Memasyarakatkan Sastra Panji

 

Festival Panji 2017 yang diselenggarakan selama seminggu penuh oleh Pemerintah Kabupaten Kediri menjadi sebuah momentum untuk terus mengenalkan Cerita Panji kepada masyarakat.  Karya sastra lisan yang terkenal pada zaman Majapahit ini sudah saatnya mendapatkan perhatian dari khalayak umum dan dikenal oleh generasi muda. Kisah romantika antara putra-putri dua kerajaan besar di Kediri yang sarat nilai moral ini sudah sepatutnya dijadikan rujukan dan diwariskan turun-temurun lintas generasi.

Festival Panji yang digelar dari 16-22 Juli 2017 di kawasan Simpang Lima Gumul dengan tema “Panji Merajut Keharmonisan Nusantara” adalah tonggak untuk membumikan sastra lisan Panji kepada masyarakat luas.

Memasuki pelataran Simpang Lima Gumul, kita akan disambut panggung utama dengan ragam alat musik gamelan. Di sebelah kiri panggung, terdapat stan-stan dari Wayang Beber (Pacitan), Swarga Loka (Jakarta) dan Topeng Panji (Malang), Punakawan tari topeng dari PASAK dan Sutasoma.

Karena di panggung inilah, sastra Panji diwujudkan dalam berbagai ekspresi seni. Seperti lakon “Asmaradahana” dari Padepokan Seni Mangundarma Malang dibawah pimpinan Ki Sholeh Adi Pramono. Adapula drama menceritakan “Panji Semirang” dengan deretan sutradara Ayu Bulan Jelantik, Dewi Sulastri, Antonious Sutrisna dengan iringan musik dari Yayasan Swarga Loka. Para penduduk dengan antusias menonton di depan panggung karena pertunjukan semacam ini adalah hiburan bagi masyarakat desa untuk lepas dari himpitan hidup. Beberapa bahkan rela berdiri dengan menyimpan rasa ingin tahu tentang wujud Cerita Panji dalam lakon-lakon drama dan aransemen musik gamelan.

Festival Panji tahun ini adalah dalam satu rangkaian kegiatan untuk mengangkat Cerita Panji sebagai Memory of World yang nantinya akan disusul dengan festival panji internasional 2018 sebagai puncaknya. Keong emas, Ande-Ande lumut, dan Timun Emas yang lebih popular di masyarakat dan diajarkan di sekolah-sekolah adalah ragam bentuk yang lain dari Cerita Panji. Ketiganya mempunyai pola yang tipikal tentang kekasih bersatunya kekasih setelah keduanya mengembara dalam perjalanan jauh.

P.J Zoetmulder menyatakan bahwa Panji adalah nama diri, nama gelar atau jabatan. Cerita Panji adalah karya sastra anonym yang lahir sebagai refleksi penyusunnya terhadap perseteruan yang terjadi terus-menerus antara kerajaan Jenggala dan Panjalu yang rajanya masih ersaudara.

Salah satu keunikan Cerita Panji ini adalah bahwa tidak adanya pengarang tunggal. Kisah ini memiliki berbagai macam versi dengan bahasa yang berbeda pula seturut dengan budaya lokal setempat. Namun, Cerita Panji memiliki pola-pola tertentu yang membuatnya khas dan berbeda. Maka tak heran jika di Thailand, cerita ini dikenal sebagai Cerita Inao.

Seperti dikutip dari buku “Memahami Budaya Panji”, Arkeolog Dwi Cahyono mengatakan bahwa Cerita Panji adalah berbagai kisah dalam beragam ekspresi yang memiliki pola-pola tertentu dengan tokoh sentral bernama Panji. Pola-pola cerita tersebut adalah kekesatriaan tokoh, berpola ketemu-pisah-ketemu, berkesan bermusuhan namun bersatu dan balada lintas generasi. (hal 15)

Prof. Poerbatjaraka dalam bukunya “Tjeritera Pandji dalam Perbandingan” bahkan menasbihkan cerita Panji sebagai kesusasteraan dengan semangat Jawa yang menyebar paling luas seantero Kepulauan Nusantara.

Seperti ditulis oleh Henri NurCahyo dalam artikel “Perjuangan Panji Menuju Unesco” di Jawa Pos (26/3/2017) bahwa di Malaysia terkumpul 7 naskah cerita Panji, satu di Kamboja, 500 naskah di Thailand, 20 naskah di Inggris dan Universitas Leiden memiliki 252 naskah. Indonesia hanya memiliki 76 naskah Panji di Perpusnas.

Jika kita lebih mengenal kisah asmara Romeo dan Juliet atau cerita cinta Layla Majnun daripada kisah Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji, maka sepatutnyalah kita kembali ke bilik kamar untuk bercermin dan merenungi diri dari manakah kita berasal dengan nenek moyang seperti apakah kita.

 

Kediri, 01 Agustus 2017

Komentar

Postingan Populer