Menggali dan Merayakan Tradisi dalam “Gugah Kelud”

 

 

Lakon “Perang Paregreg” oleh Ketoprak Tobong “Suryo Budoyo” (Dok. Bangsal JE)

 

 

Kediri dadi Kali

Blitar dadi Latar

Tulungagung dadi Kedung

(Legenda Gunung Kelud)

 

Sumpah Lembu Suro tersebut membahana bersama desir angin dan tusukan dingin khas pegunungan di lereng Gunung Kelud. Kemudian, bebunyian gamelan bertalu-talu mengiringi lenggak-lenggok para pesinden di atas panggung. Sumpah tersebut adalah bagian dari penolakan cinta Dewi Kilisuci (Putri mahkota kerajaan Kediri) kepada Lembu Suro (manusia berkepala sapi) yang dipentaskan oleh ketoprak tobong “Suryo Budoyo”. Cerita legenda dalam kemasan ketoprak dengan lakon “Perang Paregreg” di Sungai Brantas adalah puncak dari rangkaian pagelaran kesenian bertajuk Tobong Arts Performance yang berlangsung pada 27-30 September 2017 di beberapa desa Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri.

Pagelaran kesenian yang menampilkan tari, musik, ketoprak dan instalasi tersebut mengambil tema “Gugah Kelud” sebagai bentuk refleksi atas musibah letusan Gunung Kelud pada tahun 2014 dan kini saatnya Kelud tumbuh subur kembali di  tahun 2017.  Dengan tema ini, kita akan membangkitkan semangat bahwa Kelud adalah milik kita bersama,” papar Ikhwan Susilo, direktur program ini saat membuka acara. Ia menyatakan bahwa ini adalah momentum untuk bangkit membangun Kelud dan menyatakan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Dalam pagelaran ini, Gunung Kelud dijadikan sebagai obor penyala dalam penciptaan karya-karya seni yang ditampilkan, dan inspirasi bagi para seniman dalam menggali hikmah dan pesan dari Yang Maha Kuasa. Gunung sebagai salah satu simbol kebesaran Tuhan menyajikan pelbagai kondisi untuk digali sebagai bahan kreatifitas yang merentang dari sisi geografis, sosiologis, hingga psikologis. Kondisi alam, kultur masyarakat, kejayaan sejarah hingga keunikan kuliner telah melekat dalam pola kehidupan di gunung. Dalam hal berkesenian dan berkebudayaan, gunung dipandang sabagai salah satu medium unik yang menyimpan ragam kekayaan kebudayaan yang telah dieksplorasi melintasi ratusan abad dan di sisi lain masih menyimpan ragam kebudayaan yang mampu digali sebagai wujud kebudayaan baru. Maka hasilnya adalah seniman lokal dari Kediri, berbagai kota dan manca negara yang berkarya dari semangat pegunungan berlatar perkebunan nanas, kopi dan cengkeh yang tersebar di lereng Gunung Kelud.

Selain ketoprak tobong, pagelaran yang telah memasuki tahun ketiga ini menampilkan lokalitas Kediri yang direpresentasikan dengan wayang jemblung dan tari jaranan. Festival ini juga dihadiri seniman dari berbagai kota seperti Bandung, Bali, Kupang dan Jakarta dan juga mancanegara seperti Malaysia dan Thailand. Diantaranya adalah Okky Yudistari asal Kediri dengan tari “Kilisuci on Dance Ethnicology”, Cynthia Tanjung Kambuno dari Kupang dengan tarian “Mamose Adora Nai”, Ida Ayu Gedhe Sasrani dari Bali dengn tari “Giri Natha”, Deden Tresnawan dan Kang Dodik dengan kecapi Sunda-nya,  Bhumin Dhanaketisarn dengan tari likai khas Thailand, Kelvin Atmadibrata dan Aziz Amri dari Jakarta dengan tari “The Heaven, The Battle” dan lain-lainnya.

Seniman asal Malaysia, Rithaudin Abdul Kadir dan Naque Ariffin mementaskan tari “Ketika Bumiku Menari” yang terinspirasi dari letusan Gunung Kelud 2014. Mereka menyatakan bahwa bumi sebenarnya juga menari untuk menyadarkan manusia dan terkadang bencana adalah wujud kasih sayang bumi kepada manusia. Bahwa setelah bencana akan tumbuh hikmah yang mampu dipetik manusia.

Adapula Ratungga Ayu, seniman asal Kediri yang menari secara kontemporer dengan judul “Njelmo” sebagai wujud dalam memaknai kisah Panji Brojo Luwuk, cerita rakyat Kediri. Ia menggambarkan bahwa keris Brojo Luwuk adalah penjelmaan Dewi Melati Sari yang jatuh cinta kepada Panji. Sebuah kisah pilu akan seorang wanita yang mencintai seorang pangeran.  

Seperti pernyataan Iwan Kapit, sapaan akrab koordinator komunitas Bangsal JE bahwa Tobong Arts Performance adalah upaya untuk mengkolaborasikan antara seni tradisi dengan dunia modern dan seni lokal dan mancanegara. “Kita sebenarnya ingin memberikan sentuhan yang baru, tradisi tidak menutup diri terhadap modernisasi.” ungkapnya.

Larung Sesaji Kelud

Sebagai sebuah rangkaian Kelud Festival 2017, terdapat pula Larung Sesaji di kawah Gunung Kelud. Ratusan orang bergerumbul dan berjalan bersama menuju puncak Gunung Kelud. Arakan massa itu membawa berbagai macam hasil bumi seperti sayur-mayur dan buah-buahan yang dibentuk dalam gunungan tumpeng. Yang paling menyedot perhatian adalah ratusan buah nanas dibentuk menjadi gunung hingga setinggi dua setengah meter. Adapula para penari yang berpakaian laksana dayang-dayang kerajaan yang mengiringi seorang putri yang ditandu oleh beberapa laki-laki. Putri tersebut adalah wujud penjelmaan Dewi Kilisuci yang diarak untuk menemui Lembu Suro di kawan Gunung Kelud.

Arakan massa itu adalah warga dari lima desa (Desa Sempu, Babadan, Pandan Toya, Ngancar, Sugihwaras) yang sedang menggelar Larung Sesaji dan mengusung sesajen menuju kawah Gunung Kelud. Larung sesaji ini adalah sebuah upaya untuk berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah tanah yang subur dan tanaman ladang sawah yang tumbuh melimpah ruah.

Ritual sesaji yang ini adalah tradisi rutin yang digelar masyarakat di lereng Gunung Kelud setiap tanggal sepuluh bulan Syuro atau Muharram. Maka, ritual ini adalah bagian tak terpisahkan dari ‘pertunjukan kebudayaan’ yang dapat ditonton dan diselami maknanya dari rangkaian Festival Gunung Kelud 2017.

Perpaduan Poros Kesenian

Tobong Arts Performance sebagai rangkaian Festival Kelud 2017 tidak hanya berisi rangkaian penampilan yang bersifat gebyar belaka, yang kemudian buyar dalam memori dan nihil dalam menciptakan produksi pengetahuan yang mencerahkan. Namun, menurut amatan penulis, penampilan-penampilannya juga menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang terus mengemuka dalam kegiatan berkesenian.

Pertunjukan yang ditampilkan mampu ditafsirkan sebagai bentuk eksplorasi  yang berdiri di atas dua hal yang berkaitan; masa lalu dan masa mendatang. Konsepnya beredar dari upaya untuk merekam dan melestarikan kebudayaan masa lalu seperti cerita rakyat Panji, legenda terbentuknya Gunung Kelud, kejayaan Kerajaan Dhaha  hingga legenda Kali Brantas. Namun, disisi lain, penampilan senimannya juga merespon kehidupan zaman modern sebagai usaha untuk terus mengeksplorasi Gunung Kelud seperti penyembuhan ‘luka’ atas musibah letusan pada tahun 2014, syukur atas keberkahan tanah yang subur hingga wujud terima kasih atas hasil bumi yang melimpah.

Walhasil, penampilan kesenian dapat berbentuk tiga hal dalam kaitan ‘masa lalu’ dan ‘masa mendatang’. Pertama, kultur lama yang dipercaya dan dijalani masyarakat yang sampai saat ini masih dilakukan adalah bentuk kebudayaan ‘masa lalu’ yang dikemas dengan bentuk ‘masa lalu’ pula. Contohnya dapat berupa tembang-tembang doa yang dibaca saat ritual “Larung Kelud” adalah sastra lisan yang berasal dari masa lalu dan dipertahankan ‘masa lalu’nya. Tanpa musik dan tanpa instrumentasi tambahan, hanya dilafalkan melalui lisan sebagai simbol ‘masa lalu’. Walaupun tidak dipentaskan di panggung ‘resmi’, tembang tersebut adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam keseluruhan rangkaian pertunjukan kebudayaan di lereng Gunung Kelud ini. Kedua, kultur lama yang dikemas dengan bungkus kontemporer. Hal ini berwujud pada eksplorasi tari modern yang berkisah tentang Cerita Panji.  Cerita dongeng dari zaman kerajaan diolah dan dielaborasi dengan sajian baru yang disebut ‘modern’. Ketiga, peristiwa-peristiwa aktual dan baru saja terjadi dijadikan sumbu bakar untuk berkreatifitas dalam bentuk kesenian modern. Seperti penampilan Din Kadir dengan Alai-Alaianku, gerak tari seorang petani dengan jari jemari penuh cahaya yang merefleksikan seorang petani  sebagai pusat kebudayaan masyarakat agraris dari dulu hingga sekaran.  Sedangkan salah satu titik temu yang keempat, peristiwa sekarang yang dibentuk dengan format kesenian lama tidak penulis lihat dan temukan dalam pagelaran ini.

Pagelaran ini tidak hanya menampilkan para pelaku seni dari Kediri dan Indonesia saja, tetapi juga mengundang para penari dari Malaysia dan Thailand. Perpaduan antara artist lokal dan internasional ini menjadi daya tarik tersendiri sebagai lanskap untuk menikmati kesenian dari sisi yang berbeda. Teropong yang dipakai para penonton, penikmat seni ataupun para wartawan dalam melihat penampilan akan berbeda karena titik kombinasi yang lebih variatif. Titik kombinasi ini berputar pada kesenian luar negeri yang dilabeli ‘internasional’ seperti tari dan musik dimana penonton bisa tidak paham sekali konteks penciptaannya karena penonton memakai kaca mata ‘lokal’ Indonesia. Titik padu yang lain juga bisa berupa pelaku seni luar negeri yang mencoba mengelaborasi Gunung Kelud dengan perspektif mereka yang menimbulkan sebuah ‘jarak’ kebudayaan hingga terbentuk sebuah penciptaan seni yang berbeda dan bersifat ‘internasional’ dalam memahami Gunung Kelud.  Kedua titik kombinasi ini menjadikan pagelaran setahun sekali di lereng Kelud ini menjadi semakin menarik dan membuat Kelud menjadi ‘kaya’ akan interpretasi kesenian.

Hal yang menarik perhatian dari penampilan dalam rangkaian Tobong Arts Performance ini adalah latar pertunjukan yang tidak hanya mengambil tempat di panggung namun juga berada di tengah tanah lapang di dekat pemukiman warga. Seni yang dekat dengan masyarakat mengemuka bahwa seni adalah bagian inheren dari kebudayaan masyarakat. ‘Panggung bebas’ dapat ditemukan di Desa Babadan dan Desa Sempu di hari pertama dan kedua dimana masyarakat berkerumun dengan jarak yang begitu dekat untuk menikmati pertunjukan sebagai upaya mendekatkan kesenian kepada penduduk. Sedangkan, malam puncak penampilan diletakkan di sebuah panggung dekorasi khas Tobong “Suryo Budoyo” yang agak ‘berjarak’ dengan penonton.

Maka, pertunjukan dan penampilan kesenian yang bertempat di lereng gunung Kelud ini bergerak pada dua diskursus yang terlihat berhadap-hadapan namun sejatinya adalah sebuah perpaduan yang terus bergerak dan saling mempengaruhi satu sama lain. Wacana tersebut bergerak dengan arah masa lalu-masa depan, tradisional-kontemporer, lokal-global, nasional-internasional dan seni rakyat-seni panggung. Sekali lagi, bahwa wacana di atas tidak dalam posisi berlawanan, namun selalu bergerak, bertumpang tindih dan saling bergelut untuk sebuah formulasi kesenian dan kebudayaan yang tidak pernah berhenti dalam stagnasi.

Di tengah arus globalisasi yang terus bergerak, ketoprak tobong “Suryo Budoyo” dan komunitas Bangsal JE menggelar Tobong Arts Performance sebagai sebuah upaya untuk menolak punah dan tergerus dengan terus menggali dan melestarikan tradisi ketoprak dan seni pertunjukan dengan berpusat pada mengambil spirit Kelud yang walaupun pernah terhempas dalam letusan namun tetap berdiri tegak menghadapi tantangan zaman.                 

*M. Rosyid H.W.

Project Translator Tobong Art Performance 2017

Menulis Esai Sastra Budaya, Cerita Pendek dan Ulasan Buku

 

Foto-Foto Tobong Arts Performance :


 

 Penari dari Kediri Okky Yudistari dengan tari “Kilisuci on Dance Ethicology” (Dok. Bangsal JE)

 

 

Din Kadir dengan tari  Alai-alainku “ 

 yang merepresentasikan petani

(Dok. Bangsal JE)


 

 

Siswa SMP Pawyatan Dhaha Kediri dengan seni jaranannya. (Dokumen Penulis)

 

Kecapi Sunda yang dipentaskan oleh Deden Tresnawan (Dokumen Penulis)

 

Komentar

Postingan Populer