Cintaku Mengapung di Sungai Brantas
Angin sore berdesir sayup-sayup. Mega-mega bercahaya di pucuk ufuk. Sungai Brantas nampak kehijau-hijauan. Mataku tertumbuk pada perahu yang hilir mudik membelah sungai. Mondar-mandir dari ujung ke ujung. Bengawan ini selalu elok. Sungai ini selalu gagah. Berarus tenang, namun menghanyutkan.
Senja merekah pada puncak gunung Wilis yang gagah. Sepeda motormu melaju dengan lincah di antara celah-celah pagar bambu yang tak berhenti berderit-derit saat dilalui. Serupa labirin, jembatan bambu adalah misteri yang penuh tanda tanya kengerian. Menjorok ke sungai dan sangat curam. Hanya cukup untuk satu jalur motor. Seonggok perahu tambangan telah menanti di ujung jembatan. Aku merangkul pinggangmu erat-erat. Pelan-pelan, kataku. Tenang ini jalan yang kulalui tiap hari, katamu. Nafasku naik turun. Kau menyapa para penghuni perahu. Mereka tersenyum menyapa balik. Perahu tambangan bersiap hendak berangkat.
Mesin diesel mulai menyala. Berisik menyeruak. Selarik tali besi panjang terpancang di atas sungai. Tali itu mengikat perahu agar tak berpindah dari lajurnya. Ekor perahu dilengkapi kayu kemudi demi membelokkan deras arus sungai. Seorang penambang berdiri di ujung geladak tanpa rasa takut. Di tangannya, sepotong bambu panjang menghujam dasar sungai. Ia adalah penunjuk jalan agar perahu berjalan di arah yang tepat.
Seberapa dalam sungai ini, tanyaku. Tak ada yang mampu secara tepat mengukur kedalaman sungai, katanya. Lebih baik berhati-hati.
Perahu bergoyang-goyang ketika membelah sungai dan melawan arus. Pintu hatiku diketuk-ketuk kekhawatiran. Air sungai kecoklatan terasa seperti maut yang memanggil-manggil. Permukaannya tenang namun terlihat menyimpan gemuruh dan gelombang dahsyat di dasarnya. Pikiranku mengawang. Bagaimana jika ada gelombang air dari hulu sungai dan menghantam perahu hingga terbalik. Atau bagaimana jika tali besi itu putus dan perahu terseret arus hingga ke hilir. Bagaimana jika perahu ini bocor dan gelombang air akan menenggelamkannya. Bagaimana jika seekor buaya memunculkan moncongnya. Bagaimana jika…
Kau melihat raut tegang di wajahku. Kau pasti berani, katamu. Kupegang tanganmu erat-erat. Tak kulepaskan. Menepis jarum-jarum ketakutan yang terus menggerus keberanianku. Tiba-tiba sebongkah angin menerpaku begitu keras. Keseimbanganku lepas. Tubuhku hampir terjatuh. Untung kau cepat-cepat menggamit tubuhku. Ia tersenyum menatapku. Senyum dan tatapan yang di kemudian hari memahat rasa sayang di kedalaman dadaku.
“Karcis! Karcis!” ujar pemilik perahu. Kau mengulurkan uang seribuan kepada penambang.
Mudah bagiku untuk terpesona denganmu. Tubuhmu kekar. Otot-ototmu liat. Pantaslah, karena tiap hari kau harus timbul dan tenggelam di sungai Brantas demi sekarung pasir. Namun, yang paling menarik adalah matamu yang bekerjap-kerjap dan tatapmu yang mengambang saat bercerita tentang Brantas.
Sungai Brantas adalah semestamu. Semenjak kecil, kau telah diasuh oleh kecipak sungai itu. Berenang di pinggirannya saat sedang surut. Memancing dan menjaring ikan hingga larut. Tumpukan pasir dari dasar sungai adalah tempat bermainmu. Sungai Brantas adalah nyala hidupmu, tempatmu menambang pasir dan nasib.
“Jadi, kata mbah-mbah dulu, Brantas hadir karena permintaan Prabu Airlangga. Kau tahu, Brantas itu mulanya adalah pancuran air kendi yang dituangkan dari langit.”
“Air kendi?”
“Ya, Empu Baradha, empu kepercayaan Prabu Airlangga, yang menuangkannya. Sungai Brantas diniatkan sebagai pembatas dua kerajaan; Panjalu dan Jenggala. Airlangga membagi wilayah kerajaannya menjadi dua agar tak terjadi perang saudara antara kedua anaknya.”
“Bukankah Airlangga hanya punya anak perempuan?” aku mencoba mengingat-ingat.
“Anak perempuan adalah anak permaisuri. Namun, ia menolak untuk berkuasa. Kedua anak laki-laki dari selir Airlangga lah yang kemudian menjadi raja. Satu di Timur, satu di Barat.”
Aku hanya mengangguk-angguk. Terbit kagum atas cerita-ceritamu. Juga tatap kerjap-kerjap sepasang matamu.
“Namun, Brantas dulu pernah berwarna merah. Sangat merah. Merah darah. Tahun 1960an, kata Mbahku, banyak orang yang mati dibunuh dan disembelih di sepanjang pinggiran sungai ini. Mayat-mayat mereka mengapung-apung di sungai. Hiih, ngeri!”
“Aku juga pernah membaca kalau Brantas menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dianggap komunis. Jadi kuburan masal,” aku menghela nafas.
“Memang, dari dulu, Brantas adalah saksi sejarah. Sejarah kelam peperangan, pembunuhan, pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Mulai dari Sriwijaya yang menyerang Mpu Sindok, Pasukan Mongol yang hendak membunuh Kertanegara hingga kudeta politik yang berimbas hingga kesini, seperti yang diceritakan Mbahmu itu,” tambahku.
Berhari-hari, kami pun sering bertemu. Bertatap muka. Dan saling bertukar cerita. Hingga kemudian, Brantas telah mengikat kami dalam sebuah hubungan yang begitu hangat.
“Ssstt…akan kukasih tahu tentang rahasia yang mungkin paling kau tunggu-tunggu.”
“Apa? tentang Brantas lagi?” tanyaku.
“Saat menambang pasir, Bapakku pernah menemukan beberapa koin kuno,” ceritamu lirih.
“Koin? Dari dasar sungai?” aku tergeragap.
Kau mengangguk dan memberikan isyarat di depan bibirku agar aku tak berbicara terlalu keras. Aku mengerutkan dahi. Apa yang kugundahkan selama ini seperti menemukan titik terang. Sungai Brantas memang menjadi transportasi utama dahulu kala. Kapan-kapal kerajaan dan perahu-perahu dagang berlalu lalang melintasinya. Konon, di desa inilah sebuah pelabuhan besar pernah berdiri.
“Mungkin, koin itu mungkin adalah sisa-sisa perang dari perahu karam. Peperangan dan persaingan dagang membuat kapal-kapal tenggelam di dasar sungai. Bisa bertubrukan atau tertembak meriam batu.”
“Koin yang sangat indah dan bercahaya. Ada ukiran-ukiran yang entah apa artinya. Mungkin, kau bisa membacanya,” kau berbisik-bisik. “Bapak masih menyimpan beberapa. Setahuku, beliau hanya menjual satu atau dua keping koin saja.”
Mataku berbinar-binar. Jantung berdegup-degup lebih kencang. Kutemukan hal baru yang akan menjadi data terakhir penelitianku. Tinggal selangkah lagi, gelar sarjana akan kurengkuh. Entah apa yang mendorongku hingga kudaratkan sebuah kecup di ujung pipimu. Kau membalas ciumanku. Tepat di bibir. Aku tak menolak. Kami berpagutan disertai angin yang berdesir-desir. Kurasa aku sedang berenang pada arus cinta Brantas yang begitu deras.
***
“Bagaimana aku bisa mengkhianati Brantas yang telah memberikanku segala-galanya? Dialah yang telah mengantarkanku menjadi sekarang ini? Sedari kecil, dialah yang menyuapiku dengan tangan-tangan rejekinya! Dia pulalah yang telah memberikanku kehidupan! Aku harus memilih, Um.”
“Ini bukan masalah pilihan, Jok! Aku dan Brantas bukan dua hal yang berbeda dan saling menyingkirkan. Kan, kita bisa sejauh ini karena kita sama-sama saling bertukar cerita tentang Brantas. Brantas lah yang menyatukan kita!” tambahku. Aku mencoba teguh. Walau bulir-bulir tangis mendesak-desak.
“Tidak bisa, Um. Ini rumit. Cerita kita tak sesederhana itu,” jawabmu dengan mata kosong.
“Lalu?” aku terus mengejar.
“Aaaakkkh…!!!” kau berteriak dengan menjambaki rambut. Lalu, menelangkupkan kedua tangan di wajah. Dengan mata memerah, kau berusaha menatapku.
“Sebagai mahasiswi sejarah, tentu kau tahu tentang Airlangga yang membagi kerajaannya kan?”
“Tentu. Kita sudah banyak membahasnya,” jawabku ketus.
“Um, mungkin bagimu, kisah Airlangga hanyalah kisah sejarah. Namun, bagiku, kisah Airlangga adalah panutan sekaligus pantangan. Panjalu dan Jenggala tak bisa disatukan. Timur tetaplah timur. Barat tetaplah barat. Brantaslah pemisahnya.”
“Jadi, karena aku wong etan kali* dan kau wong kulon kali**?” bahuku semakin terguncang. “Itu hanya kisah masa lalu, Jok!”
“Tidak, Din. Itu keyakinan. Bagiku dan keluargaku. Jika dilanggar, malapetaka dan marabahaya akan datang. Airlangga tak akan merestui.”
Sosokmu berjalan menjauh. Mengecil. Lalu, kau menghilang di antara para penumpang perahu tambangan yang menyeberangi Brantas.
***
Angin senja semilir berhembus. Semburat mega berpendar-pendar di atas Gunung Wilis. Sungai Brantas nampak kecoklat-coklatan. Jembatan besar mengangkangi sungai dengan digdaya. Mobil dan sepeda motor hilir mudik di atas beton. Mondar-mandir dari timur ke barat. Bengawan ini tetap seelok dulu. Sungai ini tetap segagah dulu. Arusnya dalam, juga membahayakan.
Di sungai ini, cintaku pernah mengapung, lalu kemudian hanyut tenggelam tak pernah muncul kembali.
Kediri, 27 Oktober 2019
Arti kata:
*wong etan kali : orang yang tinggal di timur sungai Brantas
**wong kulon kali : orang yang tinggal di barat sungai Brantas
Cerita pendek ini pernah tayang secara bersambung di Jawa Pos Radar Kediri pada 06 Februari 2022 dan 13 Februari 2022
Komentar
Posting Komentar