Sastra(wan) Malang; Singgah dan Pergi
Sabtu kemarin, 5 Oktober 2019, tiga novela dibedah dan didiskusikan di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang. Bagi penulis, peristiwa ini bukanlah peristiwa biasa. Keistimewaannya terletak pada konfigurasi penulis yang meluncurkan novelanya. Bedah novela ini menandai pola perkembangan sastra Malang akhir-akhir ini.
Dua pengarang novela yang menarik perhatian saya pada bedah novela tersebut adalah Dwi Ratih Ramadhani dengan novela Silsilah Duka dan Royyan Julian dengan Rumah Jadah. Dalam tulisan ini, saya tidak membahas dua novela tersebut tetapi lebih membahas bahwa dari dua pengarang ini, kita bisa melihat pola dan bentuk proses kekaryaan sastra (literary craftmanship) yang sedang bertumbuh di Malang. Pola-pola ini nantinya dapat ditarik untuk melihat sejauh mana geliat sastra Malang mutakhir.
Pola pertama adalah keduanya bukan berasal dari Malang dan tidak ber-ktp Malang. Ratih dari Madura, begitu juga Royyan. Kedua, mereka sama-sama menempuh pendidikan perguruan tinggi di Kota Malang. Pun, keduanya sama-sama kuliah di Universitas Negeri Malang. Pada titik inilah, persinggungan mereka dengan Kota Malang dimulai. Kota tidak hanya sekedar kota. Ia tersusun dari ruang sosio-budaya yang dapat mendukung proses berkarya seorang penulis.
Dengan mengenyam pendidikan dan menyelami geliat kultural di Malang, Ratih dan Royyan mulai menelurkan karya-karya sastra. Saya tidak mempermasalahkan bahwa mereka sudah berkarya sejak sebelum pergi ke Kota Malang. Namun, Kota Malang pasti menjadi salah satu titik pijak keduanya dalam menekuni dunia kepengarangan. Sedikit banyak, Malang pasti memiliki keterpengaruhan terhadap karya-karya sastra mereka. Tidak harus pada konten sastranya yang bertema Malang, tetapi pada bahwa mulai dari Malanglah mereka mendapatkan akses pengetahuan yang cukup untuk terjun ke dalam sastra. Di Malang pula, mereka mendapatkan perjumpaan dengan role model sastrawan yang mungkin tidak akan mereka jumpai jika mereka tidak pernah meninggalkan Pulau Garam. Jikapun, mereka pernah berjumpa dengan sastrawan Madura semisal, namun jangkauan perkenalan dan pergaulan mereka dgn sastrawan Malang atau sastrawan 'nasioanal' yg datang ke Malang pasti lebih banyak dan lebih luas. Pergumulan dengan dunia komunitas yang tersebar di kampus-kampus seperti UKM Penulis dan Pelangi Sastra juga turut memperkaya diskursus sastra mereka.
Persinggungan kultural dengan Malang lalu berujung pada pola ketiga, yaitu keduanya pernah menerbitkan karya sastra di Malang. Dwi Ratih dengan kumpulan cerpen Pemilin Kematian yang diterbitkan Pelangi Sastra. Royyan Julian dengan kumpulan cerpen Tandak, pemenang sayembara sastra Dewan Kesenian Jawa Timur yang kemudian juga diterbitkan oleh Penerbit Pelangi Sastra.
Namun, dari berbagai tali temali hubungan dengan Malang ini, ada hal berbeda yang sama sekali tidak berkaitan dengan Malang. Yaitu, tema-tema tulisan mereka. Bahwa kehadiran keduanya di Malang tidak lantas menjadikan mereka banyak menulis, mengulas dan mencatat Malang. Alih-alih menulis Malang, karya-karya mereka lebih banyak merekam geliat dan dinamika kehidupan orang-orang Madura, tempat dari mana mereka berasal. Inilah pola keempat; kehadiran (calon) pengarang di Malang selama bertahun-tahun tidak serta merta menggiringnya untk menulis Malang, pilihannya jatuh untk mencatat daerahnya masing-masing.
Saya akan menghadirkan contoh lain untuk menguji empat pola yang sudah dikemukakan. Yaitu Felix K. Nesi, penulis yang memenangi sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2018. Ia juga mengalami proses dari empat pola ini seperti halnya Ratih dan Royyan. Pertama, ia berasal dari Nusa Tenggara Timur, bukan Malang. Kedua, ia mengenyam pendidikan di Kota Malang, tepatnya Universitas Merdeka Malang. Ketiga, ia pernah menerbitkan buku melalui penerbit Malang dengan kumcer pertamanya Usaha Membunuh Sepi yang diterbitkan oleh Pelangi Sastra. Keempat, cerpen-cerpennya juga novelnya tidak berkisah tentang Malang tetapi kehidupan orang-orang dari tempat ia berasal; Nusa Tenggara Timur.
Saya yakin bahwa Ratih, Royyan dan Felix tidak akan menyangsikan bahwa Malang turut berkontribusi terhadap proses berkarya mereka. Hal ini membuktikan bahwa secara sosio-kultural Kota Malang telah turut menyumbang dan berhasil menjadi ruang kreatif bagi lahirnya penulis dan pengarang baru dalam jagat sastra Indonesia.
Kemunculan pengarang-pengarang yang pernah berproses di Malang seperti ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Sebut saja Ratna Indraswari Ibrahim. Ratna adalah orang kelahiran Malang, mengenyam pendidikan di Malang dan berproses kreatif di Malang. Karya-karyanya juga banyak yang mencatat Kota Malang seperti novel Lemah Tanjung yang bercerita tentang destruksi ekologis terhadap hutan kota dan novel 1998 yang melihat letusan reformasi dari sudut kota Malang.
Fenomena kemunculan pengarang seperti Dwi Ratih Ramadhani, Royyan Julian dan Felix K. Nesi ini patut direnungkan dalam meneropong geliat dan kecenderungan baru dalam perkembangan sastra Malang.
Di satu sisi, mereka dapat dianggap sebagai potret keberhasilan iklim kesusasteraan Malang. Namun, di sisi lain pertanyaan yang lahir kemudian adalah dimanakah generasi pengarang baru yang berasal atau lahir di Malang setelah prosais Ratna Indraswari Ibrahim dan penyair Wahyu Prasetya? Apakah ruang kultural kreatif Malang hanya mendorong para pendatang yang singgah lalu kemudian balik pergi seperti ketiga penulis di atas? Apakah semesta Malang tidak mendukung lahirnya penulis-penulis ber-KTP Malang? Atau dimanakah gerangan para pengarang ‘asli’ Malang ini? Bukan tidak mungkin bahwa suatu saat sastra Malang dan sejarahnya akan diisi oleh mereka ini; sastra(wan) yang pernah singgah dan lalu pergi. Semoga tidak.
Malang, 10 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar