Prasasti Waktu [Harian Disway]

 

Harian Disway—Rubrik Buku—Selasa, 15 Februari 2022

Rembulan di Bibir Teluk karya M. Rosyid H.W.

 


Prasasti Waktu

Rembulan di Bibir Teluk. Sebuah kumpulan cerpen atau kumcer yang berkutat pada hal-hal keseharian namun disertai berbagai renungan. Semakin hari dunia semakin berlari tunggang langgang. Semua orang secara sukarela atau pun terpaksa terseret arus kehidupan yang sangat dan serba cepat.

Akibatnya banyak orang luput untuk melambatkan langkah atau berhenti sejenak demi memahaminya.

Cerpen-cerpen dalam buku karya Rosyid mengingatkan semua hal itu. Mengajak siapa saja untuk melihat ulang kehidupan yang dijalani.

Itu karena materi buku berjudul Rembulan di Bibir Teluk berkisah tentang kehidupan sehari-hari. “Ada kalanya mengungkap kisah sederhana. Tapi membuat pembaca saya geret untuk ikut merenung,” ujarnya.

Bahwa kesederhanaan dalam hidup itu, yang biasanya tak disadari atau terlewatkan begitu saja, jika dimaknai lebih lanjut dapat membuat pemikiran manusia berubah ke arah lebih baik lho.

“Cerita-cerita saya sangat biasa sebenarnya. Seperti tentang dampak media sosial, masalah pendidikan, tentang sawah, cerita di balik wisata seperti pantai dan gunung serta isu-isu di balik itu semua,” ujarnya.

Sejak terbit, Rosyid makin menikmati beragam respon pembaca terkait bukunya. Ada yang menyukai alur cerita yang enak dibaca. Memberi kritik halus terhadap upaya perusakan alam.

“Beberapa bilang narasi cerita saya cukup dalam karena berbicara tentang kondisi mutakhir masa kini serta narasi ekokritik sosiologis feminis serta berbagai isu isu sosial katanya.”

Maklum sebelum menjadi buku cerpen, cerpen dalam Rembulan di Bibir Teluk seluruhnya pernah terbit di media massa. “Makanya penerbitan buku ini adalah upaya saya untuk mendokumentasikannya itu motivasi pertama, “ungkapnya.

Selain pendokumentasian karya kumcer tersebut sebagai penanda waktu dan tempat bagi Rosyid. Mengingat seluruh cerpen yang ada dalam Rembulan di Bibir Teluk ditulis pada 2016-2018 ketika ia berdomisili di kota Malang. “Saya tulis baik saat saya jadi mahasiswa dan bekerja,” ungkapnya.

Dalam pandangannya, kelak jika menerbitkan buku lagi kemungkinan ia sudah tak lagi berada di kota Malang. “Mungkin perspektif saya tentang sesuatu sudah berubah, jadi buku ini bagi saya adalah ‘prasasti’ pada kurun waktu dan tempat tertentu,” ujarnya.

Ketiga, cerpen-cerpen itu mayoritas berasal dari kisah nyata dengan bumbu-bumbu imajinasi. “Jika melihat kisah yang bagi saya menarik, ada semacam dorongan kuat dalam hati untuk menuliskannya,” ujar alumni kajian sastra dan budaya pascasarjana Universitas Airlangga itu.

Judul buku diambil Rosyid dari salah satu cerpen dalam buku itu. Cerpen itu menarik karena ia tulis ketika ia didapuk menjadi asisten peneliti di Malay Studies, National University of Singapore.

“Saya melihat banyak TKI dan TKW di Singapura sementara di desa saya di Kediri banyak tetangga saya yang menjadi TKI. Hal-hal semacam itu yang memantik saya menulis cerpen,” ungkap pria kelahiran Sidoarjo 10 Oktober 1993 itu

Sekali lagi kehidupan dan aneka ragam masalah yang menyertainya tak akan pernah habis untuk dibahas, Rosyid bersyukur akhirnya itu menjadi cerpen lalu menjadi buku. Dengan cara itu ia serasa mengorek gundukan isu-isu sosial tak berujung menjadi lebih menarik lantas dibagikan kepada yang lain.

Maka, jika semakin banyak penulis yang muncul dengan membawa isu masing-masing dalam karyanya maka itu akan menjadi daya gugah kepada yang lain.

“Itulah menariknya menulis buat saya sendiri. Buku ini membuat saya ingin menata hidup yang lebih baik,” pungkasnya. [Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas] 

 

 

Komentar

Postingan Populer