Mempertautkan Sastra dan Jurnalisme

 
 
Esai ini tayang di Radar Surabaya, 18 Desember 2016 

---

Sastra dan jurnalisme adalah dua hal yang mempunyai dasar yang sama; hal ihwal baca tulis. Dalam uraian Seno Gumira Ajidarma, jurnalisme dan sastra harus mengungkapkan kebenaran yang getarannya bisa dirasakan setiap orang. Kredonya yang terkenal “Ketika jurnalisme dibungkam maka sastra harus bicara” yang juga judul sebuah buku ini menegaskan bahwa kedua-duanya; jurnalisme dan sastra harus menyuarakan kebenaran. Mempertautkan kedua hal ini kita akan memperoleh empat gambaran yang menjadi jalin kelindan sastra dan jurnalisme.

Pertama, laporan jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra. Model ini lebih dikenal dengan istilah jurnalisme sastrawi. “Jurnalisme sastrawi” merupakan salah satu genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism”. Andreas Harsono mengutip Robert Vare, wartawan The New Yorker dan Rolling Stones menyatakan bahwa jurnalisme sastrawi menyajikan fakta-fakta dengan narasi. Setiap detail harus berupa fakta; nama orang, kejadian, dan tempat. Karena inti jurnalisme sastrawi adalah narasi, bukan kalimat-kalimat puitis.

Kedua, gaya penulisan sastra yang serupa dengan karya jurnalisme. Gaya penulisan sastra ini sering dijumpai pada karya sastra yang berprofesi sebagai jurnalis. Gaya ini akrab dengan fakta lapangan, data-data pendukung, kemunculan idealisasi dan idealism dalam kontruksi peristiwa disertai dengan kalimat yang tidak bertele-tele, kutipan-kutipan pendek, dan narasi yang berurutan.

Ketiga, deskripsi dunia jurnalistik berserta segala problematikanya yang dipotret dalam karya sastra. Sosok Minke, dalam Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer, adalah sebuah gambaran komplit tentang sosok wartawan di awal kebangkitan jurnalisme pada masa pergerakan nasional. Minke, sebagai redaktur dari koranMedan Prijaji, tidak hanya sebagai seorang jurnalis tapi juga seorang aktivis pergerakan yang menuliskan penderitaan, tuntutan, dan keluh kesah rakyat terhadap kekejaman kolonialisme.

Keempat, bertaburnya nama-nama jurnalis yang juga menghasilkan karya sastra. Nama-nama seperti Rosihan Anwar, Mokhtar Lubis, Ramadhan K.H., Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohammad, Linda Christanty tidak diragukan lagi jagat kepengarangannya yang sangat produktif dalam menghasilkan karya sastra. Hal ini menunjukkan bahwa jurnalistik dan sastra menjadi satu padu dalam urat nadi mereka yang berimplikasi pada dua hal; karya sastra yang lahir dari tangan mereka terinspirasi dari kejadian nyata dalam laporan jurnalistik dan gaya penulisan jurnalistik yang bergaya ‘sastrawi’. Kedua-duanya saling mempengaruhi satu sama lain.

Novel Jurnalistik

Sebuan novel berjudul “Negeri Kurawan” karya Kholid Amrullah terbit di Kota Malang. Novel ini terasa istimewa karena memakai istilah novel juranlistik untuk menggambarkan seluk beluk kisah wartawan. Setidak-tidaknya karya redaktur Jawa Pos Radar Malang ini telah menggabungkan keempat hubungan sastra dan jurnalisme dalam satu perpaduan yang berirama. Ia adalah seorang jurnalis yang menuliskan karya sastra. Gaya penulisannya yang lugas dan tak berkepanjangan dengan narasi yang berurutan. Meminjam bahasa Yusri Fajar, khas dengan kutipan-kutipan pendek para wartawan. Teknik penceritaan yang sangat identik dengan “jurnalisme sastrawi”. Dan yang terakhir, iajuga menuliskan dunia jurnalistik dan kehidupan wartawan dalam karya sastranya.

Membaca novel Kholid Amrullah, Negeri Kurawan (Dream Litera, Mei 2016), kita mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai seorang wartawan. Pembaca akan tenggelam dalam lautan dunia wartawan, terombang-ambing dengan lika-liku kehidupannya, naik turunnya problematika kehidupan dengan lanskap sebuah kota dingin dengan pemandangan yang memukau; Kota Kurawan dan Kabupaten Pakunden.

Novel realis ini juga menyuguhkan informasi yang berharga tentang rahasia dapur produkis berita. Pertama, tentang pinsip-prinsip dasar kerja. Tata cara membuat berita hingga hal-hal yang harus dihindari oleh seorang wartawan. Ini tergambar jelas dalam kalimat berikut

Berita yang ditulis Panca selalu berimbang, tidak memihak, melainkan menulis fakta, apa adanya dan tanpa dibuat-buat.” (h. 10)

Panca juga tidak gampang memberitakan suatu kejadian. Dia selalu berusaha mencari sumber yang valid terlebih dahulu. Tidak mau memaksakan atau dipaksa menulis berita. Tidak mau menerima tawaran kerja sama yang tidak jelas dari pejabat atau sekelompok orang yang ingin mengeruk keuntungan pribadi. Termasuk tawaran makan yang berbau politis, dia berusaha menghindari itu. Apalagi uang sogokan untuk tujuan yang tidak baik, dia selalu hati-hati dan waspada.” (h. 11)

Novel ini juga mengungkapkan bahwa hal-hal yang membuat wartawan gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak adalah kekalahan berita dari media lain, kesalahan menulis berita dan diprotes banyak orang. (h. 150)

Kedua, istilah-istilah yang dipakai dalam dunia jurnalisme banyak bertaburan dalam novel ini seperti deadline, straight news, features, redaktur atau pimred (pimpinan redaktur). Begitu pula dengan kata-kata yang berhubungan dengan profesionalitas dunia realis terpampang begitu nyata, seperti sekda (sekretariat daerah), Kejari (Kejaksaan Negeri), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan lain-lain. Kata-kata tersebut memang akrab di telinga wartawan dan memang harus diketahui sebelum menulis berita. Namun, bagi pembaca novel ini yang jarang mengikuti berita-berita di koran-koran atau televisi akan mengalami kesulitan untuk memahami arti-arti dari kata-kata tersebut karena kurang mengetahui konteks kata tersebut dalam sebuah kalimat.

Beberapa bagian dalam novel ini juga memasukkan contoh-contoh berita untuk membuktikan bahwa novel ini dibuat untuk menggambarkan kehidupan wartawan. Judul-judul berita banyak dijumpai di novel dengan 216 halaman in. Hal ini semakin mengkrabkan pembaca bahwa novel ini memang sebuah novel jurnalistik.

Ketiga, salah satu pesan yang digambarkan dalam novel ini bahwa jurnalisme adalah keberpihakan terhadap kaum-kaum tertindas. Kalimat ini termanifestaikan bahwa Panca membela rakyat-rakyat kecil dengan menuliskannya dalam reportase-reportasenya; tentang keluarga yang belum mendapatkan jatah orang miskin, penundaan penggusuran warung Mbok Jinah.

Karya redaktur koranini menegaskan bahwa wartawan mempunyai banyak cerita karena setiap hari harus bergelut dengan gemuruh jalanan, berkutat dengan peristiwa-peristiwa, dan berurusan dengan wawancara dan pengaduan. Maka, wartawan memiliki banyak cerita dari puzzle-puzzle berita yang ia dengar dan tuliskan.

Beberapa puisi yang bertaburan dalam novel ini memberikan kesan estetis tersendiri bagi pembaca. Walaupun, tetap pengalaman reportase wartawan dengan segenap lika liku problematikanya yang menjadi aspek utama yang ditonjolkan dalam novel ini. Walhasil, novel ini menjadi khazanah tersendiri dalam dunia kesastraan Indonesia, terutama dalam memandang hubungan sastra dan jurnalisme.

 

Komentar

Postingan Populer