Media Digital, Politik dan Relasi Kuasa
Era digital pasca reformasi menandai perkembangan penting dalam dunia media. Televisi dan radio kini mempunyai kanal daring yang bisa diakses dimana saja dan kapan saja. Media cetak seperti majalah dan koran sekarang memiliki e-paper yang dapat dilihat melalui gawai saja. Dengan ini, para pemilik media di Indonesia melirik media digital sebagai pasar potensial untuk berkekspansi hingga menjadi bisnis yang kokoh. Di lain sisi, era digital juga memunculkan media-media baru seperti tunas-tunas yang tumbuh di musim hujan.
Saat para elit media berpikir bahwa media digital dapat dikapitalisasi di dunia politik, pola-pola baru terbentuk dan menimbulkan masalah terhadap demokrasi Indonesia. Hubungan media dan kekuasaan politik yang berenang di arus digitalisasi dan demokratisasi haruslah dilihat secara kritis dan analitis. Karena secara historis, media masa seperti televisi, radio, majalah dan koran yang berperan sebagai corong suara untuk menjangkau masyarakat selalu memegang peranan penting. Disinilah, buku ini hadir di tengah pembaca.
Buku Kuasa Media di Indonesia; Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital yang ditulis oleh Ross Tapsell ini menjelaskan jalin kelindan tiga hal; oligarki politik, konglomerasi media dan masyarakat sipil. Penulis buku ini menghadirkan analisis yang menarik tentang ruang politik dan kekuasaan yang dipengaruhi oleh media. Dalam buku yang diterjemahkan dengan baik oleh Wisnu Prasetya, pengajar di Australian National University ini menyuguhkan tiga poin penting tentang lanskap media digital di Indonesia.
Pertama, ia menjelaskan bahwa kemunculan media baru pasti akan berpengaruh terhadap struktur kekuasaan yang ada. Ia mencontohkan, dengan mengutip Benedict Anderson dalam Imagined Communities, bahwa kehadiran media cetak turut menyebarkan bahasa indonesia yang juga membangkitakan nasionalisme kaum muda Indonesia. Kemudian, kemunculan televisi di zaman Orde Baru menjadi ruang terpenting untuk memelihara dan melanggengkan legitimasi rezim otoriter Suharto. (hal. 54)
Lantas, apa pengaruh media digital terhadap relasi kuasa kontemporer?
Media digital mulai merangsek ke Indonesia bertepatan dengan tahun-tahun terakhir rezim Orde Baru. Bertepatan dengan kebebasan pers yang mulai terbuka, para pebisnis mulai melirik bisnis media sebagai hal yang menjanjikan. Di tengah regulasi dan undang-undang yang tak mengikat, pemilik media-media digital mengumpulkan kekuatan dan membentuk apa yang disebut Ross Tapsell sebagai “konglomerasi digital”. Raja-raja media bermunculan dan media terkonsentrasi menjadi milik beberapa orang saja.
Era digital juga menghasilkan demokratisasi dimana masyarakat yang berdaya dan berpendidikan bisa bebas berpendapat dan mampu menciptakan media-media baru untuk menyuarakan aspirasi mereka, yang dalam beberapa hal, berlawanan dengan elit media. Walhasil, media digital menandai era dengan menggelar palagan perang antara kepentingan oligark media dan keinginan warga sipil.
Kedua, dengan data yang kaya dan didukung dengan wawancara yang kuat, Ross Tapsell menguraikan bagaimana para raja media seperti Aburizal Bakrie, Chairul Tanjung, Hary Tanoe, Erick Tohir dan Surya Paloh membangun media digital mereka dan membentuk oligarki media. Ia juga memaparkan bagaimana mereka mulai merangsek ke dunia kekuasaan dengan menjadi politisi atau men(di)dekati politisi. Bahkan, beberapa juga mendirikan partai politik. Media milik mereka; mulai dari stasiun televisi, koran, majalah, radio hingga media daring, menjadi pelantang yang menyuarakan kepentingan segelintir oligarki ini terutama di musim-musim pemilihan elektoral.
Buku ini menjadi kotak pandora yang membuka kedok kaitan aktor politik dan media di pemilu-pemilu pasca Orde Baru, terutama tahun 2014. Pola serupa sepertinya tetap berlanjut dan bahkan direplikasi dalam pemilu lokal. Penelitian ini patut dijadikan titik pijak untuk menganalisa pemain-pemain politik dan media yang akan ‘berlaga’ di pemilu 2019.
Tapsell mencatat dua implikasi dari terseretnya media dalam arus politik dan kekuasaan ini. Pertama, pemilik media umumnya memproduksi berita dan informasi sesuai dengan keinginannya hingga sulit menemukan pers bebas yang independen kritis. Kedua, para calon yang maju dalam pemilu ‘harus membeli akses media’. (hal. 15)
Ketiga, digitalisasi juga mendorong warga yang berdaya untuk bersuara untuk perubahan. Internet memungkinkan masyarakat untuk mempunyai akun-akun pribadi yang dengan itu didengungkanlah gerakan sosial dan politik perlawanan. Kalangan terdidik yang jengah terhadap media-media milik kaum oligark mencari saluran alternatif yang terfasilitasi oleh dunia digital untuk mengintrodusir agenda reformis dan perubahan. Tapsell mencatat bahwa kemunculan Jokowi di pemilu 2014 sebagai contoh keberhasilan gerakan ini walaupun akhirnya Jokowi juga terjerat tentakel kaum oligark.
Penulis buku ini berpendapat bahwa gerakan kontra-oligraki ini bergerak dalam isu dan momen tertentu. Walaupun perlawanan terhadap wacana kaum oligark tidak selalu menang, tapi gerakan ini benar-benar ada, nyata dan cukup berpengaruh. (hal. 189)
Dengan penelitiannya ini, Ross Tapsell melanjutkan apa yang telah banyak diteliti oleh para Indonesianis yang mengkaji media di Indonesia seperti David T. Hill dan Krishna Sen dalam buku-buku “The Press in New Order Indonesia”, “Media, Culture and Politics in Indonesia”, “Internet and Democracy” dan “Politics and the Media in Twenty First Century Indonesia”.
Genderang politik eletoral telah ditabuh. Media-media sebagai pawang telah disiapkan untuk mengawal. Jala-jala berita yang tendensius telah dan akan terus ditebar. Masyarakat harus melek politik dan media sekaligus untuk bisa lepas dari jebakan-jebakan. Walhasil, buku ini dapat menjadi pintu masuk penting untuk, satu, mengetahui kemanakah bandul-bandul media akan diarahkan sehingga masyarakat mampu berhati-hati dan secara kritis dalam membaca berita-berita yang bermunculan di televisi, radio, media cetak ataupun media daring. Kedua, untuk mendorong diskursus dan media alternatif agar menggemakan agenda reformis demi ruang publik yang lebih demokratis. Media adalah medan pertempuran tentang kepada siapa kekuasaan akan berlabuh, seperti kata Noam Chomsky “He who controls the media, controls the minds of the public”.
Judul : Kuasa Media di Indonesia; Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital
Penulis : Ross Tapsell
Penerjemah : Wisnu Prasetya Utomo
Penerbit : Marjin Kiri, Tangerang Selatan
Tahun : Oktober 2018
Tebal :
298 hlm.
Malang, 04 Maret 2019
Komentar
Posting Komentar