Hujan Tak Pernah Salah
[Cerpen ini pernah tayang di Koran Mercusuar pada Sabtu, 14 Agustus 2021]
Rodin berdiri mematung di depan teras rumah saat langit mulai gelap. Awan menggumpal-gumpal. Sesekali, petir menyambar. Di atas dipan bambu, ia kemudian duduk bersila dengan mata terpejam. Kedua tangannya mengatup di depan dada. Mulutnya komat-kamit. Asap mengepul dari dupa yang terbakar. Aroma harum menguar.
Reni mengintip suaminya dari balik jendela. Ia tak ingin mengganggu Rodin.
“Pesanan dari mana, Mas?” tanya Reni saat Rodin telah selesai dari ritualnya dan berdiri di ambang pintu rumah.
“Sidik, tetangga dusun. Dia menikahkan anaknya,” jawab Rodin seraya masuk ke dalam bilik.
Langit segar kembali. Gelap berubah cerah. Matahari senja mengintip dari balik Gunung Wilis.
***
Awan bergerak perlahan, beriring-iringan. Kilat datang menggelegar menerkam langit. Senja di bulan Desember begitu gelap. Angin bergerak semilir menembus celah-celah di gubuk Rodin. Reni sedang memasak ikan asin yang aromanya memenuhi rumah. Rodin baru tiba dari sawah dengan sebatang arit yang tergamit. Kaos partai yang ia kenakan kotor dengan bercak-bercak coklat terpercik lumpur. Rambutnya kasar tak beraturan. Keletihan terekam jelas dari gurat-gurat wajahnya yang kusut.
Dengan bertelanjang dada, Rodin duduk di pintu dapur sambil mengibas-ibaskan kaos partai demi mengusir peluh dan gerah. Badannya tegap kecoklatan, gagah dengan otot-otot yang liat. Bertahun-tahun ditempa alam.
“Baru saja, Paijo lewat depan rumah, pulang dari sawah. Katanya, sawah Pak Lurah sedikit lagi terendam banjir. Sungai di pinggir sawahnya meluap akibat hujan. Tanggul di ujung desa jebol tak mampu menampung gempuran air,” ucap Reni membuka percakapan.
“Ya tadi aku juga lihat orang-orang gotong royong membangun tanggul kembali,” timpal Rodin sambil melempar butir-butir jagung untuk ayam-ayamnya.
“Bagaimana dengan sawah kita, Mas?”
“Masih aman kalau tanggul cukup kuat.”
“Semoga hujan tidak turun terus-menerus.”
Petir menyambar di puncak langit. Gelap bergelayut. Reni begitu resah akan nasib ketiga petak sawahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari sawah Pak Lurah yang telah terendam. Ia menghela nafas berat dari rongga dadanya. Ia baru sadar kalau ikan asin di penggorengan telah gosong.
“Mas, sebaiknya Mas berbuat sesuatu. Mas kan pawang hujan. Tentu bisa mengusir hujan, agar sawah kita selamat,” bujuk Reni.
“Banjir ini bukan karena hujan, tetapi hutan desa yang dirubah Pak Lurah jadi rumah-rumah. Kenapa hujan harus diusir?”
“Tapi, Mas. Kalau hujan terus seperti ini, padi-padi kita juga ikut hanyut, Mas. Beras di gudang tinggal beberapa sak saja.” Reni memelas dan memeluk suaminya dari belakang.
Kalau bukan permintaan istrinya, ia tidak akan bertindak, batin Rodin. Ia bergegas menuju teras dan mengambil posisi bersila di atas dipan. Bara dupa bercahaya. Kepul asap mengudara. Mata terpejam sempurna. Tangan mengatup di depan dada. Mulutnya merapal doa-doa. Namun, petir tetap bergemuruh di pucuk ufuk. Satu per satu, bulir-bulir jatuh dari langit, menimbulkan suara berisik saat menimpa genting gubuk. Disusul siraman air yang semakin deras, hujan turun begitu hebat, menerjang apapun yang menghalangi jarak antara langit dan bumi. Tiba-tiba, selarik kilat menyambar pokok akasia di depan rumah Rodin. Pohon rubuh. Tubuh Rodin rubuh.
“Mas Rodin!” teriak Reni mendapati suaminya terkulai. Reni menepuk-nepuk dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Suaminya tak bergerak, terlentang seperti mayat. Saat Reni menekan keras dadanya, Rodin baru tersadar dan mulai membuka mata.
“Apa kataku! Hujan tak berkenan pergi,” ucap Rodin lirih. Suara-suara hujan memasuki lorong-lorong telinganya. Tiba-tiba, tangannya mengepal dan terpancung ke atas. Reni heran, apa yang merasuki pikiran suaminya, hanya dia yang tahu.
“Ayo masuk, Mas! Di dalam akan lebih baik. Nasi, ikan dan sambalnya juga sudah siap.”
Rodin tetap terpaku. Ia menatap kosong pada hujan yang terus bergemericik. Irama hujan semakin menenggelamkannya ke dalam pikirannya sendiri.
“Dengan hujan seperti ini, tanggul yang sudah dibangun tadi bisa jebol lagi,” keluh Reni. Ia tak mengira kalau hujan hari-hari ini seperti air bah yang digerojokkan dari langit.
***
Hari berganti hari, tapi hujan terus menggenangi bumi. Rodin semakin yakin hujan telah mengutuk desa ini. Setiap hujan turun, ia berada di teras rumahnya, mematung di atas kursi kayu yang terbuat dari batang pohon kelapa. Sesekali ia menggerak-gerakkan bibirnya, seperti mengucapkan sesuatu. Lirih sekali.
Reni mengintip tingkah suaminya dari balik jendela. Reni terpukul melihat suaminya gagal menjinakkan hujan kemarin. Ia pikir suaminya tidak bersungguh-sungguh. Ia tahu tidak pernah ada pesanan hujan yang gagal. Ia masih ingat saat pertama kali Rodin bercerita bahwa ia mampu berbicara dengan hujan.
“Ren, apakah kau pernah dengar seorang nabi yang berbicara dengan binatang? Mungkin, kini, akulah orang pertama yang bercakap-cakap dengan hujan. Hujan memberkatiku,” tukas Rodin pada gerimis pagi hari.
“Tapi, kamu bukan nabi,” sanggah Reni.
“Aku memang bukan nabi, tapi aku mendengar hujan berbicara.”
“Reni, hujan sangat tahu kapan dan di mana harus menyapa bumi. Gerimis senja, rintik pagi atau deras dini hari. Hujan adalah tanda Tuhan sedang membuka pintu rejeki selebar-lebarnya,” ucap Rodin.
“Kalau hujan turun pada siang hari saat mentari sedang bersinar begitu panas dan cucian kita gagal menjadi kering, apakah itu juga rejeki?” Reni kerap kesal dengan hujan tiba-tiba yang membasahi baju-baju jemurannya.
“Kapanpun dan di manapun hujan turun, ia adalah berkah. Hujan tak pernah salah. Cucian basah bisa dikeringkan lagi. Bayangkan, kalau hujan tak turun, tanah tak dapat diolah, manusia bisa musnah.”
“Ah, ada-ada saja. Sejak kapan kamu jadi bijak, Mas?
“Sejak aku menikahimu.”
***
Desember masih begitu basah. Hujan dan awan gelap terus menghiasi hari-harinya. Tanggul yang telah dibangun berkali-kali hancur kembali diterjang luapan sungai. Sawah-sawah yang terendam banjir semakin meluas. Sepetak sawah Pak Lurah telah terendam lagi. Kalau hujan terus turun, sawah Rodin juga tak akan terselamatkan.
“Sawah-sawah sekarang terendam akibat hujan tiap hari. Tanggul sudah berkali-kali dibangun tetapi tetap jebol. Kini harapan satu-satunya penduduk ya Pak Rodin ini,” Pak Lurah menguraikan maksudnya. “Kami sudah lama mendengar kesaktian Pak Rodin. Kami berharap agar Pak Rodin memindahkan hujan dari desa ini agar banjir mereda dan sawah penduduk bisa ditanami kembali.”
“Betul itu, Pak. Sawah mau tenggelam, kok diam saja. Coba berbuat sesuatu,” Reni ikut bersuara sambil meletakkan tiga gelas kopi.
“Hujan mengutuk desa ini. Dulu, saat perumahan itu masih hutan desa, tidak pernah banjir. Pohon-pohon hutan yang menyerap air hujan. Banjir itu ya karena Pak Lurah menjual tanah-tanah hutan desa ke pengembang.”
“Tapi, Pak. Tolonglah! lama-kelamaan, jika hujan tetap turun, air sungai akan masuk ke sawah-sawah warga,” Pak Lurah memohon. “Ini lima puluh juta sebagai uang muka,” Pak Lurah menyodorkan amplop putih. “Tolonglah, Pak Rodin!”
“Tapi… Saya pernah mencobanya. Dan tidak bisa,” jawab Rodin.
“Coba lagi, Mas. Apa salahnya membantu warga?! Kalau hujan tidak dipindah, sawah kita juga akan terendam banjir. Mau makan apa kita, Pak!” Reni mendesak. Matanya menyala-nyala menatap amplop. Dengan berat hati, Rodin akhirnya mengiyakan.
Pada senja yang begitu gelap, Rodin bersama beberapa penduduk bergerak menuju areal persawahan. Gerimis mengguyur. Cahaya berkilat-kilat di ufuk langit. Rodin berdiri di tengah areal persawahan, merentangkan tangan, menatap ke langit. Sambil berkedip-kedip karena rintik-rintik terus menetes, ia menggerakkan bibirnya. Para penduduk hanya melihatnya dari kejauhan di bawah pohon. Rodin terus berkoma-kamit tanpa seorangpun tahu artinya, mungkin hanya hujan yang menangkap kata-katanya. Terkadang, ia duduk, bersujud atau berbaring di bawah guyuran hujan sambil mulutnya merapal mantra. Pak Lurah mengatupkan kedua tangannya di dada dengan harapan usaha terakhirnya ini berhasil menyelamatkan penduduknya.
Tepat saat Rodin merentangkan kedua tangannya, sebuah cahaya berkelebat, suara petir menggelegar. Silau menyebar, membuat mata penduduk tertutup sejenak. Tubuh Rodin ambruk di tengah pematang, kemudian jatuh tercebur lumpur pepadian. Hujan jatuh lebih deras.
***
“Maafkan kesalahan kami. Saya tidak menyangka bahwa akhirnya akan seperti ini,” Pak Lurah terbata mengeja kata-katanya. Dengan basah kuyup, ia berdiri di depan pintu rumah Rodin.
Ulu hati Reni tertusuk-tusuk. Hujan telah merenggut nyawa suaminya. Sambil menahan isak dan pipi yang basah, Reni mendengar kata-kata Rodin yang masih terngiang-ngiang di telinganya.
“Hujan tak pernah salah.”
Komentar
Posting Komentar