Perempuan Daun Pisang

 



 

Sumirah menghalau lalat-lalat yang beterbangan di atas lembar-lembar daun pisang. Matahari terus naik. Siang makin terik. Dan pasar makin melompong. Namun, Sumirah tetap tak beranjak dari lapak meski tak ada satu pun pembeli sejak subuh. Sudah lima hari, tak selembar daunnya terjual. Ia mengibas-ngibaskan kain lap demi mengusir debu-debu yang menempel pada dagangannya. Ia masih berharap ada orang yang sudi membeli daun-daun pisangnya.

“Daun pisang, Bu,” tawarnya saat menatap seorang nenek yang melintas di depan lapaknya. Wanita tua itu hanya menengok, lalu melesat dalam gegas. Melihatnya pergi, seonggok batuk meluncur dari mulut Sumirah seperti hendak melepas nafas kecewa dari dalam dadanya. Lapar terus melilit-lilit perutnya.

Pembeli terakhirnya datang lima hari yang lalu. Saat itu, hati Sumirah membuncah seperti perawan kasmaran. “Buat kenduren maulud nanti malam,” ucap Sumirah ketika melihat ibu-ibu paruh baya berdiri di depan lapaknya.

Kedatangan pembeli adalah alarm bahwa perutnya akan kembali terisi. Beberapa hari sebelumnya, ia tak mendapati satu pembeli pun. Tanpa hasil jual daun pisang, ia tak akan mampu beli beras dan lauk-pauk. Akibatnya, saat petang menjelang, lapar mencengkeram usus-ususnya hingga ia tergeletak di antara tumpukan-tumpukan daun pisang.

“Murah, Bu. Nanti saya kasih tambahan,” Sumirah mulai merayu. Ibu itu melihat tatap iba pada mata Sumirah. Perempuan itu membeli sepuluh lembar daun, membayar kontan dan buru-buru pergi. Cukup untuk membeli lima lonjor ketela demi mengganjal perut, batin Sumirah.

Malam maulid itu benar-benar malam yang patut dikenang. Ia tak hanya dapat pembeli, ia juga dapat sebungkus nasi dari langgar desanya.

“Ini buat Mbok. Dari pengurus langgar,” seorang pemuda bersarung mengetuk pintu rumahnya dan menyerahkan bungkusan kresek.

Berkat maulid Nabi, Mbok,” timpal pemuda satunya.

“Terima kasih, Nak,” jawab Sumirah.

Memperoleh nasi, Sumirah bukannya bahagia, ia malah kecewa ketika mendapati isi kresek berupa nasi kotak. Bagi Sumirah, nasi yang teronggok pada plastik nampak mengerikan. Meski ludahnya telah menggenang ketika melihat paha ayam berbalur bumbu rica-rica, perutnya tiba-tiba terasa mual. Ia pernah bertekad untuk tak memakan apapun yang berbungkus plastik atau kertas. Ia hanya dapat memasukkan makanan yang terbungkus daun pisang ke dalam perutnya. Akan tetapi, lapar benar-benar telah mencengkeram perutnya. Dengan jelas, ia dapat mendengar rintihan usus-ususnya.

Persetan! Aku harus makan, batin Sumirah. Tangannya dengan cekatan memasukkan kepal-kepal nasi pada mulutnya yang menganga. Ia terus mengunyah. Namun, pada suapan ke sepuluh, tenggorokannya seperti dam jebol yang memuntahkan segala isi perutnya.

Itu adalah saat terakhir Sumirah memamah nasi. Sudah lima hari ini ia hanya makan seiris ketela rebus dan minum larutan gula. Tubuh Sumirah makin kurus. Sementara batuk menyerangnya seperti granat-granat yang siap meledak kapan saja. Selain usia yang menggerogoti raganya perlahan-lahan, lapar yang tak pernah henti bertandang ibarat benalu yang terus menerus menghisap jiwanya.

Ketika siang meredup, Sumirah mulai meninggalkan lapak dan berjalan melata seperti siput menuju rumahnya. Tomblok besar bertudung kain di punggungnya bergerak-gerak. Tak ada yang berkurang dari lembar-lembar daunnya hari ini.

Dalam remang, Sumirah terus merayap membelah petang. Lapar masih bersemayam dan enggan menghilang. Sumirah meraba pikirannya sendiri. Semakin ia tua, semakin sedikit pula pembeli dagangannya.

Dahulu, pembeli berduyun-duyun mendatangi lapaknya. Pelanggannya berdatangan tanpa diminta. Mulai dari para penjual nasi pecel, penjaja kudapan macam lemper, nogosari, iwel-iwel, atau mendut hingga pembuat tumpeng. Dalam sekejap, lembar-lembar daun berubah menjadi lembar-lembar duit. Sumirah yakin Tuhan sengaja menciptakan daun pisang hanya demi dirinya.

“Dengan bungkus daun pisang, kudapan dan makanan puluhan kali menjadi lebih lezat,” titah Sumirah pada para pembelinya.

Namun, semua berubah saat Sumirah mulai renta. Menjual selembar daun sungguh sulit. Bungkus kertas dan plastik merajalela. Pembeli daun pisang seperti jarum dalam jerami. Hari demi hari, para pembeli daun pisang semakin menyusut, hingga Sumirah akhirnya memutuskan berkeliling jalan kaki dari dukuh ke dukuh sambil menggendong tomblok demi mencari pembeli. Tepat seminggu ia berkeliling, bukannya mendapatkan pembeli, tulang punggungnya malah membeku, kaki-kakinya keram dan kulitnya terbakar. Ia lalu memutuskan untuk kembali menggelar lapak di pasar.

Sumirah terus berjalan menerabas petang. Lapar menonjok perutnya bertubi-tubi. Melihat daun pisang menjulang di tepi jalan, Sumirah tiba-tiba teringat Paidi yang datang ke rumahnya kemarin. Paidi meminta Sumirah untuk memanen daun-daun pisang di kebunnya. Paidi sedang butuh uang demi biaya persalinan istrinya.

“Belum mau nebas lagi, Pak. Daun kemarin saja belum terjual,” ucap Sumirah sambil menunjuk tumpukan-tumpukan daun di atas lincak.

“Ambil satu dua pohon saja, Sum. Buat tambah-tambah,” timpal Paidi.

“Tak hanya Pak Paidi yang butuh duit. Saya juga butuh. Jual daun pisang itu sekarang minta ampun sulitnya. Kalau tak percaya, coba sendiri!” ujar Sumirah.

“Dua hari yang lalu, Mbah Barnawi juga ke sini. Menawarkan daun pisang di kebunnya. Yu Mar juga. Mak Tin juga. Tak ada yang kutebas. Daun pisang sudah gak laku lagi, Pak,” tambahnya.

Sumirah berbelok setelah melewati jembatan sungai. Sesekali, ia membetulkan kain gendongannya. Saat ia berjalan, tomblok pada punggungnya perlahan-lahan melorot. Lembar-lembar daun masih menumpuk penuh di dalamnya.

Pada tepi-tepi sungai itu, dulu pohon-pohon pisang tumbuh bergerumbul. Para petani sering beristirah di bawahnya. Sumirah berkeliling dari satu pohon pisang ke pohon lainnya.

“Daun pisangnya boleh saya tebas?” pinta Sumirah.

“Ya. Tapi, jangan potong daun yang masih terlalu muda,” jawab petani pemilik ladang.

Sumirah selalu menepati janjinya. Dengan piawai, ia potong daun-daun tua yang menggelantung. Daun pisang muda selalu tegak menjulang seperti papan selancar. “Daun pisang tua selalu berwarna hijau gelap,” katanya. Ia bahkan dapat mengenali seberapa tua sebuah daun bahkan dengan menutup mata. Ia kenal dari aromanya. “Harum seperti melati,” tegasnya.

Di tangan Sumirah, pohon pisang jadi bundas hanya dengan menyisakan lima sampai enam lembar daun saja. Pemilik ladang akan bungah karena Sumirah tak hanya menebang daun setengah tua, tapi ia juga memotong daun-daun pisang kecoklatan yang tak berguna. Daun-daun terbakar di tepi sungai. Ladang jadi nampak terang dan agung.

Di tepi sungai, Sumirah menggelar daun-daun yang telah ia petik. Dengan pisau, ia menyisir daun dari pelepahnya. Lalu, ia usap daun-daun tersebut dengan kain lap seperti sedang menggosok-gosok berlian. Memusnahkan debu-debu yang menempel. Kemudian, ia tumpuk lembar demi lembar dan diikat dengan sayatan pelepah pisang. Menjelang petang, tombloknya telah penuh. Fajar esok hari, ia akan berangkat menuju pasar.

Pada momen-momen tertentu seperti Maulid Nabi, Idul Adha atau Idul Fitri, pesanan daun meningkat pesat. Sumirah tak hanya menebas daun pohon-pohon pisang di tepi sungai itu, tetapi ia juga mengunjungi ladang-ladang penduduk di dukuh sebelah. Permintaan daun begitu membludak. Namun, zaman telah beranjak. Kini, ia bahkan menolak tawaran-tawaran tebas daun dari orang-orang di dukuhnya.

Sesampainya di rumah, lapar yang menyerangnya sedari pagi makin menghebat. Usus-ususnya berteriak. Ia bergegas menuju dapur. Tak lagi didapatinya ketela rebus hasil penjualan lima hari lalu. Ia harus segera minum, batinnya. Dengan cepat, ia celupkan kepalanya ke dalam bak mandi. Ia seperti pengembara penemu oase padang pasir. Ia hirup air sebanyak-banyaknya.

Lapar masih terus menggantung pada rongga perutnya. Ia harus makan sesuatu, tekadnya. Tetapi, tak ada sepotong makanan pun di rumahnya. Perutnya melilit-lilit seperti sedang dicengkeram piton sebesar batang kelapa. Ia harus makan dan makan dan makan, batinnya.

Pada ujung pikirannya yang masih waras, ia memperoleh ilham. Ia meraih tomblok dan membuka tudung kainnya. Perlahan-lahan, ia memamah daun-daun pisang yang tak terjual. Sumirah yakin Tuhan menciptakan daun pisang hanya untuknya.

 

 

*cerpen ini telah tayang di ayobandung.com pada Sabtu 20 November 2021 di pranala berikut: 

https://www.ayobandung.com/bandung-baheula/pr-791732193/cerita-pendek-perempuan-daun-pisang

 

Komentar

Postingan Populer