Berkunjung ke Kotamu

 


[Cerpen ini pernah tayang di Beranda Bahasa, Balai Bahasa Banten pada 02 Maret 2022]



Kereta dini hari membawaku menuju ke kotamu. Aku berangkat saat pekat kabut Kelud sedang menyelimut. Brantas masih mengkilat-kilat diterpa lampu merkuri. Kereta melesat. Kotamu di ujung pulau adalah tujuanku. Cahaya pagi muncul perlahan-lahan seperti pendar-pendar harap dalam hatiku. Aku akan menemuimu, menuntaskan rindu dan menandaskan sayang. 

Ketika matahari telah naik seujung tombak, kereta berhenti cukup lama di stasiun. Kukira aku telah sampai pada stasiun yang sama saat kau dulu merapatkan tubuhmu. Apakah kita sudah sampai? tanyaku saat itu. Kau pun menggeleng. “Kepala kereta sedang berganti. Untuk menuju ke utara, kereta harus berbalik arah,” katamu. Merdu suaramu masih terngiang-ngiang di telinga. Hangat pelukmu masih bersemayam dalam nadi pori-poriku. Rindu ini menggunung-gunung. Sayang ini bergulung-gulung. 

Aku segera datang menemuimu.

Sepenggal kepala kereta berkelebat dari balik jendela kaca. Tak ada lagi hal menarik dari kepala itu. Kereta di belahan bumi mana pun kepalanya akan memutar saat hendak menuju arah sebaliknya. Tak ada frasa putar balik bagi kereta. Namun, bertahun-tahun lalu, mataku menatap takjub pada kepala kereta yang berjalan tanpa badan. Dengan mata berkedip indah, kau menjelaskan kepadaku kepala-kepala kereta yang bergentayangan. Ah, kenangan itu teramat agung.

Kereta kembali melaju. Kantuk mulai menyerang hingga aku terlelap. Mimpi melemparku pada waktu-waktu silam. Tentang pertempuran panas kita di kamar depan. Kau menarik, aku mendorong. Kau mencubit, aku menggigit. Kau melenguh, aku mengerang. Aku mencintaimu, Mas, katamu selepas bercinta penuh peluh. Kubalas dengan cium hangat pada keningmu. Aku lekas datang menemuimu, tekadku.

Kereta tiba di stasiun kota yang kutuju pada pukul dua nol lima. Kota ini bukanlah kota besar yang ramai. Tapi, kota ini juga bukan kota kecil yang tak berdenyut. Dapat dikatakan kota ini adalah kota paling tepat untuk tempat tinggal. Terminal, stasiun dan bandara tersedia hingga memudahkan kita pergi ke manapun kita suka. Jalan-jalan cukup lebar. Dua gerbang pintu tol terbuka di barat dan timur kota. Pasar dan pusat-pusat perbelanjaan tak terlalu jauh untuk digapai. Namun, kota ini juga masih menyisakan sawah-sawah, ladang-ladang dan kebun-kebun di belakang rumah. Sungai-sungai mengalir di sela-sela pemukiman. Dulu, kita berangan-angan tinggal di kota ini.

Keluar dari stasiun, sopir-sopir mikrolet menyerbuku. Meski sopir-sopirnya tak ramah dalam menggaet penumpang--bahkan ada yang tiba-tiba menggamit lenganku, namun mikrolet-mikroletnya berwarna menarik. Biru kehijau-hijauan seperti warna laut. Tapi, aku mengingat kata-katamu. “Cara terbaik menikmati kota adalah dengan naik becak.” Dahulu, kita berkeliling mengitari kota dengan duduk berdua di atas becak, berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya, menikmati makanan dari satu warung ke warung lainnya. Namun, kali ini aku tak hendak berwisata. Aku ingin lekas-lekas menemuimu.

“Balai Desa Magersari, Pak,” kataku sambil melempar pantat pada kursi mikrolet. 

Aku telah tiba di kotamu. Tentu, kau mengharapkan kehadiranku, bukan?

Mikrolet melesat pada jalanan yang lengang. Bangunan dan pepohonan berkelebat di jendela mikrolet. Mataku terpaku pada bangunan tua di tepi jalan. Gereja itu masih serupa seperti saat terakhir aku berkunjung ke kota ini. Hanya berupa dinding-dinding tembok yang merapuh. Lonjoran-lonjoran besi rangka beton nampak makin menghitam. Yang berbeda hanyalah ilalang-ilalang yang makin bertumbuh liar. Bangunan itu sebenarnya tak tampak seperti gereja, lebih mirip gedung pemerintah yang tak rampung karena dananya dikorupsi. Kalau kau tak memberitahuku kalau bangunan itu adalah gereja, aku mungkin menyebutnya rumah hantu. 

“Bangunan gereja itu tak lagi dilanjutkan. Masyarakat di sekitarnya mayoritas muslim. Mereka menolak adanya gereja,” katamu. Sesungguhnya aku tak terlalu peduli perihal gereja itu, apalagi bangunan rongsok itu tak menarik sama sekali. Tetapi, aku tak sudi menyia-nyiakan kata-kata yang meluncur dari bibir basahmu yang mengatup indah. Setiap bibirmu bergerak, hatiku serasa turut bergetar.  

Mikrolet terus berjalan. Di kanan jalan nampak gundukan-gundukan makam orang Cina. Tak banyak yang berubah. Tetap sama seperti dahulu. Hanya tak ada lagi penjual pentol di pojok jalan seberang makam. Dulu, dengan senyum tersungging, kau merajuk menginginkan bola-bola pentol bertabur saus tomat. “Kau harus coba pentol terlezat di kota ini,” ucapmu. Aku hanya mengangguk. Apapun yang kumakan akan serasa lezat bila berada di sampingmu, kataku. Wajahmu langsung merona. Sekepal tonjokan lembut mendarat di lenganku. 

“Juragan-juragan pasar kota adalah keturunan orang-orang yang dimakamkan di sana. Kau tahu? Pendiri toko terbesar tingkat tiga di tepi pasar, makamnya seperti istana raja. Padahal, makam itu hanya menyimpan abu,” katamu sambil mengunyah pentol. Saus tomat memerahi bibirmu.

“Balai Desa Magersari,” suara kernet membuyarkan lamunan. 

“Kiri, Pak,” teriakku.

Aku turun. Rumahmu persis di samping Balai Desa. Aku telah sampai di depan pintu rumahmu. Apakah kau bersiap-siap menyambutku?

“Endang! Endang!” aku memanggil-manggil namamu. Hening. Tak ada sahutan. Tangisku pecah. Sejak kau memilih dikubur di kota ini, hidupku hampa. Sejak kanker merenggut nyawamu, dua tahun terasa sangat sulit. Kedua anakmu selalu memanggil-manggil namamu.

Bibirku merapal doa. Di depan pusaramu, aku duduk merunduk. “Endang, aku izin menikah lagi,” kataku. Hening. Tak ada jawaban.

Komentar

Postingan Populer