“Sastra Pesantren” sebagai Definisi [Catatan Muktamar Sastra 3]
Sastra Pesantren adalah sebuah wacana yang terus menggelinding dalam diskursus kesusasteraan Indonesia. Timbul tenggelam dalam berbagai suara ideologis dan estetis yang berdesakan dalam ruang publik sastra. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia telah banyak memberikan sumbangan peradaban bagi bangsa ini, termasuk dunia sastranya. Sastra pesantren sebagai sebuah ‘genre’ sastra masih terus diperdebatkan hingga saat ini mulai dari sejarah kemunculannya, estetika khususnya, karya-karyanya hingga nilai-nilai yang dikandungnya.
Muktamar Sastra 2018 yang diadakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo pada 18-20 Desember 2018 dapat menjadi titik pijak untuk kembali menengok, menelusuri, mengkaji, merawat, melestarikan, menguraikan, berdiskusi hingga berdebat tentang hal ihwal sastra pesantren. Tulisan ini hendak mencatat beberapa pokok gagasan yang dilontarkan oleh para ‘begawan’ sastra tentang sastra pesantren. Poin-poin yang dilontarkan oleh para narasumber dapat diramu, diintegrasikan, ditabrakkan atau dihadap-hadapkan untuk menelusuri dan merumuskan khazanah sastra pesantren.
Sejauh amatan penulis, belum terdapat definisi pakem dan baku tentang apa itu sastra pesantren. Kajian ilmiah dengan argumen yang kuat mengenai sastra pesantren sebagai sebuah ‘genre’ sastra di Indonesia juga belum ditulis secara komprehensif, hanya parsial belaka seperti membahas satu tokoh saja, satu tema dengan beberapa karya atau komunitas sastra pesantren. Tak dapat dipungkiri bahwa sastra pesantren membentang begitu luas mulai dari sejarahnya yang panjang, variasi tematik, dan ragam bahasa yang ditulis. Walhasil, hal ini membutuhkan waktu dan tenaga untuk mengumpulkan dan merumuskan sastra pesantren.
Selama muktamar berlangsung ada beberapa definisi yang muncul dan dipaparkan diantaranya:
· Raudal Tanjung Banua dalam “Beberapa Percakapan Dasar tentang Sastra Pesantren” menyebut bahwa sastra pesantren adalah sastra yang lahir dari rahim pesantren dan mengusung semangat (spirit) serta tradisi pesantren. Ia menyebut dua syarat agar sebuah karya dapat disebut sastra pesantren. Pertama, penulis karya berlatar pesantren sebagai kiai, pengajar atau santri. Kedua, karyanya harus mengusung spirit dan tradisi pesantren.
· Jamal D. Rahman dalam “Muktamar Sastra 2018 di Pesantren Sukorejo” menyebut tiga cakupan pengertian sastra pesantren. Pertama, tradisi sastra yang secara tradisional hidup di pesantren, yaitu ilmu sastra Arab (balaghah) dan segala jenis syair, syiir dan nadoman (baik dalam bahasa Arab, Melayu-Indonesia, maupun bahasa-bahasa daerah). Kedua, sastra Indonesia modern yang digali dari khazanah pesantren, bertema pesantren, atau sedikit-banyak menyinggung dunia pesantren. Ketiga, sastra Indonesia modern yang ditulis oleh orang-orang pesantren, yakni penulis yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, apapun tema yang diceritakannya.
· Aguk Irawan MN dalam “Sastra Pesantren dan Tantangannya” menulis tiga pengertian untuk sastra pesantren; sastra yang hidup di pesantren, sastra yang ditulis oleh orang-orang pesantren (kiai, santri, alumni) pesantren dan sastra yang bertemakan pesantren.
Ahmad Tohari dalam esainya “Sastra Pesantren, Sastra Dakwah” menyebut sastra pesantren sebagai sastra yang hidup dan diciptakan kalangan pesantren sekaligus bermuatan misi dakwah. Ia menulis bahwa sesungguhnya sastra pesantren sudah ada sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad 12.
Sementara itu, Ahmad Baso dalam Pesantren Studies Buku 2 Juz 2b menguraikan bahwa sastra pesantren dalam beragam bentuknnya adalah buah karya orang-orang pesantren dalam mengolah cerita, menulis ulang hikayat, hingga menciptakan karya-karya baru.
Pendapat-pendapat di atas kebanyakan adalah uraian orang ‘dalam’ pesantren sendiri. Sebagai sebuah terma, masih diperlukan beberapa catatan orang luar untuk memperkaya istilah “sastra pesantren” itu sendiri. Namun, pengertian-pengertian di atas telah cukup memberikan poin-poin utama dan pijakan tentang sastra pesantren. Walhasil, Muktamar Sastra 2018 telah membawa sastra pesantren kembali ke tengah perbincangan kesusasteraan di Indonesia dengan tafsir dan pemaknaan yang terus disempurnakan.
Sukorejo, 19 Desember 2019
Komentar
Posting Komentar