Sastra Pesantren dan Keberagamaan Kontemporer [Catatan Muktamar Sastra 1]

 

Sastra, Pesantren, dan Muktamar Sastra - Alif.ID

Lanskap kehidupan keberagamaan di Indonesia berubah begitu cepat akhir-akhir ini. Beberapa survei, seperti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan LIPI, menunjukkan menguatnya gejala radikalisme dan intoleransi. Alarm bahaya akan disintegrasi kebangsaan dan memudarnya persatuan berbunyi begitu nyaring. Berbagai usaha dari berbagai bidang dicoba untuk mengatasi problematika ini. Salah satunya adalah menggali kembali budaya bangsa yang sudah terkenal adaptif terhadap berbagai perbedaan dan keragaman. Salah satu kanal bangunan kebudayaan itu adalah sastra.  

Pesantren sebagai lembaga paling otoritatif dalam pendidikan agama islam di Indonesia bergerak merespon fenomena keberagamaan ini dengan menghelat Muktamar Sastra. Acara ini dihelat pada 18-20 Desember 2018 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah  atas inisiasi KH.R. Aza’im Ibrahimy dan PWNU Jawa Timur. Muktamar Sastra yang pertama kali ini dihadiri oleh budayawan dan sastrawan untuk membahas isu-isu kebudayaan dan kesusasteraan terutama yang berkaitan dengan pesantren.  

Lukman Hakim Saifudin sebagai menteri agama dalam sambutannya menyampaikan beberapa poin penting tentang signifikansi sastra pesantren dan harapan-harapan kepada sastrawan dan pihak pesantren tentang relasi agama dan sastra kontemporer. Pertama, ia menyebutkan tentang sejarah sastra pesantren yang telah mengakar kuat di bumi nusantara. Di abad ke-16, karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani di Aceh memuat kisah-kisah sufistis. Adapula Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang mendakwahkan agama menggunakan tembang dan musik. Dan juga Jasadipura 1, Jasadipura 2  dan Ronggowarsito yang menerjemahkan wahdatul wujud dalam filosofi jawa manunggaling kawulogusti. Ruh sastra islam nusantara seperti pagan, jawi, hanacaraka dan aksara lokal memiliki bangunan kebudayaan dan tradisi tersendiri yang sangat lentur dan fleksibel dalam menerima keragaman dan perbedaan adalah titik utama dalam merajut ukhuwah kebangsaan.

Kedua, dalam pidatonya, Lukman Hakim mengutip esai Gus Dur di Kompas yang berjudul “Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia” pada 26 Desember 1973 tentang dunia sastra pesantren yang belum mendapatkan perhatian dan juga sastra Indonesia yang belum menyajikan ruh dan kejiwaan pesantren, serta ekspresi nilai universal pesantren. Muktamar Sastra dapat menjadi titik tolak dan refleksi untuk menjawab beberapa pertanyaan fundamental berikut; apakah sastra pesantren mendapat tempat layak dalam sejarah kesusasteraan Indonesia? apakah nilai-nilai pesantren telah menjadi ruh karya sastra? Apakah sastra pesantren bisa bertahan di era digital? Apakah sastra pesantren dan tokoh-tokohnya mampu mewarnai kehidupan para milineal?

Ketiga, Lukman Hakim juga menyinggung tentang kondisi sosial politik kontemporer. Ia menengarai bahwa pesatnya media sosial dan revolusi industri digital turut berpengaruh terhadap cara dan perilaku beragama masyarakat. Timbul kegagapan dimana gairah beragama yang terlalu cepat dan masif namun di sisi lain tidak diimbangi dengan sentuhan nurani, rasa dan spiritualitas. Sastra diharapkan mampu mengisi ceruk kosong untuk kembali mengasah rasa dalam beragama karena sastra memiliki karakter sintesis yang menyatukan tradisi yang berbeda, menata masyarakat yang plural dan multikultural dan mempunyai watak keleluasaan untuk melawan ketidakadilan yang tengah terjadi di masyarakat. Dalam hal ini, sastra dapat menyimpan dan merawat nilai etis dan moral yang menjadi daya penggerak energi perubahan serta nilai sastra juga mampu menggugah jiwa manusia untuk lebih mendalami agama.

Lalu kemudian, mampukah sastra pesantren menjadi solusi dari apa yang menjadi pertanyaan, harapan dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya? Jawabannya bukan mampu dan tidak mampu, tetapi sastra dapat turut menyumbang kontribusi dan ikut andil terhadap pembangunan kesatuan kebangsaan dan mengatasi radikalisme, konservatisme dan fomalisasi agama dengan cara, karakter dan perannya tersendiri.

Beberapa puisi yang dibacakan oleh KH Mustofa Bisri dan D. Zawawi Imron pada Muktamar Sastra ini dapat menjadi prototype dalam melihat hubungan sastra dan cara beragama masyarakat akhir-akhir ini. Dalam puisi “Allahu Akbar”, Gus Mus mengkritik para pemeluk agama yang menyandera makna takbir ini dan menuduh sesat kafir kepada yang lain seakan-akan mereka adalah perwakilan Tuhan di muka bumi. 

Allahu Akbar!
Pekik kalian menghalilintar
Membuat makhluk-makhluk kecil  tergetar
Allahu Akbar!
 
Allah Maha Besar
Urat-urat leher kalian membesar
Meneriakkan Allahu Akbar
Dan dengan semangat jihad
Nafsu kebencian kalian membakar
Apa saja yang kalian anggap mungkar

Allahu Akbar, Allah Maha Besar!
Seandainya 5 milyar manusia
Penghuni bumi sebesar debu ini
Sesat semua atau saleh semua
Tak sedikit pun mempengaruhi
KebesaranNya

Melihat keganasan kalian aku yakin
Kalian belum pernah bertemu Ar-Rahman
Yang kasih sayangNya meliputi segalanya
Bagaimana kau begitu berani mengatasnamakanNya
Ketika dengan pongah kau melibas mereka
Yang sedang mencari jalan menujuNya?

Mengapa kalau mereka
Memang pantas masuk neraka
Tidak kalian biarkan Tuhan mereka
Yang menyiksa mereka
Kapan kalian mendapat mandat
Wewenang dariNya untuk menyiksa dan melaknat?

Allahu Akbar!
Syirik adalah dosa paling besar
Dan syirik yang paling akbar
Adalah mensekutukanNya
Dengan mempertuhankan diri sendiri
Dengan memutlakkan kebenaran sendiri.

Laa ilaaha illaLlah! 

D. Zawawi Imron membacakan pantun berima abab tentang korupsi yang makin merajalela di negeri ini. Ini menunjukkan bahwa sastra yang ditulis oleh-oleh orang pesantren juga memuat kritik-kritik sosial dan ketidakadilan. Dengan gaya yang jenaka dan mengundang gelak tawa, budayawan ini membaca pantun berikut.

Buah delima di dalam bokor

Karung goni membungkus nangka

Syarat utama jadi koruptor

Harus berani masuk neraka

 

Naik motor kelilng Jawa

Mampir minum kota bekasi

Syarat koruptur yang nomer dua

Bisa tersenyum di televisi

 

Uang suap uang pelicin

Disebut juga uang siluman

Karna korupsi rakyat miskin

Koruptor kaya tujuh turunan

 

Menanam mentor bukit menoreh

Yang sebiji tanam di Talun

Agar koruptor dianggap saleh

Naik haji setiap tahun

 

Burung pungguk dari Cianjur

Ngejar Gelatik menuju Bogir

Sebelum duduk terkenal jujur

Setelah dilantik calon koruptor

 

Belajar agama pondok Ciganjur

Untuk mendapat kedalaman rasa

Kalau ditanya kepada Gus Dur

Koruptor itu penghianat bangsa

                                                                             Sukorejo, 19 Desember 2018

Komentar

Postingan Populer