Marlina dan Perlawanan Perempuan
Melawan penindasan terhadap perempuan bisa dengan berbagai cara. Beberapa kasus membuktikan bahwa penindasan perempuan tidak terlepas dari pola pikir patriarki dan ketidakadilan gender yang mengendap di kepala. Perubahan mindset tentang budaya yang lebih egaliter dan adil antara laki-laki dan perempuan sangat diperlukan. Salah satu cara untuk mengetahui pola budaya patriarki, lalu sadar dan berniat mengubahnya serta berujung pada perlawanan adalah dengan menonton film. Menikmati film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak adalah salah satunya.
Film yang berfokus pada isu perempuan ini menandai perkembangan penting tentang representasi perempuan dalam film-film Indonesia. Film ini melantangkan gema tentang kekerasan seksual dan gugatan terhadap budaya patriarki. Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak juga menggondol 10 Piala Citra dari pagelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2018 yang membuktikan bahwa film ini layak ditonton dan disebarkan pesan-pesannya.
Dalam laporan tahunan yang berjudul “Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Pusaran Politik Populisme”, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melansir bahwa kekerasan terhadap perempuan pada 2017 mencapai 348.446 kasus dengan 2.979 kasus berupa kekerasan seksual. Sebelumnya, Komnas Perempuan mencatat kekerasan seksual yang terjadi di tahun 2016 terdapat 5.785 kasus, 6.499 kasus di tahun 2015 dan 4.475 kasus pada 2014. Walaupun tren kekerasan terhadap perempuan dan anak terlihat naik turun namun jumlahnya masih cukup tinggi.
Dahulu, saat rezim Orde baru menjadikan perempuan yang identik dengan urusan domestik, orang tidak berani bicara saat menjadi korban kekerasan seksual. Film-film juga melegitimisi diam dan tunduknya perempuan. Khrisna Sen dalam Indonesian Cinema; Framing the New Order berpendapat bahwa pemerkosaan adalah hal biasa dalam sinema Indonesia dan wanita sebagai korban adalah pihak yang pasif dan pasrah. Film secara tidak langsung mengamini asumsi umum yang timbul di masyarakat bahwa dalam kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan cenderung untuk menyalahkan perempuan sebagai korban. Saat reformasi bergulir, ada titik harap bahwa isu perempuan akan hadir ke permukaan. Kemunculan sutradara-sutradara perempuan memberikan optimisme akan terciptanya film yang peka akan permasalahan perempuan.
Akan tetapi, mewujudkan keadilan bukanlah hal yang mudah. Kekerasan seksual terhadap perempuan masih terjadi. Kasus-kasus beberapa bulan terakhir menunjukkan hal tersebut, seperti mahasiswi UGM yang menjadi korban pelecehan seksual saat Kuliah Kerja Nyata tetapi pelakunya dapat melenggang bebas1. Baiq Nuril yang melapor dan membela diri malah dikenai pasal UU ITE karena dianggap menyebarkan konten asusila adalah contoh konkret akan ketidakadilan2. Film dapat ikut andil dalam berdepan dengan isu-isu tersebut untuk menciptakan keadilan sosial. Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) sebagai sebuah media artistik berdiri disana setidaknya dalam tiga hal.
Pertama, menarasikan kekerasan seksual dan penindasan berlapis-lapis. Film adalah representasi keadaan sosial yang terjadi di masyarakat. Kekerasan seksual yang menimpa Marlina dalam film adalah salah satu kemungkinan dari ribuan kasus yang benar-benar terjadi. Marlina digambarkan sebagai perempuan yang tertindas berlapis-lapis; perempuan janda miskin, diperkosa dan terisolir di tempat yang terpencil. Sutradara dengan piawai membangun narasi bahwa kekerasan seksual sangat rentan terjadi di sebuah struktur terkecil dan terlemah dalam tatanan sosial masyarakat.
Kedua, perempuan digambarkan sebagai sosok perkasa dan pantang menyerah di film ini. Tidak seperti film-film Order Baru dimana perempuan digambarkan sebagai sosok yang diam dan didomestifikasi dalam ruang privat, perempuan seperti Marlina adalah figur yang menolak struktur mapan. Marlina menolak tunduk pada relasi kuasa yang menempatkannya sebagai sosok marjinal. Ia dengan gagah memenggal leher Markus yang sedang memperkosa dirinya. Sebuah simbol yang menyiratkan bahwa kekerasan seksual harus dibabat habis hingga ke akar-akarnya. Setelah membunuh, Marlina menenteng kepala Marcus di jalanan menuju kantor kepolisian untuk mencari keadilan. Tak pelak, masyarakat pun tahu bahwa Marlina baru saja membunuh laki-laki. Kepala Markus di ruang publik merepresentasikan bahwa penolakan terhadap kekerasan seksual harus ditunjukkan di ruang publik agar masyarakat tahu bahwa perempuan berani menantang apapun yang merendahkan harga dirinya.
Ketiga, tata gambar dan tata musik sangat berhasil membungkus isu perempuan dan lokalitas di Sumba Nusa Tenggara Timur. Pengambilan gambar dari jarak jauh seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi; menyajikan keindahan panorama alam dan sekaligus menyuguhkan keterbatasan akses dari masyarakat yang terisolasi. Tak pelak, Marlina memperoleh penghargaan dalam Five Flavours Asian Film Festival (FFAFF) di Warsama, Polandia, karena kualitas gayanya yang menggunakan ikonografi genre Western yang ditransformasikan ke dalam lanskap Asia kontemporer.
Walaupun banjir pujian dan apresiasi di luar negeri, penonton lokal masih sedikit. Situs theatersatu.com melansir bahwa penonton Marlina Si Pembunuh Dalam 4 Babak masih berkisar pada 133.079 penonton per 20 September 2018. Penonton masih sangat minim jika dibandingkan dengan penonton Pengabdi Setan yang mencapai 4.206.103 orang di tahun 2017, 6.315.664 orang untuk film Dilan 1990 di tahun 20183. Penulis berpendapat bahwa film ini sangat layak ditonton oleh siapapun untuk mengetahui tentang isu-isu kekerasan seksual.
Yang patut digarisbawahi juga adalah bahwa film ini juga disutradarai oleh perempuan, yaitu Mouly Surya, yang tentunya punya kepedulian terhadap isu-isu perempuan. Novi Kurnia dalam buku Women Directors in Post-New Order Indonesia; Makin Film making Difference merangkum wawancara dari para sutradara perempuan dan bertanya apakah gender mempengaruhi persepsi mereka sebagai seorang sutradara. Terdapat tiga respon dari pertanyaan tersebut dan berujung pada kesimpulan bahwa sutradara perempuan lebih memperjuangkan isu-isu perempuan daripada laki-laki. Pertama, tidak ada perbedaan antara sutradara laki-laki dan perempuan. Kedua, identitas perempuan akan sangat berpengaruh terhadap output artistik mereka. Ketiga, terdapat perbedaan antara sutradara laki-laki dan perempuan tetapi hanya dalam situasi tertentu. Nah, Maouly Surya dengan film Marlina dapat dikategorikan sebagai yang kedua karena dengan sangat jelas film ini menggambarkan dan menggugat kekerasan seksual yang terjadi di daerah terpencil.
Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak adalah sebuah sirine perlawanan terhadap bahaya penindasan perempuan dan kekerasan seksual yang masih terus terjadi. Seperti Marlina yang memenggal kepala Markus, perempuan pemberani akan terus muncul untuk memenggal segala bentuk diskriminasi, marginalisasi dan penindasan.
Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak| 2017| Sutradara: Mouly Surya | Negara: Indonesia |Pemain: Marsha Timothy, Dea Panendra | Penulis: Mouly Surya, Rama Adi, Garin Nugroho
Referensi:
Kurnia, N. Women Directors in Post-New Order Indonesia: Making a Film, Making a Difference. Doctor of Philosophy Thesis, Flinders University, 2014.
Sen, Krishna. Kuasa Dalam Sinema; Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009.
Laporan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2017
1 https://tirto.id/kasus-agni-bagaimana-ugm-mengabaikan-kasus-kekerasan-seksual-dgpM
2 https://tirto.id/ironi-kasus-baiq-nuril-perempuan-yang-divonis-hakim-perempuan-c9Uz
3 http://theatersatu.com/ini-dia-data-update-jumlah-penonton-film-nasional-hingga-13-januari-2019
Komentar
Posting Komentar