemudikan mikrolet ini, telah ratusan orang saling mengenal dan berjabat tangan di atasnya.  Dari sudut kecil yang tergambar dari kaca spion di atasku, aku telah melihat banyak orang dengan peranannya masing-masing di dunia ini. Ya, dari kaca spion itu, aku mampu melihat apa di balik punggungku.

“Ayo, Pak. Jalan! Mau menunggu apa lagi!” teriak nenek di pojokan tak sabar. Aku hanya terdiam membisu. Tinggal satu orang lagi, mikrolet ini akan meluncur, batinku. Kalau saya bergegas, setoran yang harus kubayar tiap minggunya tidak akan tercapai. Tiba-tiba, raut wajah bayi yang sembunyi di balik ketiak ibunya terlintas di benakku. Ah, hari telah beranjak malam.

Seorang gadis SMA berlari menuju pintu mikrolet. “Jalan Jakarta, Pak” ucapnya. Sepertinya dia gadis semalam, seikat rambut yang membuatnya mempesona dan tas biru di punggungnya adalah bukti. Ya, dia gadis semalam, aku yakin.

Kustarter mikroletku. Derunya yang khas telah kudengar selama bertahun-tahun. Jalanan telah menjadi arena pacuannya setiap hari. Berlomba dengan mobil yang semakin hari semakin berjubel di jalanan. Begitu pula dengan sepeda motor yang makin ngawur para pengemudinya. Jalanan yang lebar makin hari makin sempit. Mikroletku yang sedang menggeliat di tengah kemacetan adalah saksi semrawutnya tata kota dan tata ekonomi kota ini.

Kulirik kaca spionku, gadis SMA tadi menarik perhatianku. Seperti kemarin, dia mengeluarkan gadgetnya, jari lentiknya menari di atas lautan informasi. Sekumpulan orang-orang yang duduk berdesak-desakan tidak diperdulikannya. Dia terus memandangi gadgetnya. Jalanan masih macet, kendaraan masih merangkak perlahan. “Jam segini, semua orang sedang pulang kerja,” gerutu mahasiswi yang duduk tepat dibelakang punggungku.

Secara mendadak, sepeda motor menyelinap di depan mikrolet, dengan kecepatan tinggi sang pengendara lewat diantara mikrolet dan mobil di depanku. Aku kaget dan mengerem mendadak. Ku rasa bagian belakang sepeda sedikit tertabrak. “Hei, jalan pelan-pelan, kalau jalan pakai mata dong!!!” aku berteriak lewat jendela disampingku. Sumpah serapah kuucapkan dalam hati.

Keramaian muncul di belakang, kutoleh kaca spion di atas. Ternyata, gara-gara rem mendadak tadi, pisang si nenek jatuh berhamburan di lantai besi bersama dengan tampah­-nya. Beberapa penumpang di dekatnya memunguti pisang-pisang tadi. Yang lainnya, memandangi nenek dengan belas kasihan dan empati. “Hati-hati ya, Nek, bawa pisangnya,” ujar petugas kantoran yang duduk disampingnya.

Tiba-tiba, saat semua pisang belum habis terpungut, gadis SMA tertawa terbahak-bahak sambil memandangi hapenya. Semua penumpang terbengong melihatnya, semacam ada secuil kecewa memasuki lerung hati mereka. Gadis berbaju putih-putih menatapnya nanar dan menggelengkan kepalanya dengan pisang masih di tangannya. Entah, apa yang ada dalam dunia gadgetnya hingga dia tertawa, namun dia tidak merasa tertikam ketika semua pandangan tajam nan runcing menembus batas kelakuannya.

“Stasiun,” ucapku agak keras.

Stasiun mengalihkan pandangan mereka dari gadis itu. Banyak penumpang turun menuju stasiun. Tinggal enam orang di mikrolet termasuk nenek dan gadis itu. Mikrolet melaju lagi.

“Jalan Jakarta,” aku berteriak. Tiada yang menyahut. Aku tahu kalau gadis kemarin akan turun disini. Dia masih asyik dengan mainan teknologinya. “Jalan Jakarta,” kataku lebih keras. Dia masih belum menoleh. Aku menoleh ke belakang. “Mbak, mau turun apa tidak?” Gadis itu mengangkat dagunya, melihat sekeliling. Dia baru sadar bahwa dia sudah sampai di depan rumahnya. Dia juga sadar bahwa saya bertanya kepadanya. “Iya, Pak, saya turun disini,” balasnya. Dia memberi uang lima ribuan dan tenggelam bersama gerbang biru itu.

***

Setiap hari, saat malam mendekap senja, mega merah dan keletihan pekerja, gadis SMA itu selalu muncul di kaca spionku. Rambutnya yang tergerai indah selalu kuintip dari sudut sempurna spion. Entah, aku begitu terpesona dengan rambutnya yang terikat dan bergoyang-goyang di atas panggungnya.

Aku belum berani menanyakan namanya sebagai sebuah simbol perkenalan. Lagipula, matanya masih tertuju pada jari jemari yang menari di atas altar cahaya. Jiwanya masuk ke dunia antah berantah. Lagipula, siapa saya? Mengimajinasikan dunianya itu saja aku tak mampu, apalagi memasukinya.

Hingga pada suatu senja, dia berlari menuju ke arah mikroletku. “Jalan Jakarta, Pak”, seperti biasanya dia berucap. Kulirik spionku, hanya enam orang duduk di belakang. Ah, aku harus cepat mangkat, setoran hari ini sudah cukup. Aku tak perlu berlama-lama disini.

Mikrolet berjalan pelan, mengikuti rentang cahaya di pinggiran jalan. Aku kaget, tangan gadis itu terikat rantai. Kulihat sekali lagi, rantai berkilat-kilat. Untung jalanan agak lengang. Rantai itu mengikat tangan dan gadgetnya. Seorang melambai-lambai di pinggir jalan, mikroletku menepi. Saat kuintip, gadis itu masih memegang gadgetnya, tapi rantainya menghilang. Rantai itu hanya ilusi, pikirku.

“Jalan Jakarta, Mbak,” kuberhentikan tepat di depan rumahnya, rumah dengan gerbang biru.

Dia turun perlahan. Rantai terlihat kembali, memancarkan sinar. Aku terkejut, tiba-tiba dari arah berlawanan, sepeda motor dengan kecepatan tinggi menubruk badan semampainya. Dia jatuh, terhempas. Sepercik darah melayang, membasahi kaca mikroletku. Teriakannya membahana. Sebersit kenangan menghampiriku. Rambutnya yang terikat, tas birunya, dan gerbang biru rumahnya, dan gadget di tangannya. Bahkan, aku belum tahu namanya. Kemudian gelap turun, memenuhi pikiran dan hatiku. 

                                                       

Komentar

Postingan Populer