Kuburan Pasir Hitam
[Cerpen ini pernah tayang di Media Indonesia pada Minggu 04 Juli 2021]
Senja sedang berlabuh di pesisir pantai ketika segerombolan laki-laki memasuki rumah Slamet dengan mengacungkan benda-benda tajam—celurit, arit, kapak, golok, batu dan balok kayu. Rumah itu berada di antara rumah-rumah warga yang menghadap pantai Watu Pecak. Gunung Semeru berdiri gagah di belakangnya.
“Pukul!”
“Hajar!”
“Bunuh!” teriak mereka lantang-lantang. Pintu-pintu didobrak. Lemari kursi digebrak. Genting-genting bergemeretak. Tak ada seorangpun yang mereka temukan. Tak ada siapapun yang mereka lihat. Si empu rumah menghilang.
“Tukang protes keparat!” salah seorang anggota gerombolan memukul televisi hingga remuk. Seorang laki-laki meringkuk di dasar sumur dengan tangan melingkari lutut yang bergemeletuk.
***
Senja turun berlabuh di pesisir pantai saat Slamet duduk-duduk di atas gundukan pasir. Ia membiarkan dada bidangnya telanjang. Angin sepoi-sepoi dan aroma pantai seperti memulihkan keletihannya selepas seharian menyiangi ladang. Hatinya sedang berbunga-bunga: batang-batang sengon telah sebesar paha, tongkol-tongkol jagung bertumbuh sempurna, larik-larik rumput gajah menghiasi pematang dan cabai-cabai memerah diwarnai semesta. Terberkatilah desa ini, batinnya, Gunung Semeru menganugerahinya ladang-ladang subur dan Laut Selatan menghadiahinya limpahan pasir-pasir besi.
Tergoda garis pantai, ia berdiri dengan sedikit sempoyongan sambil menggulung celana panjangnya hingga ke lutut. Telapak kakinya--berbalut lumpur ladang---bergerak-gerak di atas pasir hitam. Terasa dingin, lembut dan geli. Pasir besi sempurna serupa mutiara tanpa cela, ia membatin seraya membenamkan kakinya lebih dalam. Bulir-bulir pasir seperti menyalurkan sengat semangat ke otot-otot tubuhnya. Naluri membawanya menyusuri bibir pantai hingga meninggalkan jejak-jejak kaki yang memanjang. Sesekali, ia mendekati air laut dan ombak-ombak mencubiti jari-jemarinya. Berloncat-loncatan di antara deburan ombak, ia menghirup aroma laut: segar, amis, dan masam. Bebauan yang akrab dan dekat, mengingatkan Slamet pada peristiwa saat ia dilumat ombak beberapa tahun lalu.
Waktu itu, tangan ombak yang kekar menarik kaki kecilnya ketika ia sedang bermain membangun gunung-gunungan pasir. Diseret ombak, ia telungkup dan tersungkur bertaburkan pasir-pasir. Ombak yang sedang mengamuk menyeretnya ke tengah. Dengan cepat, tanpa perlawanan, ia tenggelam dan hilang. Gerimis yang turun berubah menjadi deras seketika. Petir menyambar-nyambar di atas kepala. Seorang ibu yang melihat sejulur tangan tenggelam berlari penuh ketakutan ke arah pemukiman warga.
“Tolong…”
“Tolong…”
“Tolong…Teng-ge-lam. Di-sa-na!” terbata-bata, ia menunjuk-nunjuk tempat Slamet kecil terlihat terakhir kali.
Warga pesisir lekas berlari mendatangi tubir laut. Tak ada yang berani nyemplung berenang saat ombak begitu mengerikan. Cadik-cadik kecil di pelataran pantai juga tak cukup berguna. Dalam sedetik, gelombang akan membalikkannya. Para lelaki tak mau mati sia-sia. Kata mereka, sekuat-kuatnya manusia tak akan bisa menaklukan laut yang sedang mengamuk. Lebih baik satu nyawa melayang, daripada lima orang lelaki tenggelam.
“Tunggu esok hari, kita akan melaut,” tegas Wak Pin, sesepuh desa. Warga hanya bisa mengelus dada. Pasrah.
Esok hari, berita baik tak bertandang ke kampung nelayan. Pencarian gagal. Anak malang itu raib tak tersisa ditelan ombak. Hari ketiga, batang tubuhnya belum juga ditemukan. Hari kelima, hari ketujuh, hari keempat belas: warga telah kehilangan harapan.
Tak disangka, selepas lima belas hari, ia muncul tiba-tiba dari gundukan-gundukan pasir hitam di tepi laut dengan baju compang-camping. Seorang nelayan melihatnya, seperti mayat bangkit dari kubur. Matanya jalang, wajahnya merah, dan badannya legam. Sekujur tubuhnya, mulai dari ujung rambut hingga telapak kaki, dipenuhi butir-butir pasir besi. Ia terdampar di pulau Nusa Barong yang tak berpenghuni dan dipelihara oleh kijang-kijang hutan. Seperti namanya, ia selalu dianugerahi keselamatan.
“Pasir besi adalah kekuatan. Darahku mengalirkannya melalui nadi-nadi,” tegas Slamet kepada setiap orang.
Slamet terus menyusuri bibir pantai dan semakin menjauhi pemukiman. Mega-mega bergurat keperak-perakan menyambut malam yang akan turun. Meskipun ia memiliki rumah di pucuk tegalan, ia selalu berkata kepada warga desa, “Watu Pecak adalah rumahku,” katanya.
Gelap semakin bergelayut. Bulan nampak di pucuk ufuk. Slamet terus berjalan, berjalan dan berjalan. Saat ia menemukan deretan pohon kelapa, ia mendengar gemuruh, tapi bukan gemuruh gelombang. Pasir sedang bergemerisik tapi bukan dihempas ombak. Semakin ia mendekat, suara itu semakin jelas. Dari balik pohon kelapa, mata Slamet terbelalak melihat mesin eskavator jumbo disorot cahaya putih terang berpendar-pendar. Lengan besinya berputar-putar di atas bak-bak truk yang menganga. Pasir-pasir terangkut. Lubang-lubang tergali. Slamet bergidik ngeri. Tambang pasir ilegal.
***
Pagi masih merona saat seonggok lelaki diseret di jalanan. Beberapa menit yang lalu, terdengar teriakan, “Ini orangnya. Di dasar sumur.”
Tangannya diikat. Kakinya dibiarkan terbuka. Pukulan demi pukulan mendarat di kepalanya. Tendangan demi tendangan bersarang di tubuhnya. Bacok demi bacok menghujam daging-dagingnya. Celurit, arit, kapak, batu dan balok kayu bergantian menerjang. Ketika gerombolan itu menganggap ia telah menjadi mayat, mereka meninggalkannya. Namun, mereka salah. Seperti namanya, ia selalu dianugerahi keselamatan. Dia adalah lelaki pasir hitam yang diberkati kekebalan. Darah merah tidak mengalir di dalam tubuhnya.
“Pasir besi adalah kekuatan. Darahku mengalirkannya melalui nadi-nadi,” ia mengerang dalam hati.
Menyadari komplotan bedebah sudah menjauh, ia bangun, memacu nafas dan berlari kencang. Seseorang memergokinya. Komplotan mengejarnya. “Braak!” lelaki berbadan gempal dan kekar kembali merobohkannya. Ia dihantam kayu dan bambu, dilempar batu, disetrum listrik, digergaji kayu, dan dibacoki celurit dan golok. Tapi, sekali lagi, ia adalah Slamet, lelaki pasir hitam yang dianugerahi keselamatan. Ia hanya mengerang. Tubuhnya tidak mengucurkan darah setetespun.
“Kita harus cepat menghabisinya!” tegas lelaki berkaos merah bersungut-sungut,”siapapun yang menghalangi kita, tak boleh hidup!”
“Cecunguk bermulut besar. Yang kau tahu hanya protes, ha!?” lelaki kekar menonjok mulut lelaki pasir besi hingga mengucurkan darah.
“Bagaimana membunuhnya? Bahkan Laut Selatan tak membuatnya mati,” sahut lelaki bertopi.
“Anjing! Setrum pasti membuatnya mati!” perintah lelaki berjaket kulit. Ia nampak seperti pemimpin komplotan.
“Ya, dia pasti mati!”
“Tidak mungkin. Ia lelaki pasir besi. Hanya pasir besi yang dapat membunuhnya,” lelaki bertopi mengedarkan pandangan, menantang setiap mata lelaki.
***
“Kalau kita tidak bergerak, sekali ada tsunami, habislah kampung ini.” Lima orang laki-laki duduk melingkar di gardu belakang rumah Slamet.
“Tidak perlu menunggu tsunami, Pak. Lha wong, air laut sudah masuk ke sawahku. Jagung dan lombok sudah pasti gagal panen,” wajah Slamet memerah.
“Bencana ini sudah dekat. Di dekat pesisir, ada 14 rumah yang sudah tergenang air laut,” lapor Hadi.
“Pantai kita sudah habis. Sekali laut pasang dan rob besar datang, rumah-rumah langsung terendam,” timpal lainnya.
“Uang, uang dan uang: itu yang ada di pikiran mereka. Anjing-anjing tambang busuk!” Rahman mengutuk-ngutuk.
“Kau tahu, hampir lima ratus truk hilir mudik setiap hari di kampung ini. Kita dapat apa!? Tak ada. Air laut masuk. Irigasi jebol. Sawah gagal panen. Jalan raya rusak. Pesisir penuh lubang. Dan nyawa, bisa melayang sewaktu-waktu,” tambahnya.
“Anak Yu Min kemarin tenggelam dan meninggal di lubang tambang dekat sawah Pak Minto.”
“Kita tak boleh diam. Dunia harus tahu hal ini. Tanah ini, tanah kita. Pantai ini, rumah kita. Ini perkara hidup dan mati,” Slamet mengakhiri pertemuan.
“Lawan!”
“Protes!”
***
Senja berlabuh di pesisir pantai ketika segerombolan pria mengangkat tubuh seorang laki-laki dengan mengacungkan benda-benda tajam—celurit, arit, kapak, golok, batu dan balok kayu. Pantai itu bernama Watu Pecak. Gunung Semeru mematung tegar di belakangnya.
Lelaki pesakitan itu ditanam berdiri di dalam galian lubang pasir sedalam tiga meter. Kepalanya muncul di atas pasir hitam seperti bola sepak yang menjadi sasaran tendang. Ombak laut terus bergejolak.
“Coba lihat!” lelaki bertopi, dari jarak satu meter, melempar sebongkah batu sekeras-kerasnya. Tepat menimpa batok kepala, menimbulkan suara retak.
Darah segar mengucur. Senyum menyeringai bermekaran. Batu, batu dan batu berjatuhan. Bulir-bulir pasir bergemerisik bersama gerimis. Truk menderu-deru bersama petir. Eskavator bergemuruh bersama langit. Watu Pecak berduka. Slamet sekarat. Pasir-pasir hitam menguburnya.
Pasirian-Lumajang, Januari 2020
Komentar
Posting Komentar