Menapaki Kehidupan Jurnalis dan Problematikanya; Membaca Novel “Berita dari Kurawan” karya Kholid Amrullah


 

Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun?

Karena kau menulis.

Suaramu takkan padam ditelan angina, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.

Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, Yogyakarta. 1980

 

/1/

Sastra dan jurnalisme adalah dua hal yang mempunyai dasar yang sama; hal ihwal baca tulis. Dalam uraian Seno Gumira Ajidarma, jurnalisme dan sastra harus mengungkapkan kebenaran yang getarannya bisa dirasakan setiap orang. Kredonya yang terkenal “Ketika jurnalisme dibungkam maka sastra harus bicara” yang juga judul sebuah buku ini menegaskan bahwa kedua-duanya; jurnalisme dan sastra harus menyuarakan kebenaran. Mempertautkan kedua hal ini kita akan memperoleh empat gambaran yang menjadi jalin kelindan sastra dan jurnalisme.

Pertama, laporan jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra. Model ini lebih dikenal dengan istilah jurnalisme sastrawi. “Jurnalisme sastrawi” merupakan salah satu genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism”. Andreas Harsono mengutip Robert Vare, wartawan The New Yorker dan Rolling Stones menyatakan bahwa jurnalisme sastrawi menyajikan fakta-fakta dengan narasi. Setiap detail harus berupa fakta; nama orang, kejadian, dan tempat. Karena inti jurnalisme sastrawi adalah narasi, bukan kalimat-kalimat puitis.

Kedua, gaya penulisan sastra yang serupa dengan karya jurnalisme. Gaya penulisan sastra ini sering dijumpai pada karya sastra yang berprofesi sebagai jurnalis. Gaya ini akrab dengan fakta lapangan, data-data pendukung, kemunculan idealisasi dan idealism dalam kontruksi peristiwa disertai dengan kalimat yang tidak bertele-tele, kutipan-kutipan pendek, dan narasi yang berurutan. Model seperti ini digambarkan dalam novel “Sarongge” (2012) karya Tosca Santoso yang mengangkat permasalah lingkungan, cinta dan kemanusiaan.

Ketiga, deskripsi dunia jurnalistik berserta segala problematikanya yang dipotret dalam karya sastra. Sosok Minke, dalam Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer, adalah sebuah gambaran komplit tentang sosok wartawan di awal kebangkitan jurnalisme pada masa pergerakan nasional. Minke, sebagai redaktur dari koranMedan Prijaji, tidak hanya sebagai seorang jurnalis tapi juga seorang aktivis pergerakan yang menuliskan penderitaan, tuntutan, dan keluh kesah rakyat terhadap kekejaman kolonialisme.

Keempat, bertaburnya nama-nama jurnalis yang juga menghasilkan karya sastra. Nama-nama seperti Rosihan Anwar, Mokhtar Lubis, Ramadhan K.H., Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohammad, Linda Christanty tidak diragukan lagi jagat kepengarangannya yang sangat produktif dalam menghasilkan karya sastra. Hal ini menunjukkan bahwa jurnalistik dan sastra menjadi satu padu dalam urat nadi mereka yang berimplikasi pada dua hal; karya sastra yang lahir dari tangan mereka terinspirasi dari kejadian nyata dalam laporan jurnalistik dan gaya penulisan jurnalistik yang bergaya ‘sastrawi’. Kedua-duanya saling mempengaruhi satu sama lain.

Kholid Amrullah dalam novelnya Negeri Kurawan ini setidak-tidaknya telah menggabungkan keempat hubungan sastra dan jurnalisme dalam satu perpaduan yang berirama. Ia adalah seorang jurnalis yang menulis sastra sehingga layak disebut sastrawan. Gaya penulisannya yang lugas dan tak berkepanjangan dengan narasi yang berurutan. Meminjam bahasa Yusri Fajar, khas dengan kutipan-kutipan pendek para wartawan. Teknik penceritaan yang sangat identik dengan “jurnalisme sastrawi”. Dan yang terakhir, iajuga menuliskan dunia jurnalistik dan kehidupan wartawan dalam karya sastranya.

/2/

Pembacaan atas karya sastra meskipun tampak sebagai sesuatu yang biasa, ternyata tidak selamanya sederhana. Dengan segala piranti yang dimilikinya, karya sastra senantiasa memiliki ptensi untuk dibaca dengan berbagai cara oleh pembaca. Sebagai sebuah objek estetis, karya sastra memuat tanda-tanda yang perlu dimaknai. Pemaknaan terhadap tanda-tanda tersebut bersifat relative dan tidak ada sebuah kebenaran mutlak. Makna yang dihasilkan bergantung pada cakrawala harapan pembaca, yang didalamnya termasuk kompetensi kesastraan, yang terbentuk oleh pengalaman pembacaan masing-masing pembaca. Dengan kata lain, sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai pembacanya dengan cara yang berbeda-beda. Juhl dalam esainya menyatakan bahwa interpretasi karya sastra tidak menekankan pada benar dan salah, melainkan lebih pada dapat diterima atau tidak. Karena itu telaah objektif dan ilmiah harus diutamakan untuk mendekati pemaknaan terhadap karya sastra.

Membaca novel Kholid Amrullah, Negeri Kurawan (Dream Litera, Mei 2016), kita mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai seorang wartawan. Pembaca akan tenggelam dalam lautan dunia wartawan, terombang-ambing dengan lika-liku kehidupannya, naik turunnya problematika kehidupan dengan lanskap sebuah kota dingin dengan pemandangan yang memukau; Kota Kurawan dan Kabupaten Pakunden.

Novel realis ini juga menyuguhkan informasi yang berharga terkait dunia wartawan dan hal-hal yang berkutat dengan dunia repotase ini. Kita sebagai konsumen berita yang hanya mengetahui wartawan ‘hanya’ dari berita yang baca akan digiring untuk mengetahui produksi berita secara mendalam. Pertama, tentang pinsip-prinsip dasar kerja wartawan hingga model-model pejabat yang terindikasi menyelewengkan kewenangan. Tata cara membuat berita hingga hal-hal yang harus dihindari oleh seorang wartawan. Ini tergambar jelas dalam kalimat berikut

Berita yang ditulis Panca selalu berimbang, tidak memihak, melainkan menulis fakta, apa adanya dan tanpa dibuat-buat.” (h. 10)

Panca juga tidak gampang memberitakan suatu kejadian. Dia selalu berusaha mencari sumber yang valid terlebih dahulu. Tidak mau memaksakan atau dipaksa menulis berita. Tidak mau menerima tawaran kerja sama yang tidak jelas dari pejabat atau sekelompok orang yang ingin mengeruk keuntungan pribadi. Termasuk tawaran makan yang berbau politis, dia berusaha menghindari itu. Apalagi uang sogokan untuk tujuan yang tidak baik, dia selalu hati-hati dan waspada.” (h. 11)

Novel ini juga mengungkapkan bahwa hal-hal yang membuat wartawan gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak adalah kekalahan berita dari media lain, kesalahan menulis berita dan diprotes banyak orang. (h. 150)

Novel ini juga memotret relasi permainan uang yang sudah menggurita di dalam birokrasi Indonesia. Pola hubungan itu sudah berjalin kelindan antara berbagai pihak untuk memuluskan sebuah kesepakatan yang mencederai amanat rakyat. Hubungan antara walikota yang memberi suap, kepala dinas yang tidak becus, preman yang ditugaskan membereskan hal-hal semrawut dengan kekerasan, LSM abal-abal hasil bentukan untuk mencari proyek dan wartawan yang tergadaikan idealismenya sudah mengakar kuat. Namun, tidak bagi seorang Panca, ia berusaha memutus pola relasi itu dengan menjaga apa yang telah diyakininya sebagai kebenaran. Panca memegang prinsipnya untuk tidak pernah dan tidak akan menerima suap dalam bentuk apapun. Bahkan, Panca mengamati ciri-ciri yang menjelaskan seorang pejabat terindikasi korupsi dan menyeleweng. Yaitu pejabat yang cenderung lebih berhati-hati saat berbicara, sulit dihubungi lewat ponselnya, malas ditanya wartawan, jawabannya ke sana kemari tidak fokus, ketika diwawancara selalu berkata bahwa sedang ditunggu orang atau seabrek kegiatan yang menanti. (h. 29)

Kedua, Istilah-istilah yang dipakai dalam dunia jurnalisme banyak bertaburan dalam novel ini seperti deadline, straight news, features, redaktur atau pimred (pimpinan redaktur). Begitu pula dengan kata-kata yang berhubungan dengan profesionalitas dunia realis terpampang begitu nyata, seperti sekda (sekretariat daerah), Kejari (Kejaksaan Negeri), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), kasda, ADD (Dana Alokasi Desa), BLT (Bantuan Langsung Tunai), SK (Surat Keputusan), kantor diknas (pendidikan nasional), BOS (bantuan operasional sekolah). Kata-kata tersebut memangakrab di telinga wartawan dan memang harus diketahui sebelum menulis berita. Namun, bagi pembaca novel ini yang jarang mengikuti berita-berita di koran-koran atau televisi akan mengalami kesulitan untuk memahami arti-arti dari kata-kata tersebut karena kurang mengetahui konteks kata tersebut dalam sebuah kalimat.

Beberapa bagian dalam novel ini juga memasukkan contoh-contoh berita untuk membuktikan bahwa novel ini dibuat untuk menggambarkan kehidupan wartawan.Judul-judul berita banyak dijumpai di novel dengan 216 halaman ini; “Kejari Geledah Kantor Kasda”, “Lima Gakin Didata Ulang”, “Mantan Wartawan Pabrik Tekstil Mati Kelaparan”, “Korupsi, Bupati Pakunden Masuk Penjara”, “Kepala SD Digeruduk Wali Murid”, “Terima Sogokan, LSM Batal Demo”, “Dua Pejabat Diduga Terlibat Korupsi Rp 56 M”, dan “Dua Pejabat Masuk Bui”. Hal ini semakin mengkrabkan pembaca bahwa novel ini memang sebuah novel jurnalistik.

Ketiga, salah satu pesan yang digambarkan dalam novel ini bahwa jurnalisme adalah keberpihakan terhadap kaum-kaum tertindas. Kalimat ini termanifestaikan bahwa Panca membela rakyat-rakyat kecil dengan menuliskannya dalam reportase-reportasenya; tentang keluarga yang belum mendapatkan jatah orang miskin, penundaan penggusuran warung Mbok Jinah.

Karya redaktur ini menegaskan bahwa wartawan mempunyai banyak cerita karena setiap hari harus bergelut dengan gemuruh jalanan, berkutat dengan peristiwa-peristiwa, dan berurusan dengan wawancara dan pengaduan. Maka, wartawan memiliki banyak cerita dari puzzle-puzzle berita yang ia dengar dan tuliskan.

Keempat, tentang sisi-sisi manusiawi dalam karakter wartawan. Salman, sebagai seorang wartawan, juga menjalin persahabatan dengan Panca. Ia juga merasakan debar gugup dan degap jantung yang berirama saat bertemu dengan seorang gadis bernama Karina. Layaknya manusia-manusia lainnya, Salman menjalin persahabatan dan merangkai kisah percintaan. Namun, kisah percintaannya kandas di tengah jalan dan menuntutnya untuk memilih idealism sebagai wartawan atau memilih Karina karena ayah Karina adalah kepala bagian keuangan kabupaten yang tersangkut kasus korupsi.

Begitupula dengan Panca, pekerjaan sebagai wartawan yang harus pulang malam setiap harinya membuatnya tidak bisa berlama-lama bertemu istri dan anaknya. Namun, istrinya Fatia, telah menerima dengan sepenuh hati kerja keras dan resiko yang harus ditanggung oleh suaminya. Hal ini tergambar ketika Fatia menghadiahkan sebuah kamera pada ulang tahun Panca. Sebuah bentuk dukungan seorang istri atas pekerjaan yang dilakukan oleh suami.

Beberapa puisi yang ditambahkan dalam novel ini memberi kesan estetis tersendiri. Pengalaman reportase wartawan dengan segenap lika liku problematikanya menjadi aspek utama yang ditonjolkan dalam novel ini. Walhasil, novel ini menjadi khazanah tersendiri dalam dunia kesastraan Indonesia, terutama dalam memandang hubungan sastra dan jurnalisme.

                                                                                                                                *M. Rosyid H.W.

*Disampaikan dalam Bedah Buku Festival Jazirah Arab Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang pada Kamis, 3 November 2016

 

Daftar Bacaan:

Adrianus Pristiono dkk. Dari Zaman Citra ke Metafiksi; Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010.

Andreas Harsono dkk. “Ibarat Kawan Lama Datang Bercinta”, Jurnalisme Sastrawi, Jakarta: Gramedia, 2005.

Badri, “Jurnalisme Sastra dan Novel Sarongge”, Riau Pos, 27 Januari 2013

Juhl, P.D., Interpretation; an Essay in the Philosophy of Literary Criticism, Princeton: Princeton University Press, 1980.

Kholid Amrullah. Berita Dari Kurawan, Malang: Dream Litera Buana, 2016.

Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, Yogyakarta: Hasta Mitra, 1980.

 

Komentar

Postingan Populer