Larung Sengkala

 

Mak, aku akan tetap menikah dengan Basir!”

Daging merah di dalam dada Mak Yah serasa bergetar-getar dan berdegup lebih kencang. Seperti diterjang petir yang bergelegar, sunyi yang telah lama bersarang kembali memerah dengan luka menganga. Pagi berkabut di lereng gunung Kelud seperti disengat hangat surya yang muncul lebih cepat. 

“Sur, jangan kau melawan takdir! Tidak kurang laki-laki di kota ini. Kau pun juga cantik dan menawan. Tak mungkin lelaki berani menolakmu. Sudahlah. Putuskanlah Basirmu itu! Nahkoda macam dia akan membuat kapal hidupmu karam lebih cepat. Percayalah, Nduk!”

“Tapi… Mak, Basir itu anak yang sangat baik. Jujur, Mak. Memang kenapa dengan dia? Sekolah sudah tamat, pintar mengaji, dan kerja juga sudah mapan. Apa kekurangan Basir? Apa karena dia kuli? Mak mau menantu yang seperti apa!?”

Bulir-bulir basah mulai menetes. Tenggorokanku seperti tercekat karena isakan. Bendungan tangisku jebol. Mak Yah mencoba untuk merangkul dan mendekapku. Aku menolak. Kutatap wanita renta di depanku, tatap selidik menyelami alur berpikir dan peta kecenderungan hatinya. 

“Jangan-jangan, Mak….,”

“Bukan itu, Nak. Bukan karena kuli,” Mak seperti sudah menebak arah bicaraku, “Ini tentang keyakinan. Tentang apa yang Mak percayai. Ingat! Basir itu anak kulon kali1. Dan kau, Surti, anak etan kali2,” bibir Mak Yah bergetar.

Aku terdiam, terjerembab ke dalam palung tangis yang semakin dalam. Cerita-cerita Mak Yah seperti dengung lebah yang terus menguing-nguing di kepala. Konon, riak-riak gelombang Kali Brantas pernah menyeru bahwa ia tidak menggelar restu bagi kedua insan yang menikah dengan melangkahi tubuhnya. Ia akan melempar bala bagi siapapun yang mengadakan iring-iring perkawinan dengan melintasi bentangan sungainya. Serupa hantu dendam kesumat bagi siapapun yang berani melakukan pantangan ini, sengkala ini mewujud dalam percekcokan rumah tangga, perselisihan pasangan atau bahkan berakhir di meja sidang pengadilan perceraian.

Bumbu-bumbu kisah dramatis perceraian tetangga, tetangganya tetangga, saudara, keluarganya saudara, kerabat, familinya kerabat, sahabat, temannya sahabat, kenalan, koleganya kenalantak luput dijadikan contoh.Sudah banyak buktinya, ucap Mak Yah. Jika kau tetap bersiteguh, kau akan menjadi pasangan kesekian yang dikutuk oleh Brantas.

Aku tidak percaya. Masih tidak percaya. Bagaimana mungkin selarik bengawan dapat menentukan takdir pernikahan seseorang. Sedigdaya-digdayanya bengawan, ia hanya mampu merobohkan dam dan menghantam tiang jembatan. Seganas-ganasnya arus sungai, ia pun hanya membalikkan dan menyeret perahu beserta ratusan manusia. Atau, semeluap-luapnya deras kali, paling ia hanya merendam belasan desa dan hektaran sawah. Namun, ini takdir manusia. Akankah kelokan bengawan mampu membelokkan takdir pernikahan sepasang insan? Itu hal-hil yang mustahil kalau kali mampu mengacaukan rumah tangga seseorang. Apalagi, sebelum pesta perkawinan digelar. Bahkan, bagi orang-orang yang tak pernah sekalipun menyentuh setetes air bengawan, seperti aku dan Basir. Mustahil. Tidak mungkin.

Nduuuk!”

Aku tergeragap, namun enggan membalas. Kata-kata seperti enggan menghambur dari bibirku. Hening merapat. Sesekali kudengar sendiri isakku. Jelas, tak ada titik temu antara aku dan Mak Yah, setelah percobaan yang entah puluhan kali, di usia hubunganku yang telah menginjak tujuh tahun. Perempuan renta itu tetap bersikukuh memegang keyakinanya sendiri.

“Apapun yang akan terjadi, Basir adalah pilihanku,” lirihku. Entah, telinga Mak Yah menangkapnya atau tidak. Desir panggilan “Nduk” dari Mak Yah yang cukup panjang dan parau tak menghalangiku berjalan gontai ke kamar.

***

Pagi merekah sempurna di antara hamparan sawah, ladang dan pepohonan. Matahari masih mendekam di balik Kelud, namun corong cahayanya telah menerangi semesta. Sambil menahan kantuk, kujumputi kelopak-kelopak bunga turi yang berguguran. Embun-embun masih enggan beranjak. Segar pagi masih bersemayam. Tukang sayur menyandarkan gerobaknya di depan pagar. 

“Ada bumbu pecel, Yu?” tanyaku.

“Eh, Surti, jadi nikah kau?” ia malah bertanya ketika aku semakin mendekat.

“Hmm…ja…di,” ucapku terbata-bata, mencoba mencerna pertanyaannya.

“Dengar-dengar kau akan dipinang anak kulon kali?” kejarnya.

“Sur, Surti!!!”

“Oh, iya,” aku tersentak kaget. Tak tersadar aku melamun sambil memegangi sayuran. Pertanyaannya menumbukkan ingatanku pada cerita Mak Yah pada suatu senja tentang kulon kali. Tentang Kali Brantas. Dulu, Nduk, Brantas adalah batas antara kerajaan Panjalu dan Jenggala. Dua kerajaan ini seringkali berperang dan berebut kekuasaan. Kalau kamu menikah dengan Basir, rumahtanggamu akan penuh dengan gemerincing pedang peperangan dan desing luncur panah seperti nasib kedua kerajaan itu.

“Doanya ya. Semoga Tuhan dan semesta merestui,” jawabku sekenanya.

“Eh, bawa Tuhan segala,” tetanggaku menyela percakapan dengan rambut panjang yang masih basah. “Sudah banyak yang membuktikan, Sur. Keponakanku dulu awalnya juga ngotot kawin, eh, dapat tiga bulan, cerai dia. Mbok yo dipikir dulu.”

“Tetanggaku juga. Si istri tidak hanya ditinggal pergi. Warisannya ludes, Buk. Duh, emas-emasnya; kalung, cincin, gelang, dibawa semua sama si laki,” tukas yang lain.

Ibu-ibu terus berbicara tanpa henti. Kisah kelam pernikahan yang tak bahagia menjadi obrolan yang mengasyikkan. Aku tak peduli. Dampak-dampak buruk yang diceritakan sama sekali tak menakutkanku. Aku sudah sering mendengar kisah serupa dari Mak Yah. Aku hanya terpikir; Basir. Sedang apa dia? Dia pasti sedang bekerja keras demi membelikanku cincin emas perkawinan.

“Jangan dibikin ribet, Yu. Kalau udah cerai, ya nikah lagi. Pisah lagi, kawin lagi. Ealah, Yu, laki-laki masih banyak,” gelak Sumiah, janda tiga anak, sambil mengacungkan tiga ikat sawi. 

“Tapi, Sur…” sambil menghitung lembaran uang kertas, tukang sayur memasang mimik serius, “kalau pasaran weton3 cocok, bisa disiasati kok. Dulu, pamanku begitu. Ia melarung pithik cemani4 dan bunga tujuh rupa ketika rombongan pengantin melewati jembatan Brantas. Larung sengkala, katanya.”

“Sur! Ikan pindang seperempat ya!” Mak Yah muncul dari balik pintu. Ibu-ibu langsung saling tatap-pandang dan terdiam. Aku mencium gelagat keanehan. 

Sebelum mengayuh sepeda reotnya, tukang sayur itu masih sempat menegokku dengan seutas senyum. Aku tak paham apa yang ia maksudkan. Perlahan, ia menjauh. Dari belakang, hanya tampak gerobak bambu lusuh yang bergoyang ke kanan ke kiri seiring laju kayuh kakinya. Dari kata-katanya, aku seperti mendapatkan harapan.

***

Tahun telah berganti tahun. Pernikahanku terasa bahagia dengan kehadiran dua anak yang telah menempuh jalannya masing-masing. Si sulung bekerja di Surabaya sebagai sopir truk, sementara si bungsu menemaniku di rumah peninggalan Mak Yah dan bekerja di peternakan ayam. Keduanya telah menghadiahkan dua cucu mungil bagi keluarga kecilku.

Seperti halnya rumah tangga lain, hubunganku dengan suami juga tidak berlangsung mulus. Toh, tidak ada pernikahan tanpa diwarnai dengan silang saling pendapat. Gelombang cekcok dan riak-riak pertengkaran terkadang menggelayut di rumah kami. Namun, serumit dan seberat apapun masalah, pasti ada jalan keluar. Terngiang-ngiang di telinga apa yang dulu Mak Yah ucapkan sebelum ia merenggang nyawa, Nduk, cukup Bapak dan Emak saja bercerai karena sengkala Brantas, tetapi tidak cintamu.”

Aku tertegun. Nafas berat meluncur. Di mana Basir berada sekarang?

                                                                            

Kediri, Desember 2020               

Daftar istilah:

Kulon kali: wilayah di sebelah barat sungai Brantas

Etan kali: wilayah di sebelah timur sungai Brantas

Pasaran weton: kalender jawa dengan lima hari pasaran yaitu, pahing, pon, wage, kliwon dan legi.

Pithik cemani : ayam yang berwarna hitam legam.

 

*Cerpen ini dimuat di Solo Pos pada Minggu, 21 November 2021

 


 

 

Komentar

Postingan Populer