Prasasti Kesedihan dalam Narasi Dongeng
Kesedihan dan kebahagiaan bagaikan dua wajah koin yang saling melengkapi satu sama lain. Tidak akan pernah ada kesedihan jika kebahagiaan tak pernah hinggap. Begitu pula, di sisi kebahagiaan, kesedihan akan turut menyertai dan membayangi. Membaca kumpulan cerpen MashdarZainal ini, pembaca akan terbawa untuk meresapi aneka ragam kesedihan yang menjerat hidup manusia. Seturut urat nadi, kesedihan begitu dekat. Namun, kesedihan bukanlah hal yang perlu ditakuti, ia adalah pelengkap kehidupan yang digambarkan sebagai bentuk resistensi untuk terus berjuang mengarungi samudera kehidupan demi menggapai kebahagiaan.
Mashdar membangun narasi-narasinya di atas altar pekat kegelapan dengan mendeskripsikan hidup yang penuh akan kegetiran, kemuraman, kehilangan, keheningan, kegilaan, kecemasan, kekhawatiran, kepedihan, keperihan, keputusasaan, kecemasan, kemuraman dan ketakutan. Lalu, ia membalut ragam pahit getir hidup dalam cerpen-cerpennya dengan simbol-simbol penanda yang semakin menegaskan bahwa kesedihan adalah hal yang tak dapat dihindari dalam kehidupan. Kata-kata seperti duri mawar, kabut, kucing hitam, trauma, percik darah, bunga kamboja, isak tangis, neraka, hujan, iblis dan mendung bertaburan dalam diksi-diksinya, menguatkan kesan sisi-sisi hitam dalam kumpulan cerpen ini.
***
Kesedihan yang terpahat dalam kumpulan cerpen ini kebanyakan bermula dari kegagapan manusia merespon modernitas atau keganasan kota yang mencabik-cabik nasib kehidupan. Ramuan bahasa dongeng yang disajikan mampu mereduksi kesan ‘gelap’ dari realitas fiksional cerpen-cerpen ini. Seakan-akan, peristiwanya tidak pernah terjadi. Padahal, Mashdar mengolah dongeng-dongengnya dari peristiwa yang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Karena dalam zaman pasca-kebenaran ini –seperti ditegaskan Djoko Saryono dalam pengantarnya- bahwa bilik-bilik realitas terkadang lebih ganas daripada kisah-kisah rekaan.
Seperti dalam cerpen “Dongeng Pendek tentang Kota-Kota Dalam Kepala”, Mashdar mengkritik kota-kota yang panas tiada tara, sampah dimana-mana dan kesenjangan sosial yang menganga.
“Barangkali itu, ya, yang bikin kota seperti tungku.”
“Cerobong-cerobong asap itu juga, kentut-kentut mobil itu juga, mesin-mesin itu juga.” (hal. 28)
Dalam cerpen “Real Estate”, ia memotret hubungan sosial yang tereduksi di perumahan mewah. Egoisme dan individualism menjangkiti masyarakat perkotaan. Tidak ada tegur sapa, tidak ada saling bicara dan tidak ada tetangga.
“Mobil-mobil dengan robot di dalamnya akan meluncur satu persatu ketujuan masing-masing. Bahkan mereka tak sempat memencet klakson sebagai sapaan, ketika mobil mereka bersimpangan.” (hal. 126)
Kenyataan pahit kehidupan diramu dengan halus sebagai kritik terselubung atau sindiran menggelitik untuk menarasikan ketimpangan sosial, konflik batin manusia modern dan pembangunan kota yang tak manusiawi.
Serupa pemahat prasasti, Mashdar mengabadikan sisi-sisi gelap manusia dalam ukiran-ukiran bahasanya. Nyaris setiap cerita pendeknya berakhir denganending yang mengenaskan. Kisahnya merentang dari problematika sosial, hubungan percintaan hingga masalah spiritual. Penulis yang kini tingga di Malang ini mengisahkan tentang seorang istri yang didekap kesedihan akut karena stroke merenggut suaminya (RumahMenggigil), penghianatan yang membuat seorang suami tega membunuh istrinya sendiri (Dua Hal Paling Menyedihkan dalam Hidup Marta), anak yang mengalami trauma dan depresi karena menjadi korban perkosaan (Remah-Remah Mawar), guru honorer yang tidak mampu menyenangkan anaknya yang sakit (Kisah Sepotong Pai), pedagang nasi jagung dengan satu anak tunggal dan suami yang telah meninggal berjuang mempertahankan hidup dengan berjualan di pasar (Resital Hujan), seorang Ibu yang merana karena anaknya menghilang dan tak pernah kembali lagi (Seekor Kucing Hitam) wanita depresi yang gantung diri karena ditinggal pergi kekasih yang menghamilinya di luar nikah (Seutas Kenangan yang Melilit Leher Loya).
Letupan-letupan imajinatif yang kaya akan metafora juga mewarnai setiap penggalan himpunan cerpen ini. Walhasil, perasaan khawatir yang manusiawi terasa begitu pekat dan dekat, sedekat hembusan nafas. Karena memang kesedihan dan air mata adalah bagian inheren dari sisi psikologis manusia. Mashdar menggambarkan:
“Marta pernah, tak ingin mengkhawatirkan apapun dalam hidupnya, tapi siapa yang bisa mencegah kekhawatiran yang dating dan pergi serupa embusan angin, yang tiba-tiba kita hirup dan menyatu dalam tubuh kita” (p. 61)
“Kereta adalah selebrasi kesedihan yang paling sempurna, dan masa lalu tak pernah berhubungan dengan ruang. Maka, mendatangi kereta ini hanya membuat luka-luka yang ada menjadi semakin merah dan matang” (p. 95)
Tidak seperti dongeng dan cerita lisan masa lalu yang tokoh-tokohnya berbahagia di akhir cerita. Kumpulan cerita dongeng ini menghadirkan narasi yang berbeda, mengemas segala pahit hidup manusia dalam kekayaan ruang imajinasi, dan mengakhirinya pula dengan kepahitan yang lebih mencekam. Karena kesedihan adalah fitrah yang sudah sepantasnya untuk dituliskan demi mendampingi kebahagiaan sebagai dua hal yang diciptakan Tuhan secara berpasang-pasangan. Seperti ungkapan Paulo Coelho “tears are words that need to be written” bahwa air mata adalah jalinan kata yang sudah seharusnya untuk dituliskan. Mari mengarungi bahtera air mata kesedihan dalam kumpulan cerpen ini.
Judul : Dongeng Pendek Tentang Kota-Kota dalam Kepala
Penulis : Mashdar Zainal
Penerbit : DIVA Press
Tahun : Juni 2017
Tebal : 216 halaman
ISBN : 978-602-391-401-2
Malang, 11 November 2011
Komentar
Posting Komentar