Sabyan Gambus, Musik Islami Populer dan Politik Identitas
Sabyan Gambus dengan vokalis yang bernama Nissa telah begitu populer di masyarakat. Lagu-lagu seperti “Deen As-Salam”, “Ya Habibal Qolbi”, “Ya Jamalu”, “Rohman Ya Rohman”, “Ya Asyiqol Musthofa” sering diputar oleh berbagai kalangan, mulai dari kaum muda hingga kaum tua. Jika melihat jumlah viewers dan subcribers lagu-lagu mereka di Youtube, tidak dapat disangkal bahwa jumlahnya sangatlah menakjubkan. Selama Ramadan ini, mereka juga sering diundang untuk manggung di beberapa stasiun televisi.
Personel Sabyan Gambus terdiri dari Ahmad Fairuz (keyboard), Khoirunnisa (vokalis), Sofwan Yusuf (perkusi), Kamal (darbuka), Tubagus Syaifulloh (biola) dan Anisa Rahman (backing vokalis). Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi, mereka mengungkapkan bahwa sebelum populer seperti sekarang, mereka sering tampil di pesta pernikahan. Mereka mengusung musik gambus dan salawat sebagai jenis musik yang mereka tampilkan di muka publik. Maka, Sabyan Gambus dan musik ‘islami’ mereka dapat dilihat sebagai sebuah fenomena kebudayaan tersendiri.
Dengan menilik lanskap sosio-kultural, tulisan ini hendak mengidentifikasi sebuah fase proses islamisasi dalam koridor musik. Penulis berusaha mengurai mengapa Sabyan Gambus mampu mencuri perhatian dan menjadi idola masyarakat dalam selera musik mereka. Pertama, mereka mampu mendayung di atas arus islamisasi yang terus bergerak. Dengan genre gambus yang identik dengan musik arab dan mengusung lagu-lagu ‘islami’, musik mereka menjadi semacam oase yang menghapus dahaga kaum menengah muslim akan hadirnya apa yang disebut sebagai ‘musik islami’. Mereka berhasil dengan sangat gemilang memadukan antara unsur ‘islami’ dan ‘modern’ dalam cara bermusik mereka. Persis seperti yang didambakan kaum menengah muslim.
Dengan mengusung kemasan modern dan aransemen lagu yang memikat, Sabyan Gambus menunjukkan bahwa mereka siap untuk masuk gelanggang musik nasional dengan ciri khas dan warna tersendiri. Grup musik ini seakan menggambarkan perpaduan antara simbol-simbol islam dan ikon modern dalam balutan nada dan irama. Sang vokalis yang berjilbab, berparas cantik, bersuara merdu dan berpenampilan trendy adalah simbol akomodotif yang memadukan unsur ‘islam’ dan modernitas. Perpaduan inilah yang telah lama dinanti oleh para kaum menengah muslim.
Apalagi selepas beberapa peristiwa politik di tahun 2018 ini yang mengatasnamakan islam, masyarakat sangat gandrung dengan hal-hal yang berkaitan dengan islam walaupun itu dalam ranah budaya populer. Masyarakat seakan butuh hal-hal yang mampu menegaskan identitas keislaman mereka. Maka, kemunculan Sabyan Gambus menjawab kegelisahan dan kebutuhan masyarakat untuk mencecap musik ‘islami’.
Jalin kelindan antara budaya populer dan kaum menengah muslim pernah ditulis oleh Wasisto Raharjo Jati. Ia menyatakan bahwa beberapa kelompok masyarakat merasa sudah islami ketika menggunakan produk syariah seperti jilbab syar’i, pakaian islami, bank syariah, makanan berlabel halal, perumahan syar’i dan lain sebagainya, walaupun tanpa melakukan peribadatan agama. Jenis music seperti Sabyan Gambus juga rawan untuk terjatuh ke dalam pemaknaan seperti di atas. Pemaknaan yang memandang musik ‘islami’ hanya sebagai target konsumsi, gaya hidup hedonis, penegasan identitas dan pencarian kenikmatan belaka. Gelombang islamisasi yang ‘hanya’ menekankan pada label, nama dan identitas belaka, harus ditilik secara kritis apakah benar-benar mengandung nilai-nilai keislaman atau tidak. Sekiranya, masyarakat muslim tidak terpaku pada bungkus-bungkus budaya populer ini tanpa mengkaji ulang unsur keislaman yang terkandung di dalamnya. Maka, Sabyan Gambus harus bergerak lebih jauh untuk menyuarakan nilai-nilai ajaran islam kepada masyarakat publik.
Kedua, Sabyan Gambus berhasil menggunakan media sosial dengan baik sebagai ajang untuk mempromosikan karya-karya musik mereka. Video-video mereka di Youtube telah ditonton jutaan orang. Hal ini berhasil menggeser pakem lama dalam dunia musik yang harus melewati banyak tahapan untuk bisa dikenal masyarakat. Televisi dan radio sebagai medium untuk menampilkan grup-grup musik sudah mulai tergantikan. Media sosial memangkas itu semua. Menyasar generasi milineal yang sangat akrab dengan gawai berisikan aplikasi musik seperti YouTube, Spotify dan Joox, mereka berhasil menjadi idola baru di kancah musik nasional.
Sabyan Gambus sebagai sebuah fenomena kebudayaan berhasil berjalan di atas dua tapak; arus islamisasi dan gelombang media sosial.
Politik Identitas dalam Musik ‘Islami
Sabyan Gambus setidaknya dapat dikategorikan sebagai musik ‘islami’ dari dua hal. Pertama, ia mengusung salawat dan lagu berbahasa arab. Walaupun tidak semua lagu arab bernuansa islami. Kedua, para personil perempuan memakai hijab sebagai penegasan akan identitas muslim mereka. Walaupun definisi ‘islam’ ini terlalu menyederhanakan, namun dari tampilan dan jenis lagu mereka, masyarakat mengerti bahwa ini adalah musik ‘islami’.
Seni musik dipercayai bersifat universal dan dapat dinikmati siapapun. Sebuah kelompok masyarakat dapat menikmati berbagai jenis musik tanpa adanya kategorisasi dan pembatasan. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Beberapa jenis musik hanya dapat dinikmati oleh beberapa kelompok masyarakat saja. Sebut saja dangdut yang lebih identik dengan masyarakat ‘bawah’ dan jazz yang lebih akrab dengan kaum menengah ‘atas’. Hal ini menandakan bahwa jenis musik apa yang didengar dapat menjadi simbol identitas seseorang.
Maka, persoalan mendengarkan musik tidak hanya sekedar menikmati nada dan irama saja. Namun, juga berkaitan dengan ‘dia’ dan ‘mereka’. Musik dapat dipandang sebagai penegasan identitas. Dalam konteks ini, bagi beberapa orang terutama kaum menengah muslim, mendengarkan lagu-lagu Sabyan Gambus tidak hanya bahwa mereka menikmati nada lagu tersebut. Tapi, mereka menegaskan identitas ‘keislaman’ dan ‘ke-muslim-an’ mereka dengan cara mendengarkan lagu-lagu tersebut. Seakan-akan, dengan mendengarkan Sabyan Gambus, identitas ‘islam’ mereka dianggap menguat. Apakah mendengarkan musik sesuai dengan ajaran islam atau tidak, itu adalah persoalan lain. Apakah lirik-lirik lagu berbahasa arab itu benar-benar merepresentasikan nilai-nilai islam bukanlah concern mereka. Tak heran, lagu-lagu ini banyak terdengar di perkantoran, mall, stasiun televisi dan mobil sebagai ruang dimana kaum menengah muslim sering tinggal.
Model musik Sabyan Gambus ini menjadi tanda akan sebuah bentuk alternatif islamisasi dalam bidang musik. Musik sebagai salah satu ruang dalam medan ‘perang’ kebudayaan akan selalu dipengaruhi dengan saling silang budaya, tawar menawar identitas dan tumpang tindih ideologi. Ruang pemaknaan akan sebuah musik akan selalu bergantung terhadap lanskap sosial, politik dan budaya yang mengitarinya.
Semoga kemunculan Sabyan Gambus dan lagu-lagunya tidak hanya sebagai ajang untuk penegasan identitas dan pemenuhan kenikmatan (pleasure) semata, tetapi juga mampu menyelami nilai-nilai ajaran islam dan mendakwahkan salawat di ruang-ruang publik.
Pernah ditayangkan pada pranala berikut:
https://alif.id/read/m-rosyid-hw/sabyan-gambus-musik-islami-populer-dan-politik-identitas-b210252p/
Malang, 21 Juni 2018
Komentar
Posting Komentar