Film "27 Steps of May"; Kisah Korban Kekerasan Seksual
sumber gambar: https://www.hipwee.com/narasi/27-steps-of-may-review-keheningan-yang-penuh-gejolak-emosi/
Menonton “27 Steps of May” (2019), jangan harap akan menemui pertunjukan sulap yang menghibur seperti terlihat dalam poster film ini. Alih-alih menyenangkan, sepanjang film kita justru dihadapkan pada jalan cerita yang gelap dan subtil. Film ini bukanlah film tentang trik-trik sulap, namun kemungkinan menyembuhkan trauma akibat pemerkosaan melalui sulap. Mungkinkah? Mari kita simak ceritanya.
Tohokan pertama langsung menghujam di menu pembuka film. Seorang gadis yang bernama May (diperankan oleh Raihaanun) dan berumur 14 tahun mengalami pemerkosaan. Lalu, ia mengidap trauma akut selama sewindu lebih akibat kekerasan seksual. Ia menciptakan sistem hidup dan rutinitasnya sendiri. Pagi hari, ia membuka pintu kamarnya sebagai tempat ia merajut boneka-bonekanya. Boneka-boneka yang berbentuk dan berwarna sama. Tak ada kreativitas sama sekali. Ia memakai warna baju putih dan soft yang ia setrika sendiri serta kaos kaki putih panjang yang menutupi lutut. Ia menggelung rambutnya ke belakang dan memakan hal yang serba putih; nasi putih, air putih dan putih telur. Semua serba tawar dan hambar.
Selepas kecelakaan na’as itu, ia tak pernah bertemu siapapun kecuali Bapaknya (diperankan Lukman Sardi). Itu pun tanpa komunikasi lisan. Tanpa ucapan dan tanpa percakapan. May menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang tak boleh seorang pun memasukinya. Lubang trauma yang tertutup erat di dalam hatinya.
Film ini mengisahkan bagaimana distraksi-distraksi yang muncul dan mempengaruhi trauma yang diidap oleh May. Setiap satu persatu rahasia May terbuka oleh setiap distraksi, penonton akan menaiki tangga-tangga kepedihan yang lebih tinggi. Apakah May bisa sembuh? Apakah May bisa melupakan tragedi kelam yang menimpanya? Apakah May bisa menjadi gadis normal kembali? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus bermunculan di sepanjang film berlangsung.
Distraksi-distraksi sistem
Distraksi pertama terjadi saat kebakaran di belakang rumah dan asap mengepul, Bapaknya menyentuh dan menariknya keluar kamar. Sentuhan di pergelangan tangannya mengingatkannya akan renteten peristiwa pemerkosaan yang menimpa dirinya. Scene hitam putih yang berkelebat menggambarkan May yang sedang meronta-ronta kesakitan.
Ia tetap tak mau keluar rumah, melepaskan genggaman Bapaknya lalu berlari menuju kamar mandi dan menguncinya. Di sana, ia perlahan-lahan menggoreskan silet ke pergelangan tangannya. Sebuah praktek self-injury untuk melampiaskan emosi-emosi yang terlalu menyakitkan untuk diekspresikan dengan kata-kata. Ia mencoba membebaskan dirinya dari emosi yang tak tertahankan akan kisah masa lalunya. Setiap secuil peristiwa yang membawanya akan kenangan pemerkosaan, ia akan melukai dirinya sendiri.
Scene kebakaran ini menceritakan sejak awal bahwa May dengan sangat kuat berusaha untuk membangun sistem pertahanan (coping mechanism) untuk mencari ketenangannya sendiri. Tanpa ada gangguan apapun dari luar dirinya.
Distraksi kedua berjalan alami saat lubang kecil muncul di pojok kamarnya. Melalui lubang itu, ia dapat melihat seorang pesulap (Ario Bayu) di samping rumahnya. Pesulap dan lakunya inilah yang digambarkan menjadi perantara dari proses penyembuhan (healing) akan trauma kekerasan seksual yang diidap May.
Pertama-tama, May melihat dan tertarik dengan keseruan permainan sulap yang dimainkan. Lalu, ia mulai belajar sulap. Permainan koin adalah yang pertama May pelajari. Setelah menguasai satu sulap, May beranjak ke teknik-teknik sulap yang lain. Sang Pesulap pun sedikit demi sedikit mengajarinya.
Gerakan-gerakan tangan dan secarik tulisan menjadi alat komunikasi kedua insin ini. Tak disangka, komunikasi dan sulap itu menjadikan May mulai membuka sistem dirinya. Ia mulai membiarkan rambutnya tergerai, mengenakan baju yang berwarna pekat, makanan yang berasa dan tidak ‘putih’ lagi, hingga boneka-boneka yang berubah bentuk dan warna.
Seakan digerakkan oleh kehendak alam, lubang kecil dan pesulap mulai mewarnai hidup May dan secara tidak langsung adalah perantara proses penyembuhan traumanya.
Lubang kecil yang terus membesar di pojok kamar, trik-trik sulap yang menjadi alat komunikasi hingga May yang akhirnya berani bercerita –walau hanya dengan gerakan—tentang kasus kekerasan seksual yang menimpanya adalah gambaran betapa tak mudahnya mengobati dan menyembuhkan korban. Jalan yang dilalui sangatlah berat dan kadang membutuhkan alam yang bekerja dalam proses itu.
Derita kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh korban, tetapi juga orang-orang di sekelilingnya. Dalam film ini, Ayah May terjerembab dalam rasa bersalah yang begitu mendalam. Ia meluapkan kemarahan dan rasa ketidakmampuannya menjaga May dalam ring-ring tinju.
Raihaanun dengan sangat piawai memerankan diri sebagai May. Dengan gestur tubuh dan ekspresi mimik muka, ia menceritakan kesengsaraan yang terpendam jauh di lubuh hati May. Tak perlu banyak kata dan kalimat, laku geraknya menyiratkan penderitaan kelam yang ditutup rapat-rapat. Sebagai Bapak, Lukman Sardi juga turut menarik penonton untuk merasakan emosi kekecewaan, kekesalan dan kemarahan yang dirasakannya.
***
Menonton film ini seperti sedang melaju di sebuah roller coster. Naik turun dalam hentakan-hentakan konflik yang mengerikan. Miris dan menyayat-nyayat hati. Seorang May yang terperangkap dalam trauma kekerasan seksual dengan tertatih-tatih mendaki proses penyembuhan. Sebuah potret derita psikologis hebat yang dialami oleh korban pemerkosaan.
Kekerasan seksual masih menjadi masalah di negara ini. Setidaknya, sepanjang 2018, terdapat 5.517 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual. Film dapat menjadi sebuah wahana untuk turut berkontribusi dalam menekan angka-angka tersebut. Atau bahkan menghilangkan kekerasan seksual dari muka bumi Indonesia. Dari situlah, maka penulis kira bahwa “27 Steps of May” hadir untuk penonton.
Film ini muncul dengan pesan yang sangat kuat; derita psikologis akibat kekerasan seksual dan proses penyembuhannya yang tak mudah. Dengan terus menyuarakan apa yang akan dirasakan oleh korban, film ini setidaknya mampu menyentuh hati nurani kemanusiaan bahwa kekerasan seksual menimbulkan dampak yang sangat mengerikan, tidak hanya bagi korban tetapi juga orang-orang di sekelilingnya.
Judul : 27 Steps of May
Tahun : 2019
Sutradara : Ravil Bharwani
Pemain : Raihaanun, Lukman Sardi, Ario Bayu, Verdi Solaiman
Malang, 05 Februari 2019
Komentar
Posting Komentar