Keping-Keping Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan; Membaca Novel "Dari Hari ke Hari" Karya Mahbub Djunaedi

 

 

Mahbub Djunaidi adalah pendekar pena dan penulis serba bisa. Ia menjelajahi berbagai ragam penulisan, mulai dari karya jurnalistik, esai, kolom hingga karya sastra. Ia adalah maestro dalam dunia kepengarangan. Kolom-kolomnya adalah humor sekaligus kritik sosial yang menohok. Buku Kolom demi Kolom (1986), Humor Jurnalistik (1986) dan Asal-Usul (1996) adalah bukti nyata jejak tulisannya.

Dunia sastra juga tak luput dari sentuhannya. Cerita pendek dan novel lahir dari tangannya. Ia juga menerjemahkan karya sastra seperti novel George Orwell The Animal Farm menjadi Binatangisme (1984). Tentunya, yang paling dikenal adalah Novel “Hari ke Hari” yang menjuarai Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1974.

Novel ini secara tidak langsung seperti otobiografi yang berkisah tentang kehidupan Mahbub yang bergelut dengan hal ihwal pesantren, kemelut politik, serta keintiman lokalitas dalam suasana pedesaan. Sebagaimana Mahbub Djunaedi adalah seorang wartawan, nahdliyin dan penggerak Nahdlatul Ulama’. Seperti kolom-kolomnya, “Hari ke Hari” adalah sebuah pernyataan politik yang tegas, berlandaskan keislaman dan penuh dengan kritik sosial namun tetap humoris.

Novel “Hari ke Hari” bercerita tentang sebuah episode sejarah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara ini. Sebuah periode pelik bahwa kemerdekaan yang telah diikrarkan pada 17 agustus 1945 masih terus dirongrong oleh kekuatan imperialisme Belanda. Rentangan waktu yang dipenuhi dengan perjanjian diplomasi seperti Linggarjati dan Renville serta peperangan berdarah-darah semacam Agresi Militer I, Agresi Militer II dan pertempuran 10 november. Periode antara tahun 1945-1950 ini digarap Mahbub Djunaedi dengan memakai sudut pandang pegawai negara yang tak mendapatkan kepastian nasib. Se-ia sekata dengan nasib bangsa Indonesia yang akan menjadi serikat, republik atau boneka Belanda. Kehidupan pegawai negeri yang terapung dalam ketidakpastian inilah yang dijadikan Mahbub sebagai altar untuk medeskripsikan keterombang-ambingan dan tarik ulur diplomasi Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Penggarapan periode mempertahankan kemerdekaan bangsa dalam sejarah bangsa ini merupakan oase wawasan di tengah formalitas buku-buku sejarah yang terlalu kaku. Dengan novel ini, Mahbub seakan-akan menunjukkan bahwa sejarah bukanlah cuman rangkaian tahun-tahun, nama-nama orang, ataupun dokumen-dokumen. Namun, sebuah rotasi kehidupan yang mengalir bersama kontekstualitas peristiwa dengan ragam problematikanya dari berbagai bidang. Mahbub bereksperimen melalui novel dengan membuka tabir episode krusial ini dengan cara pandang pegawai negara. Seperti Pramodeya Ananta Toer yang  mencoba menguak sejarah awal pergerakan perjuangan kemerdekaan bangsa dengan sudut pandang Tirto Adi Suryo dalam Tetralogi Buruh-nya. Atau Mangunwijaya dalam novel Burung-Burung Manyar yang mengisi perjuangan kemerdekaan dari sudut keturunan pribumi yang memihak Belanda. Atau Ahmad Tohari dalam novel “Kubah” dan “Ronggeng Dukuh Paruk” yang menguak salah satu bagian episode sejarah PKI dan dampak-dampaknya. Novel “Hari ke Hari” dapat menjadi salah satu karya sastra yang menjadi rujukan sejarah dalam periode mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Mahbub menampilkan periode sulit ini dengan caranya yang ciamik. Menggabungkan riuh rendah diplomasi, desing peluru, jeratan kemiskinan, carut marut pendidikan dengan eksotisme alam, gurauan khas hidup, aneka makanan tradisional, dan ragam burung-burung. Adalah sosok aku dalam novel ini yang menjadi narator dalam setiap laku gerak tokoh-tokoh lain yang mengitarinya. Seorang anak pegawai negara yang bernama Muhammad Djunaedi, seorang kyai yang bekerja di jawatan Mahkamah Islam Tinggi (semacam pengadilan agama atau kementrian agama). Perjalanan tokoh “aku” inilah yang menjadi cerita dalam novel ini yang dimulai dari perpindahan bapaknya dari Jakarta ke Solo, mengiringi kepindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogya, karena bapaknya bekerja di salah satu jawatan pusat.

Keagamaan yang kokoh terekam dalam narasi-narasi roman ini, termasuk amalan-amalan islam nahdliyah di pedesaan, sebagaimana Mahbub yang berkecimpung di NU (Nahdlatul Ulama’). Sosok “aku” sebagai seorang anak dididik untuk mengaji di langgar sedari kecil, sembahyang lima tepat waktu, puasa sebulan Ramadhan suntuk, sembahyang tarawih komplit. Bahkan, pada zaman tersebut, anak-anak sangat (ter)biasa(kan) dengan tidur dan bermain di langgar. Si Aku diajar oleh bapaknya sendiri yang juga seorang kyai untuk dapat membaca kitab kuning, belajar nahwu sharaf (gramatika arab) dan menghafal ratusan hadits. Bukan hanya itu, seorang kyai progresif juga memperkenalkan si Aku dengan buku-buku kiri karangan Karl Marx ataupun novel-novel dunia seperti karangan Mark Twain. Hal ini menandakan bahwa Mahbub Djunaedi menaruh perhatian terhadap model pendidikan ala pesantren tanpa mengabaikan ilmu pengetahuan Barat. Eksplorasi Mahbub di bidang keagamaan ini menyentuh sisi-sisi tradisionalitas yang kental dengan ritual-ritual khas masyarakat pedesaan seperti tahlilan, barzanjian, malam yasinan dan diba’an. Mahbub Djunaedi sebagai orang NU sangat dekat dan menjiwai dunia keagamaan seperti ini.

Ada pula unsur metafisis barokah yang diangkat dalam novel ini, seperti faedah membaca sholawat Nariyah. Unsur metafisis ini paling terlihat saat digambarkan bahwa dalam melawan Belanda, bambu-bambu runcing dan anak panah di’isi’ dengan doa-doa yang dipanjatkan oleh ulama’. Bagi Mahbub, bahwa kemerdekaan tidak hanya diraih dengan perjuangan darah peperangan dan kemenangan diplomasi. Namun juga dengan barokah doa-doa orang beragama yang termanifestasikan dalam novel ini dengan ‘isi’ di seperangkat alat perang orang Indonesia.

Kepiawaian Mahbub dalam merekam dunia pedesaan ditunjukkan dengan lanskap alam, hewan, dan makanan yang sangat kaya. Dia menggambarkan betapa memukaunya hijau persawahan yang dilalui kereta api yang meraung-raung. Rindang pohon dengan burung-burung juga terekam indah. Nama-nama makanan tradisional seperti juadah, tiwul, gaplek, kue gandas turi, es cendol, ketupat dan kerupuk kulit tersebar seantero halaman yang berlembar-lembar. Permainan khas pos ronda seperti catur, karambol, atau domino juga eksis. Unsur-unsur lokalitas ini dikemukakan secara lihai oleh Mahbub, selihai esai-esainya yang humoris. Walaupun, secara keseluruhan, novel ini terlalu lurus dan datar dalam pengaturan plot tapi kekayaan kata membuatnya tetap menarik.

Melihat novel “Hari ke Hari” karangan Mahbub Djunaidi ini, kita akan membaca sejarah pelik negara ini dalam mempertahankan kemerdekaan sehingga kita bisa belajar keteguhan nasionalisme bangsa kita. Dengan lanskap tradisionalitas pedesaan yang eksotis, novel ini menawarkan potret pendidikan keberagamaan beserta simbol-simbol Islam tradisional yang turut mewarnai pembentukan kebudayaan bangsa ini. Walhasil, novel ini adalah cerminan nasionalisme dan agama yang bergandeng erat dalam melawan kolonolialisme Belanda.  

 

Malang, 30 Mei 2016


Komentar

Postingan Populer