Social Movement Institute (SMI) Jogjakarta

 


Social Movement Institute adalah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang sosial. Bisa dibilang SMI adalah barometer dan center pergerakan yang ada di Jogjakarta.Kata Eko Prasetyo, ketua SMI, SMI hanyalah tempat orang-orang yang tidak punya tempat. Kami (SMI) memberi tempat, mencari inspirasi dan merajut inspirasi yang nantinya akan berujung pada gagasan agung, berbagi empati, mendengarkan orang-orang termarginalkan. Semisal, baru-baru saja, mereka mendengarkan keluh kesah para buruh yang belum terdaftar dalam BPJS (program kesehatan yang baru dicanangkan pemerintah), mendengarkan curhat 6 orang pelaku penembakan teroris di Jakarta. Hanya itulah yang kami kerjakan, mendengarkan, hanya itu.

Sebelum beranjak kepada diskusi lebih lanjut, seorang anggota yang di DO (drop out) dari Institut Seni Surakarta membacakan puisi tentang petugas Pajak yang tidak mau menerima suap dan akhirnya dipecat dari jabatannya. Anggota tersebut mengatakan bahwa seni berpuisi itu tidak hanya berisikan tentang cinta saja seperti yang kebanyakan anak remaja sekarang buat tapi bisa juga berupa kritik-kritik sosial yang membuat telinga para pejabat merah merona.

Mas Eko berujar bahwa pilihan menjadi aktivis itu membuat takut mahasiswa karena nanti masa depannya tidak jelas, kuliahnya terbengkalai dan lain sebagainya. Padahal, hal itu hanya alasan belaka, karena dengan menjadi aktivis kita bisa berbuat lebih terhadap perkembangan bangsa ini.Apa gunanya menjadi mahasiswa apabila hanya berkutat dengan masalah akademik. Sekarang, semakin jarang mahasiswa yang memproduksi intelektual organik, berdinamika secara intelektual. Untuk itu, kita seharusnya mencari inspirasi dari pahlawan terdahulu. Kristina (pahlawan Ambon) bertekad untuk mengusir penjajah dan menjadi pemimpin di daerah sendiri. Yang terpenting baginya adalah tidak bertuan di tanah sendiri. Hal semacam itu dapat dijadikan inspirasi bagi mahasiswa.

Seharusnya, mahasiswa berkolega dengan masyarakat dan tidak sectarian. Karena dari dahulu paradigma yang berkembang juga semkin berbeda. Sugesti untuk membuat orang menjadi pasif juga lebih banyak daripada membuat orang menjadi aktif.

SMI juga sering mengadakan diskusi kebangsaan dengan mengahdirkan paguyuban-paguyuban dari masyarakat. Semisal paguyuban tukang becak, paguyuban buruh pabrik di daerah setempat. Beliau juga berargumen bahwa demokrasi yang berjalan di negeri ini bukanlah yang hanya berada di pusat namun juga demokrasi juga dilihat dari terbentuknya gerakan-gerakan sosial di tingkat grassroot yang pro dengan kebutuhan rakyat.

Dalam membincang masalah organisasi, Mas Eko berbicara bahwa organisasi tidaklah hanya pembentukan pengurus, rapat kerja dan pelantikan, namun harus punya visi ke depa dan berpengaruh secara sosial. Terkadang, organisasi harus mempunyai musuh agar selalu tergerak. Organisasi bukan hanya tempat kumpul-kumpul saja, namun bagaimana organisasi mampu membuat satu anggota dengan yang lain saling suka, dekat satu sama lain dan timbul solidaritas bukannya malah saling membenci. Organisasi juga bagaimana kita bisa saling percaya-mempercayai antara satu dengan yang lain.

Mas Eko juga menganalogikan bahwa hidup itu seperti layang-layang. Layang-layang itu terbang bukan mengikuti angina tapi melawan angina. Seperti itulah hidup, jangan hanya mengikuti arus kehidupan tapi harus melawan kehidupan. Dan Hidup haruslah progresif, punya tujuan dan visi ke depan.

Inilah yang kami dapat tulis dari perjalanan ke SMI (Social Movement Institute). Semoga dengan kunjungan ini, kami lebih dapat tercerahkan dalam dunia aktivis pergerakan dan dapat bermanfa’at terhadap kehidupan masyarakat kelak. Amin…

Jogjakarta, 17 Januari 2014

Komentar

Postingan Populer