Lima Pertanyaan Kalis tentang Manis Gula

 

NASKAH DISKUSI CERPEN “BERSEPEDA KE PABRIK GULA”

PROGRAM URAI TANAH

KOMITE SASTRA, DEWAN KESENIAN SIDOARJO

 

“Lima Pertanyaan Kalis tentang Manis Gula”

 

/1/

Dalam menggarap cerpen Bersepeda ke Pabrik Gula ini, hal pertama yang saya lakukan adalah menggali ingatan-ingatan masa kecil saya tentang pabrik gula. Saya berkeyakinan pabrik gula berhubungan dengan tebu. Dan tebu berhubungan dengan tanah. Seperti yang kita semua tahu, tanah adalah tema dari pagelaran acara yang dihelat oleh Komite Sastra Dekesda ini.

Kenangan masa kecil saya tentang pabrik gula bermula dari pasar malam yang diadakan tujuh hari tujuh malam di pelataran Pabrik Gula Watoe Toelis. Itulah saat-saat kakek saya, dengan sepeda reotnya, membonceng saya menyusuri jalan berbatu tepi sungai menuju pabrik gula. Itulah saat-saat saya merasakan betapa manis balon gulali: bola-bola manis dari serat-serat gula. Itulah saat-saat saya pertama kali menggoreskan kanvas. Itulah saat-saat saya mengagumi roda yang begitu besar di tengah pabrik. Roda yang saking besarnya disebut sebagai roda gila. Itulah saat saya menonton pagelaran wayang semalam suntuk.

Nah, berdasarkan kenangan ini pula, hal pertama yang saya tuliskan adalah pengalaman berkunjung ke pasar malam ini. Kemudian, pengalaman ini saya sangkut-pautkan dengan masa kecil saya sebagai seorang penggembala domba serta ingatan-ingatan tentang kenakalan-kenakalan saya ketika menarik lonjor-lonjor tebu dari lori-lori pabrik yang melintas. Saya kira, orang-orang yang dulu mengenyam masa kecil di Sidoarjo, dan hidup di sekitar sawah tebu, pasti pernah mencuri tebu, baik langsung mbacok di sawahnya atau menariknya dari lori atau truk.  

Pada titik ini, dalam cerpen saya, saya menuliskan hal-hal yang dekat dan hal-hal yang akrab dalam kehidupan saya. Yaitu, pengalaman masa kecil saya.

 

/2/

Tentu, masa kecil orang seperti saya tidaklah menarik untuk banyak orang. Kecuali saya adalah rafathar, cipung atau anak presiden yang maju jadi cawapres. Maka, strategi saya selanjutnya dalam menuliskan cerpen adalah saya akan menarik pengalaman hidup saya pada hal-hal yang lebih besar. Mencari cantolan universalitas dari pengalaman hidup saya. Yaitu, menghubungkannya dengan hal-hal yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Terutama berkaitan dengan alam, tradisi dan kritik sosial. Nah, entah mengapa, saya punya kecenderungan besar dalam diri untuk menulis tema-tema tersebut.

Perihal alam, sudah selesai pada tataran tematik program ini. Maka, saya langsung tidak menolak ketika diberi tawaran untuk terlibat dalam project ini. Apalagi yang menawarkan Mas Ferdi Afrar, dedengkot sastra Sidoarjo, tentu saya lebih tak berani lagi menolak.

Perihal tema alam ini, saya pernah menulis cerpen Janji Kelud untuk Bapak, cerpen Hujan Tidak Pernah Salah, cerpen Perempuan Daun Pisang dan lain-lainnya. Tentang tradisi, saya pernah menulis cerpen berjudul Larung Sengkala tentang tradisi larangan menikah bagi orang kulon kali dan etan kali di wilayah Mataraman. Cerpen saya yang lain, dengan judul Kuburan Pasir Hitam, menyoal perihal perlawanan Salim Kancil di Pantai Watu Pecak, Lumajang. Beberapa terkumpul dalam kumcer Rembulan di Bibir Teluk (Pelangi Sastra, 2021). (Promosi dikit tidak apa-apa ya?) Mungkin, kecenderungan ini, sekali lagi, karena kedekatan tema-tema tersebut dengan kehidupan saya pribadi.

Maka, dalam penggarapan cerpen ini, saya kemudian mencari-cari poin kedua, yaitu tradisi dan adat istiadat yang berhubungan dengan tebu, pabrik dan gula. Akhirnya, sampailah saya pada ritual di pabrik gula yang menjadi bagian integral dari pasar malam. Yaitu, manten tebu. Ya, manten tebu. Bagi yang jomblo-jomblo, tebu saja jadi manten, kamu kapan?

Saya, secara pribadi, pernah melihat prosesi arak-arakan manten tebu. Bayangan sekilas dari ingatan anak kecil. Tetapi, saya tidak mengamatinya secara detail. Maka, untuk mendapatkan bayangan dan imajinasi tentang ritual ini, saya menelusuri rimba raya internet.

Tradisi manten tebu digelar untuk mengawali musim penggilingan tebu dan sebelum tebu dimasukkan ke dalam mesin penggiling. Dua tebu terbaik, pria dan wanita, dihias layaknya pengantin dan diarak mengelilingi pabrik. Lalu, dua tebu tersebut dimasukkan ke dalam mesin penggiling sebagai tanda bahwa musim giling akan segera dimulai.

Seperti halnya ritual-ritual Jawa lainnya yang selalu menitik-beratkan pada rasa syukur, manten tebu diselenggarakan tentu sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen, sekaligus doa agar proses penggilingan tebu dapat berjalan dengan lancar, dan hasilnya dapat memenuhi target. Manten tebu ini sampai sekarang, pada beberapa pabrik gula di Jawa, masih diselenggarakan menjelang buka giling.

Membaca referensi-referensi tentang manten tebu, baik dari jurnal maupun koran, pertanyaan-pertanyaan mengambang dalam pikiran saya: (1) apakah benar, secara historis, manten tebu hanya sebagai wujud rasa syukur dan doa saja? (2) Jika memang sebagai bentuk rasa syukur, apa petani tebu benar-benar sejahtera hidupnya dengan mengandalkan hasil tani tebunya? (3)  Apakah pagelaran manten tebu, pada masa kini, benar-benar dimaksudkan untuk melestarikan warisan budaya lokal? Atau (4) Apakah manten tebu dapat jadi inspirasi agar para jomblo segera menikah?

Saya lalu mencoba untuk menuangkan kegelisahan-kegelisahan saya atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam cerpen saya.

 

/3/

Dalam proses penggarapan cerpen, pertanyaan-pertanyaan di atas membawa saya teringat novel Pejuang-Pejuang Kalipepe dan Sarip Tambak Oso yang ditulis oleh Djamil Suherman. Saat itu, saya sedang menulis artikel Peran Sosial Kiai Pada Masa Kolonial Karya-Karya Djamil Suherman dan Subkultur Pesantren dalam Karya-Karya Djamil Suherman. Djamil Suherman adalah salah seorang penulis dari Sidoarjo dan banyak mengangkat perihal lokalitas dan sejarah Sidoarjo dalam karya-karyanya.

Novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe ini berlatar di zaman penjajahan Belanda yang menceritakan kalangan pesantren berafiliasi dengan para petani untuk melawan penjajah Belanda. Kali Pepe ini sendiri terletak di Sedati, Sidoarjo. Novel ini berkisah tentang sosok KH. Hasan Mukmin yang juga melakukan perlawanan terhadap Belanda. Begitu juga novel Sarip Tambak Oso yang bercerita bahwa petani-petani menderita pada zaman Belanda dan kemudian melakukan perlawanan.

Buhul yang mempertemukan dua hal ini adalah perlawanan petani terhadap Belanda karena ketidakadilan. Saya pun menelusuri sumber-sumber sejarah tentang perlawanan petani dan hubungannya dengan pabrik gula.

Saya pun mendapatkan tulisan tentang ketertindasan petani akibat pajak tanah Arends yang diterapkan Belanda (Wahyudi, 1995). Karena terdesak, petani melawan dengan banyak cara. Salah satunya adalah melakukan pembakaran lahan tebu. Yusuf (2022) mencatat pada tahun 1911 di Sidoarjo terdapat 158 kejadian pembakaran lahan tebu, 102 kejadian pada tahun 1912, dan 122 kejadian pada tahun 1913. Jumlah yang tidak sedikit dan itu terus berlangsung hingga tahun 1921. Meskipun, pabrik gula sedang berjaya pada masa itu, namun petani dan rakyat kecil malah tertindas dan teraniaya.

Kisah-kisah perlawanan ini tidak hanya tercatat dalam dokumen jurnal sejarah, tetapi juga termaktub dalam kisah-kisah fiksi kita seperti novel Djamil Suherman.

Lalu, pertanyaan yang dapat diajukan: kalau petani merasa tertindas dan harus melawan, apakah benar pabrik gula membawa kesejahteraan untuk para petani?

Selain perlawanan petani-petani tebu ini, saya juga gelisah tentang keselamatan dari pekerja pabrik gula. Paman saya, dulu pernah jadi kuli manol di pabrik gula Watoetoelis, pernah bercerita tentang seorang temannya yang tewas di pabrik gula karena kecelakaan kerja.

Fakta-fakta memang berkata demikian. Bahwa kecelakaan kerja jadi isu penting di pabrik gula. Laporan jurnalistik mencatat, misalnya satu pekerja tewas di pabrik gula Kebonagung, Malang (09 Juni 2023). Seorang pekerja meninggal di Pabrik Gula Pagotan, Madiun (04 September 2023). Seorang tewas di Pabrik Gula Bunga Mayang, Lampung (05 Desember 2022). PG Djombang Baru, (2/8/2022). Dua orang pekerja mata di Pabrik Gula (PG) Rejo Agung Kota Madiun (30/6/2022)

Data-data lama juga sama mirisnya. Kerap terjadi kecelakaan kerja. Arsip Archief voor de Suikerindustrie in Ned-Indie (1929), dikutip dari Solo Pos, melaporkan terjadinya kecelakaan kerja maupun problem teknis lainnya pada pabrik gula. Arsip ini menuliskan: secara keseluruhan terdapat 256 buruh meninggal dunia dan 108 lainnya terluka karena kecelakaan kerja.

Dari serangkaian isu tentang pabrik gula yang telah dipaparkan, pertanyaannya kemudian: dengan segala latar di belakangnya, apakah gula dan tebu benar-benar terasa manis?

/4/

Walakhir, dalam penggarapan cerpen Bersepeda ke Pabrik Gula, saya mencoba meramu kisah tentang tanah, tradisi manten tebu dan perlawanan petani (dulu dan sekarang). Apakah kisah tersebut berhasil? Apakah kisah tersebut layak untuk dinikmati? Biarlah hadirin-hadirat pembaca sekalian yang menentukan.

Terima kasih.

 

Sidoarjo, 30 Oktober 2023

Komentar

Postingan Populer