Al-Qur’an, Sastra dan Pesantren [Catatan Muktamar Sastra 2]

 





Muktamar Sastra 2018 yang berlangsung di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo merekam berbagai macam pemikiran yang patut untuk dikibarkan dalam hamparan wacana tentang hubungan agama, sastra dan pesantren. Tulisan ini hendak mencatat percik-percik gagasan yang terpantik selama pagelaran muktamar ini berlangsung.  Salah satunya adalah tentang apa yang disampaikan KH Mustofa Bisri dalam pidato kebudayaannya.

KH Mustofa Bisri dalam pidato kebudayaannya menyampaikan tentang fenomena kebudayaan dan beragama kontemporer yakni belajar agama dan Islam tanpa memakai rasa dan ilmu. Pertama, Penyair dari Rembang ini bercerita tentang nabi dan kitab suci yang diturunkan berdasarkan perkembangan peradaban manusia. Ia mencontohkan bahwa umat Nabi Musa adalah umat yang menyanjung para penyihir karena mereka adalah tokoh masyarakat tertinggi. Maka, mukjizat  Musa adalah dapat mengalahkan penyihir-penyihir. Peradaban pada zaman Nabi Isa adalah tentang kedokteran, tabib dan obat-obatan. Maka, mukjizatnya adalah dapat menyembuhkan orang-orang mati. Sementara itu, masyarakat Arab saat Nabi Muhammad lahir adalah masyarakat yang gandrung akan sastra. Oleh karena itu, Nabi membawa mukjizat sastrawi yang  berupa Al-Qur’an.

Hal ini senada dengan apa yang ditemukan oleh Khalafullah dalam bukunya “Al-Fann al-Qashashi fi al-Qur’an Al-Karim” bahwa teks-teks kisah di dalam Al-Qur’an adalah teks-teks sastra yang digunakan sebagai mediator untuk mempermudah penyampaian pesan. Buku yang diterjemahkan oleh Zuhairi Misrawi menjadi Al-Qur’an bukan ‘Kitab Sejarah’; Seni, Sastra dan Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur’an ini mencatat bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an sangatlah tepat untuk dipahami melalui pendekatan sastra dan keindahan gaya bahasa dan juga pada hakikatnya kisah-kisah di dalam Al-Qur’an disusun dan dikisahkan berdasarkan subtansi kisah yaitu memberikan pelbagai petunjuk dan bimbingan keagamaan, moral dan norma-norma sosial kemasyarakatan.

Kedua, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin ini menjelaskan bahwa kata dan kalimat dalam Al-Qur’an adalah bahasa sastrawi sehingga untuk memahaminya perlu mendalami banyak ilmu seperti Nahwu, Shorof, Tajwid, Tafsir, Ma’ani, Balaghoh dan lain-lainnya. Orang yang hanya membaca Qur’an terjemahan akan sulit memahami Al-Qur’an, akan mengerti sepenggal dua penggal saja. Orang itu akan sulit untuk memahami Al-Qur’an secara utuh, apalagi estetika bahasa dan maknanya. Terjemahan Al-Qur’an akan banyak menghilangkan nuansa dan keindahan dalam mengartikan lafaz bahasa arab di kitab suci ini.  Oleh karena itu, ilmu alat diajarkan kiai-kiai di pesantren sejak dini untuk memahami isi dan mengapresiasi keindahan Al-Qur’an.

Pernyataan Gus Mus di atas adalah cerminan bahwa sejak dahulu pesantren-pesantren di nusantara adalah tempat dimana bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an menjadi ladang bagi bersemainya sya’ir-sya’ir dan kisah-kisah prosa dalam berbagai bidang keilmuan sebagai cara untuk mendalami agama dan memahami kitab suci Al-Qur’an. 

Bisa kita ambil contoh beberapa kitab mu’tabaroh yang diajarkan di pesantren dan ditulis berupa syi’ir, nadzam, bait dan puisi. Dalam bidang tajwid ada kitab Tuhfatul Athfal dan Hidayatus Shibyan. Nadzhom ‘Imrithi dan bait-bait Alfiyah Ibnu Malik adalah tonggak dalam belajar nahwu. Di dalam ilmu tauhid ada kitab ‘Aqidatul ‘Awam. Selawat dan syai’r dengan bahasa lokal yang berupa puji-pujian kepada Nabi yang dilantunkan sebelum salat didirikan juga sangat banyak variannya. Bait-bait pujian kepada Nabi juga rutin dibaca di pesantren seperti yang termaktub dalam kitab Barzanji dan Simthu adl-Dluror.

Di dalam kitab-kitab kuning yang mengajarkan moral dan tasawuf seperti Ihya’ Ulumuddin, Nashoihul Ibad, atau ‘Irsyadul ‘Ibad, kita akan mendapati kisah-kisah para sahabat, tabi’in, ulama’ ataupun wali yang diceritakan layaknya prosa modern namun dalam bentuk yang lebih sederhana yang dimaksudkan sebagai contoh dan perumpamaan dari kaidah-kaidah moral keagamaan.

Santri-santri di pesantren juga belajar tentang estetika dan gaya bahasa arab yang diajarkan melalui ilmu-ilmu seperti ‘Aruudh (panduan menyusun syair arab), Balaghoh (penyampaian pesan bahasa dengan fasih), Ma’aani (mempelajari susunan bahasa dan penunjukkan makna) dan lain-lainnya. Maka, dengan berbagai bekal ilmu-ilmu tersebutlah, kaum pesantren mengapresiasi dan belajar memahami Al-Qur’an.

Terakhir, Gus Mus menutup pidatonya dengan menyindir jargon keagamaan “Kembali kepada Al-Qur’an” yang banyak didengungkan. Ia berpesan bahwa jargon itu tidak boleh dipahami hanya untuk kembali kepada Qur’an terjemah saja. Akan tetapi, kembali ke Al-Qur’an  itu adalah mengaji keilmuan, terutama di pondok pesantren. Ada banyak sekali ilmu untuk mengetahui isi dan keindahan Al-Qur’an.

 

Sukorejo, 19 Desember 2018

Komentar

Postingan Populer