PANDEMI DALAM CERPEN-CERPEN INDONESIA; KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Abstrak: Pandemi Covid-19 telah menjadi obor kreativitas bagi para pengarang karya sastra. Salah satunya adalah melalui kumpulan cerpen #ProsaDiRumahAja. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap segi-segi sosiologis dan dampak-dampak sosial pandemi dari cerpen-cerpen tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan metode kualitatif deskriptif. Data penelitian ini adalah tujuh cerpen dari dua puluh cerpen di buku tersebut. Kajian ini menemukan bahwa pandemi telah mengakibatkan masyarakat miskin menjadi lebih miskin, tradisi yang mengalami resistensi dan adaptasi karena menyesuaikan dengan protokol kesehatan, dan perempuan yang masih terkurung dalam budaya patriarki melalui kebijakan “Di Rumah Aja”
Kata Kunci: cerpen, sosiologi sastra, pandemi
Abstract: The Covid-19 pandemic has become a torch of creativity for literary authors.One of them is through a collection of short stories #ProsaDiRumahAja.This study aims to reveal the sociological aspects and social impacts of the pandemic from these short stories.This study uses a sociological literary approach with descriptive qualitative methods.The data of this research are seven short stories from twenty short stories in the book.This study found that the pandemic has resulted that the poor becoming poorer, traditions experiencing resistance and adaptation due to adapting health protocols, and women who are still trapped in a patriarchal culture.
Keywords: short story, sociology of literature, pandemic
PENDAHULUAN
Masa
pandemi covid-19 adalah salah satu masa penting dalam sejarah manusia. Virus
yang tidak hanya menyerang wilayah lokal, tetapi juga seluruh dunia dalam skala
global. Setelah genap setahun masuk Indonesia, berdasarkan data per Selasa (3 Maret 2021) dari Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di covid19.go.id, total kasus Covid-19 telah menyentuh angka 1.341.314 kasus positif, terhitung sejak diumumkannya kasus pertama pada 2 Maret 2020. Terdapat 1.151.915 (85.9%) pasieng Covid-19 yang telah menjalani perawatan sehingga dianggap sembuh dan tidak lagi terinfeksi virus corona. Namun, di sisi lain, jumlah pasien Covid-19 yang meninggal mencapai 36.325 orang (2.7%). Saat ini, pemerintah menyatakan masih ada 153.074 pasien Covid-19 yang masih aktif dan sedang dalam perawatan.
Virus Covid-19 memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan manusia, tidak terkecuali bangsa Indonesia. Terdapat tatanan, kebiasaan dan budaya baru yang harus dilaksanakan oleh manusia agar tidak terinfeksi virus yang berasal dari Wuhan, Cina ini. Protokol kesehatan seperti 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan dan membatasi mobilisasi dan interaksi) menjadi hal yang sering sekali kita dengar. Perubahan sosial, ekonomi, pendidikan, agama dan budaya berlangsung sangat cepat dan masif. Gerai-gerai toko banyak yang beralih ke media digital atau bahkan tutup total karena tidak mampu beradaptasi.
Perusahaan-perusahaan menerapkan WFH (work from home) atau kerja dari rumah. Anjuran “di rumah saja” juga berlaku bagi pembelajaran sekolah yang dilaksanakan secara daring dan virtual. School from home, istilahnya. Kegiatan-kegiatan keagamaan banyak yang dilakukan di rumah saja sehingga membuat rumah-rumah ibadah seperti masjid, gereja, dan pura menjadi sepi. Kegiatan-kegiatan budaya banyak yang ditunda dan dibatalkan karena adanya anjuran untuk tidak mengundang kerumunan orang. Tak pelak, protokol kesehatan menjadi ‘norma baru’ yang mengatur kehidupan manusia dari banyak segi.
Dampak pandemi Covid-19 terhadap berbagai lini kehidupan manusia perhatian bagi para ahli, mulai dari bidang kesehatan seperti virolog, epidemiolog, dan dokter dalam mencipta vaksin dan peraturan penangkal virus; bidang pendidikan dengan para pakar merumuskan kebijakan baru tentang pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran daring, sektor ekonomi dimana para ekonom berusaha agar negara tidak terjebak resesi; lini agama ketika para kiai, agamawan, pendeta dan pastur turut menguatkan dan mengajarkan hikmah kehidupan akibat pandemi. (Žižek, 2020)menyebutkan bahwa diperlukan “komunisme global” untuk memperkecil dampak terburuk pandemi ini. Yang dimaksudkan adalah kerjasama dan solidaritas antar bangsa dan negara.
Perhatian dan respon terhadap pandemi global ini juga melibatkan para pengarang, penulis dan sastrawan. Kondisi sosial budaya yang compang-camping menjadi sumber inspirasi bagi proses kreatif para sastrawan. Melalui karya-karyanya, para pengarang memberikan respon terhadap pandemi dengan merekam dinamika kehidupan manusia, baik itu secara personal maupun sosial.
Sastra memiliki dua hal yang patut diketengahkan dalam kaitan dengan pandemi covid-19. Pertama, sastra berbeda dengan laporan pemerintah setiap sore hari melalu kanal-kanal media atau reportase jurnalistik yang cenderung kaku. Dalam mengabarkan seseorang yang terinfeksi covid-19 semisal, tidak seperti laporan Gugus Tugas yang penuh dengan angka-angka, sastra secara luwes dapat mengambil contoh kasuistik dengan melibatkan perasaan orang positif covid-19 dan orang-orang sekitarnya seperti kesepian, kehampaan, keputusasaan, kekecewaan dan harapan. Kedua,sastra memiliki keberpihakan yang seringkali menyuarakan kelompok-kelompok yang kurang mendapatkan perhatian dari kekuasaan ataupun pemberitaan media. Kelompok ini adalah kelompok yang sangat rentan terkena dan terdampak pandemi. Dengan sastra, dampak-dampak pandemi ini di daerah-daerah terpencil atau terhadap orang-orang kecil yang sangat jauh dari sorot perhatian mendapatkan corong untuk bersuara.
Salah satunya tergambarkan dalam buku kumpulan cerpen Cerpen Pilihan #ProsaDiRumahAja yang diinisiasi oleh Arcana Foundation dan Yayasan Indonesia Kaya. Cerpen-cerpen di dalam buku tersebut menjadi menarik karena dua hal. Pertama, tema yang aktual tentang pandemi Covid-19. Cerpen-cerpen yang termuat di dalam buku tersebut berbicara tentang dampak-dampak covid-19 terhadap kehidupan masyarakat. Ditambah lagi, karya-karya tersebut sebagai hasil dari forum kelas menulis selama masa karantina di rumah saja terasa kental dengan apa yang terjadi sehari-hari di tengah gejolak pandemi. Kedua, meski dibuhul dengan tema pandemi, cerpen-cerpen tersebut mampu menyajikan keterkaitan dan keterikatan peristiwa pandemi dengan kehidupan pelbagai lapisan masyarakat dari berbagai segi. Misalnya, pandemi yang menimpa guru, pemilik toko, dokter, kiai dan lain sebagainya. Kisah-kisahnya juga berlatar di tempat-tempat yang berbeda seperti Jakarta, Kudus, Kalimantan, Malang dan lain-lainnya.
Maka, peneliti melihat hubungan erat antara cerpen-cerpen tersebut dengan segi-segi sosial akibat pandemi covid-19 di masyarakat. Untuk itu, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra dalam menganalisis karya-karya di dalam buku Cerpen Pilihan #ProsaDiRumahAja.
Sosiologi sastra pada dasarnya adalah alat pisau teoritis untuk mengkaji hubungan antara karya sastra dan masyarakat. Dalam artian bahwa sebuah karya sastra tidak jatuh dari langit. Sebuah karya selalu lahir dari kondisi sosio-historis masyarakat. Sastra adalah sebuah cermin yang memantulkan fenomena-fenomena sosial. Oleh karena itu, karya sastra senantiasa mengangkat masalah sosial dan karya sastra sebagai “dokumen sosial” yang mencerminkan suatu zaman, mencatat suatu masyarakat pada suatu masa tertentu (Junus, 1986: 3). Dalam konteks penelitian ini, sastra adalah dokumen sosial pada masa merebaknya pandemi virus Covid-19.
Senada dengan itu, pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya dan kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono, 2014: 2-3).Sosiologi sastra berpijak pada konsep bahwa setiap produksi karya seni, khususnya sastra, selalu dilahirkan dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Tujuan sosiologi sastra adalah untuk memahami karya sastra dalam hubungannya dengan masyarakat yaitu menjelaskan bahwa karya rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra merupakan rekontruksi imajinatif, tetapi kerangka imajinatif ini tidak dapat dipahami di luar kerangka empirisnya. Maka, analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra sebagai produk masyarakat tertentu (Ratna, 2003: 11).
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami untuk subjek penelitian(Moelong, 2007: 6).Data primer dalam penelitian ini berupa pernyataan yang berbentuk kalimat, paragraf, wacana, dialog dan narasi yang terdapat dalam kumpulan cerpen#ProsaDiRumahAja(Arcana, 2020)yang diterbitkan oleh Arcana Foundation pada tahun 2020. Data sekunder didapatkan melalui sumber-sumber pustaka seperti buku, hasil penelitian atau laporan jurnalistik tentang fakta-fakta sosial terkait pandemi.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode baca cermat dan studi pustaka, yaitu (1) membaca teks atau isi cerpen dengan cermat, dan (2) mencatat temuan data yang dijadikanmodel analisis data. Metode analisis data dalam penelitian ini adalah metode analisis isi (content analysis), yaitu (1) menginterpretasikan makna bahasa yang terdapat di dalam cerpen yang berhubungan dengan penelitian, (2) merangkai isi kandungan cerpen dengan situasi dan dampak sosial tentang pandemi dari fakta-fakta sosial terkait, dan (3) menyimpulkan hasil penelitian.
PEMBAHASAN
Penelitian ini mengulas tujuh cerpen dari dua puluh cerpen dari buku #ProsaDiRumahAja, yaitu Dingin Loyang Terang Bulan, Pada Suatu Siang, Jimat Malowopati, Doa-Doa Kreweng, Rumeksa Ing Wengi, Alasan Yadi Maryadi Membenci Biru, Perempuan dalam Kotak. Cerpen-cerpen tersebut menarasikan segi-segi sosial yang berhubungan erat dengan dampak pandemi seperti potret-potret kemiskinan, resistensi dan adaptasi tradisi dan penindasan perempuan akibat kebijakan budaya “Di Rumah Aja”.
Potret-potret Kemiskinan
Pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan sekaligus penghasilan. Banyak karyawan dan buruh yang dipecat dan dirumahkan. Beberapa juga harus mengalami pemotongan gaji karena perputaran uang di perusahaan tidak berjalan dengan lancar. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengharuskan orang untuk berada, bekerja dan berdiam di rumah saja memberhentikan roda ekonomi secara mendadak. Pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan kerumunan orang mengalami penurunan pemasukan karena orang menghindari keramaian. Tak ayal, ekonomi yang tak berjalan turut memiskinkan masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa ekonomi Indonesia pada 2020 mengalami resesi karena dua kali berturut-turut pertumbuhan ekonominya minus. Bersamaan dengan itu, jutaan orang menjadi miskin. Menurut laporan tersebut, presentase penduduk miskin pada September 2020 sebesar 10,19 persen, meningkat 0,41 persen terhadap Maret 2020 dan meningkat 0.97 persen terhadap September 2019. Jumlah penduduk miskin pada September 2020 sebesar 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang terhadap Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang terhadap September 2019. Tren peningkatan kemiskinan ini diperkirakan akan terus berlanjut. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan tingkat kemiskinan pada 2021 akan tetap berada pada level dua digit, tepatnya 10,5 persen.
Dari sekian persen prediksi kemiskinan tersebut, sastra memotret beberapa fenomena kemiskinan dengan mengambil contoh kasus dari keluarga yang dijerat kemiskinan. Dalam hal ini, sastra mengamini bahwa kemiskinan tidak hanya tentang angka tetapi juga ‘rasa’ akan kemiskinan seperti perut keroncongan karena lapar, harapan dan keinginan yang tak terpenuhi, tangis kecewa karena hidup yang tak memihak, serta keteguhan kesabaran yang terus dipegang.
Salah satu cerpen dalam buku Cerpen Pilihan #ProsaDiRumahAja yang mengisahkan kemiskinan adalah cerpen “Dingin Loyang Terang Bulan” karya Dwi Alfian Bahri. Dengan sudut pandang seorang ayah yang merasa bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarganya, kemiskinan akibat pandemi terasa sangat menggetirkan. Dengan penuh penghayatan, cerpen tersebut menarasikannya sebagai berikut:
Lalu, matanya beralih ke kompor itu. Sudah beberapa hari belakangan gasnya belum diganti. Semuanya harus dihemat. Tapi gas elpiji sangat sulit dihemat ketimbang lainnya.
Sam mengatur besar apinya. Dia putar ke atas pemutar itu, begitu pelan. Nyala api harus benar-benar pas. Hanya itu cara agar gas bisa lebih tahan lama. Kompor harus tetap menyala. Ketebalan loyang yang mencapai 1cm cukup memakan waktu saat memanasinya. Belum lagi bila pembeli tidak mau menunggu, itu bisa jadi masalah serius. Jadi, kompor harus tetap menyala sekali pun tidak ada pembeli. (hlm. 14)
Dingin loyang adalah pertanda bukti ketiadaaan rezeki bagi Sam, seorang penjual terang bulan. Secara jeli dan detail, sang pengarang mengasosiasikan kemiskinan dengan loyang terang bulan yang mendingin. Loyang terang bulan harus terus menerus dalam keadaan panas agar menghasilkan kue yang enak. Oleh karena itu, loyang harus selalu dipanasi meskipun tidak ada pembeli. Masalahnya adalah sudah berjam-jam, pembeli tidak ada yang datang. Inilah dilema yang harus dihadapi oleh Sam. Jika loyang terus dipanasi meski sepi pembeli, tentu api akan menyedot gas sampai habis. Padahal, dia sudah tidak punya persediaan uang untuk membeli tabung gas. Di sisi lain, jika api gas dimatikan, loyang akan mendingin, bagaimana jika nanti akan ada pembeli yang datang. Butuh waktu yang sangat lama untuk memanasi loyang dari awal. Bisa-bisa, pembeli akan tidak sabar dan tak jadi membeli. Sementara itu, kedua anaknya sedang menunggu di rumah dengan menahan lapar.
Istri itu menghitungnya. Tidak lebih dari 40 ribu. Untuk modal besok saja jumlah itu kurang.
“Belikan anak-anak nasi goreng!” Lanjut Sam.“Kita masih bisa menahan lapar. Tidak untuk anak-anak.”
Istrinya mengambil beberapa lembar uang. Tanpa banyak bicara, dikembalikan sisanya ke dalam laci. Ada yang mengusik hidungnya.
“Saya mencium bau gas,” kata istri itu saat melangkah ke arah laci.
“Mungkin elpijinya mau habis.”
(hlm. 16-17)
Dwi Alfian Bahri benar-benar mengaduk-aduk emosi pembaca dengan menyajikan penutup kisah yang sangat pahit. Pada mulanya, harapan datang ketika seorang pembeli datang dan memesan terang bulan. Namun, karena gas elpiji habis, Sam pulang terlebih dahulu untuk membelinya. Sialnya, pembeli tersebut adalah seorang maling yang malah mengambil uang di kotak kecil tempat Sam menyimpan uang di gerobaknya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula adalah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi penjual terang bulan.
Kisah kemiskinan akibat pandemi juga dirasakan seorang penjual jamu dalam cerpen Pada Suatu Siang karya Asih Prihatini. Bu Ani tidak dapat menjual jamunya karena komplek perumahan tempat para langganannya ditutup portal sehingga ia hanya berjualan ketika ada pesanan. Hidup semakin menghimpit tatkala beban finansialnya bertambah karena anaknya harus belajar secara daring sehingga membutuhkan uang pulsa. Padahal, dia sudah sangat kesulitan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari
Sebenarnya, jangankan membeli pulsa, uang buat beli beras dan lauk untuk hari ini saja tidak ada. Pagi tadi, ia bisa memasak karena berhutang pada Bu Tantri. (hlm. 212)
Cerpen ini dibuka dengan rengekan Andi, anaknya, yang meminta pulsa untuk bersekolah. Ketika uang sehari-hari digunakan untuk membeli pulsa, maka Bu Ani harus berhutang demi membeli beras dan lauk pauk. Untungnya, ketika berada di warung, seorang guru bernama Tantri membantu membayarkan barang-barang belanjaannya. Di sini, kita melihat bahwa masyarakat miskin saling bantu-membantu.
Namun, pada titik ini, masalah sebenarnya baru dimulai. Bu Ani mengganggap bahwa Bu Tantri adalah guru yang mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, padahal kisahnya juga sama menderita dengannya. Cerpen ini menyajikan narasi penutup yang menyayat hati ketika seorang guru juga turut antri bersama orang-orang miskin lainnya untuk mendapatkan sembako gratis.
“Memang, Bu. Tapi sebenarnya itu uang pinjaman, buat bayar listrik. Malah saya pakai belanja dulu, habisnya anak-anak nangis kelaparan,” Bu Tantri pun menceritakan kondisi sebenarnya kepada wali muridnya itu. Matanya mulai berkaca-kaca, sulit baginya membiarkan orang lain tahu keadaan rumah tangganya. Apalagi beliau termasuk orang terpandang di kampung.
“Tolong jangan cerita siapa-siapa ya Bu kalau saya ngantri sembako di sini,” pintanya kemudian, dan kini ia benar-benar berlinang air mata. (hlm. 217)
Membaca cerpen-cerpen seperti “Dingin Loyang Terang Bulan” dan “Pada Suatu Siang” membuat mata menjadi basah dan hati berubah hangat bahwa banyak sekali saudara-saudara kita yang kesulitan mengais rezeki di masa pandemidemi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Cerpen-cerpen yang menghentak kesadaran kemanusiaan kita untuk saling berbagi di masa-masa sulit seperti ini.
Resistensi dan Adaptasi Tradisi
Pandemi Covid-19 telah benar-benar merubah wajah dunia. Protokol kesehatan seperti anjuran menjaga jarak (physical distancing), tidak berkerumun, tidak berkontak fisik seperti bersalaman ketika bertemu, sering-sering mencuci tangan dan memakai masker telah menjadi tatanan dan aturan baru. Aturan-aturan tersebut tentu berhadapan dengan tradisi, kebiasaan dan budaya yang telah lama dilakukan oleh masyarakat. Tak pelak, di tengah gejolak pandemi Covid-19, tradisi mengalami dua hal, yaitu resistensi dan adaptasi. Di satu sisi, terdapat tradisi yang dipertahankan mati-matian oleh para penganutnya meskipun mengabaikan protokol kesehatan. Adapula tradisi yang mencipta adaptasi dimana tradisi didesain ulang dan disesuaikan dengan aturan-aturan kesehatan yang berlaku. Adaptasi tradisi tidak mesti memiliki preseden buruk, adaptasi yang dihadirkan oleh cerpen-cerpen pandemi #DiRumahAja malah memperjelas tentang subtansi dan tujuan tradisi yang seharusnya dilestarikan.
Cerpen-cerpen yang mengisahkan tentang tradisi kultural yang dihadapkan dengan aturan kesehatan pandemi covid-19 kemudian menjadi api-api cerita yang memercikkan konflik dalam kehidupan masyarakat. Hasilnya, tradisi dapat mengalami resistensi dan adaptasi. Yang patut digarisbawahi adalah bahwa cerpen-cerpen tersebut dapat menjadi dokumentasi dan refleksi yang penting tentang perdebatan, pertentangan dan gejolak sosial kultural akibat pagebluk.
Adaptasi tradisi termaktub dalam cerpen “Jimat Malowopati” karya Tegsa Teguh Satriyo. Tradisi meron di Kampung Malowopati adalah puncak perayaan di bulan kelahiran Nabi Muhammad. Di tengah pandemi, tradisi peringatan Maulud Nabi yang mengumpulkan banyak orang terancam batal. Juru kunci tradisi meron, Mbah Gurit, juga tetap bersikeras bahwa tradisi ini harus digelar agar tidak terjadi bala yang menimpa penduduk desa. Mbah Gurit mengisahkan bahwa penundaan dan pembatalan tradisi meron akan berakibat meninggalnya penduduk desa. Jalan yang dilematik. Jika meron tetap digelar maka akan menjadi pemicu penyebaran virus dan melanggar aturan pemerintah. Jika tidak digelar, sengkala buruk bisa saja terulang di desa tersebut. Mati karena wabah atau mati karena melawan tradisi.
“Bagaimanapun, Meron harus tetap dilaksanakan. Digelar, meski dengan cara paling sunyi,” gumam Mbah Gurit. “Lebihbaik mati melawan Flu Koplak, daripada mati karena mengkhianati tradisi.” (hlm. 66-67)
Adalah Kang Subur yang menjadi penengah. Meski harus melewati perdebatan yang sengit antara pemegang tradisi dan aparat desa, tradisi meron akhirnya tetap dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan.
Pandemi di dalam cerpen ini tidak hanya menjadi ruang perdebatan apakah tradisi tetap dijalankan atau tidak tetapi pandemi juga membuka tabir tentang tradisi yang perlu dilestarikan dan yang perlu ditinggalkan. Pandemi menjadi waktu yang tepat untuk menekankan subtansi dan tujuan sebenarnya dari digelarnya sebuah tradisi.
“Nah, itu yang keliru!” Mbah Gurit menyambar, emosinya meluap-luap. “Puncak gelaran Meron berada pada arak-arakan gunungan Meron, yang kemudian disusul dengan munajat penuh hikmat. Di situlah letak kesakralannya. Gunungan menjualang dari beraneka rupa palawija itu, menjadi simbol kemakmuran Malowopati yang seharusnya diuri-uri, dilestarikan! Bukan dangdutannya, bukan pula segala rupa hiburan yang memicukemaksiatan! (hlm. 76)
Wabah korona juga menjadi penghalang bagi terselenggaranya tradisi dandhangan di dalam cerpen “Doa-Doa Kreweng” anggitan Fadlillah Rumayn. Dhandhangan adalah pasar yang dibuka setiap menjelang bulan Ramadan di sekitar Jalan Menara Kudus. Para penjual yang biasanya berjualan pada momen tersebut akhirnya tak dapat berjualan. Salah satunya adalah penjual kreweng atau perabotan dari bahan tanah liat yang bernama Yu dan Krisna. Karena terdesak oleh keadaan, keduanya akhirnya menjual barang-barang kreweng mereka di dunia maya.
Cerpen “Rumeksa Ing Wengi” karya Galuh Sitra Harini menyajikan perdebatan yang menarik antara tradisi dan rasio. Sebagai alumni sekolah, Syarifah menganggap tradisi yang dilakukan Nenek Marni dalam melawan pagebluk tidak sesuai dengan nalarnya. Bagaimana bisa sebuah Thetek Melek yang berupa pelepah kelapa kering bergambar wajah seram dapat menolak penyakit? Walhasil, Syarfah selalu membuang benda tersebut ke sungai setiap hari tanpa diketahui oleh neneknya. Dia juga tidak bisa merasionalkan tentang makanan yang selalu dimasak neneknya demi menghindari korono, yaitu sayur lodeh tujuh rupa. Bagaimana mungkin sayur lodeh tujuh rupa dapat melawan penyakit, kan tidak sesuai dengan anjuran-anjuran pemerintah yang disiarkan melalui media-media.
Namun, pengetahuan yang Syarifah ketahui tentang tradisi Thetek Melek dan sayur lodeh tujuh rupa benar-benar menyadarkannya tentang signifikansi tradisi. Cerpen tersebut menjelaskannya sebagai berikut:
Thethek Melek harus dilukis oleh seseorang yang selalu menjaga wudunya: dan bila batal di tengah proses pelukisan, maka ia harus berwudu kembali; bahwa seorang pelukis Thethek Melek harus membaca doa keselamatan—doa yang sama dengan yang ia baca—sepanjang pelukisan: memohon kepada Tuhan agar dihindarkan dari segala mara bahaya.
Mendapati sesuatu di luar perkiraannya, ia pun mencari tahu perihal lodeh tujuh rupa. Syarifah terkesiap membaca penjelasan ilmiah, bahwa ketujuh bahan itu: kluwih, kacang panjang, terong, kulit melinjo, labu, daun so, dan tempe, menyimpan banyak gizi yang membantu memperkuat imun tubuh.(hlm. 278)
Cerita pendek ini diakhiri dengan kidung “rumeksa ing wengi” anggitan Sunan Kalijogo yang dimaksudkan untuk menolak penyakit. Nenek Marni yang sedang menyenandungkan kidung di samping Thetek Melek menunjukkan bahwa memegang tradisi pada masa pandemi adalah sebuah hal yang masih diperlukan demi keselamatan manusia.
Tradisi keagamaan yang tetap mematuhi protokol kesehatan seperti dalam cerpen “Jimat Malowopati” dan tradisi keagamaan yang turut mendukung penolakan penyakit seperti dalam cerpen “Rumeksa Ing Wengi” menunjukkkan bahwa tradisi dan agama tidak seperti yang dipersepsikan masyarakat bahwa keduanya menjadi penghalang bagi usaha untuk melawan pendemi.
Tradisi, seperti sifatnya yang adaptif,juga turut beradaptasi dengan pandemi dengan digelar sambil mematuhi protokol kesehatan demi mencegah penyebaran virus. Di sisi lain, pengetahuan yang berakar dari tradisi lokal juga dapat digali kembali demi menangani pandemi.Tradisi-tradisi di daerah mengalami modifikasi, seperti tradisi Seumuleung di Aceh(Hidayatullah, 2020), tradisi Petiken di Gresik Jawa Timur(Susanto et al., 2020), tradisi Ngerebeg di Bali(Wibowo, 2020) dan lain-lainnya. Perayaan peringatan hari-hari besar keagamaan juga dilaksanakan secara terbatas dan dilangsungkan secara virtual seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Hari Natal, Hari Raya Galungan dan Imlek.
“Di Rumah Aja” dan Budaya Patriarki
Anjuran “Di Rumah Aja” tidak sesederhana yang kita bayangkan. Frasa tersebut tidak hanya tentang seluruh anggota keluarga harus berada di dalam rumah, namun juga terlihat merevolusi tatatan keluarga yang selama ini telah terjalin dan menjadi budaya. Implikasinya sangat erat kaitannya dengan posisi dan peran ayah, ibu dan anak di dalam keluarga. Laki-laki yang biasanya bekerja di luar rumah, kini memiliki intensitas yang tinggi untuk berada di rumah. Salah satu dampak “Di Rumah Aja” adalah bahwa cengkeram kuasa patriarkis semakin kuat.
Cerpen-cerpen pandemi dalam buku #ProsaDiRumaAja mengisahkan perlawanan yang dilakukan oleh para perempuan yang terbelenggu budaya patriarki yang semakin mengental akibat pandemi. Sebagai women writing, cerpen-cerpen ini menggunakan perspektif dan sudut pandang perempuan dalam melihat realitas. Dengan begitu, para perempuan menceritakan bagaimana mereka melihat suami dan laki-laki mereka sehingga para perempuan tidak hanya didefinisikan oleh laki-laki tetapi juga dapat mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya.
Dalam cerpen “Alasan Yadi Maryadi Membenci Biru” misalnya, tokoh perempuannya mendefinisikan laki-laki sebagai penjajah berkedok ayah dan suami. Hal ini bermula karena seorang istri harus mengalami luka berat karena berdebat dengan suaminya tentang apakah toko kelontong mereka akan dibuka atau tidak, mengingat adanya anjuran pemerintah untuk diam di rumah saja. Sang suami memilih membuka toko, sementara sang istri tidak.
“Untuk apa takut virus, tinggal semprot-semprot desinfektan, kelar!” katanya di tengah perdebatan kami. (hlm. 8)
Perbedaan pendapat berakhir dengan dihajarnya sang istri dan berujung pada perpisahan hubungan pernikahan keduanya. Yang menarik adalah potret tentang budaya patriarkal yang masih sangat melekat di benak orang-orang ketika melihat hubungan Yadi Maryadi dan istrinya. Tidak ada yang mempermasalahkan bagaimana Yadi Maryadi yang seringkali memukul dan main tangan pada anak-anak dan istrinya. Namun, yang lebih menjadi sorotan adalah kisah antara si istri dan Nabiru, tetangganya. Padahal, keduanya adalah hanya sebagai teman.
Kejadian itu segera menjadi buah bibir. Melompat cepat seperti virus dari warga satu ke warga yang lain, segera menjadi topik terhangat di lingkungan kami. Sialnya, yang menjadi sorotan bukan kelakuan keji si tua bangka itu, tetapi hubunganku dan Nabiru yang dianggap sudah melewati batas. Dalam cerita mereka, aku adalah perempuan tak tahu diri dan Nabiru perusak rumah tangga.
“Yadi Maryadi pantas marah, ia suami yang sah dan berhak untuk memberi peringatan pada istrinya yang main serong,” kata seorang perempuan asing yang mengintip ke ruang rawatku bersama beberapa temannya. “Lihat! Mereka malah berasyik masyuk di sini. Kasihan betul Si Yadi.” (hlm. 3-4).
Kisah perempuan yang tertindas dalam rumah tangga juga tersaji dalam cerpen “Perempuan dalam Kotak”. Dia harus menyelesaikan segala pekerjaan rumah karena suaminya tidak mampu sedikitpun melakukannya. Pada mulanya, sang istri juga bekerja namun karena kehamilannya, sang suami memintanya untuk berada di rumah saja. Karena baginya, perempuan memang semestinya di rumah saja.
Masa WFH (work from home) menjadi pemicu pertengkaran antara keduanya. Semua bermula karena suaminya hanya menyentuh pekerjaan-pekerjaan kantornya dan mengabaikan anak bayi mereka meski dia sedang menangis. Sang istri naik pitam. Mereka berdebat hebat hingga sang istri menendang laptop suaminya. Seperti biasanya, suami akan menggunakan kekerasan fisik untuk mengakhiri pertengkaran dengan cara memelintir lengan istrinya.
Kisah selanjutnya terus menerus menggambarkan bagaimana sang istri harus melayani suaminya. Sudut pandang perempuan turut memperkuat bagaimana kultur patriarkis ini bekerja. Contoh narasinya adalah sebagai berikut;
“aku mengalah dan meminta maaf. Namun, suamiku tidak melepaskan genggamannya di tanganku sebelum aku memohon-mohon”, ”Aku meringis kesakitan ketika dia semakin mengeratkan pelukannya”.
Untuk menggambarkan keadaannya, sang istri menyebut dirinya sebagai hamster yang terkurung di sebuah kandang bernama rumah tangga.
Kusadari aku serupa hamster kecil itu. Walaupun dikandangi, seekor hamster masih punya pilihan. Aku masih punya pilihan, untuk diriku dan demi Ryo. Sementara waktu, aku akan bertahan di kotak ini. Aku yakin, bahkan pandemi seburuk apa pun, semua akan berakhir. (hlm. 232)
KESIMPULAN
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku Pandemi; Cerpen Pilihan #ProsaDiRumahAjaadalah sebagai catatan sosiologis yang menarik tentang pandemi Covid-19. Cerpen-cerpen ini menghadirkan narasi alternatif tentang pengalaman pandemi covid-19 dengan merekam pengalaman terdalam dan perasaan sublim manusia dalam menghadapi hidup, yang tentunya berbeda dengan laporan jurnalistik, reportase berita, atau hasil penelitian yang kita dengar atau baca selama ini.
Membaca cerpen-cerpen pandemi, kita diantarkan untuk menyelami kegetiran hidup orang-orang miskin yang semakin menderita akibat virus covid-19. Kita juga disajikan dengan tradisi yang mengalami adaptasi dan resistensi karena berbenturan dengan tatanan-tatanan baru mengatasnamakan protokol kesehatan. Lebih lanjut, kebijakan “Di Rumah Aja” juga mengakibatkan relasi rumah tangga menjadi lebih dinamis. Namun, dinamika peran laki-laki dan perempuan masih terkungkung budaya patriarki yaitu pihak perempuan masih dalam keadaan tertindas.
DAFTAR PUSTAKA
Arcana, P. F. (2020). Pandemi; Cerpen Pilihan #ProsaDiRumahAja. Tangerang Selatan: Arcana Foundation. www.indonesiakaya.com
Damono, S. D. (2014). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.
Hidayatullah. (2020). Aceh Melangsungkan Seumuleung, Tradisi Kerajaan yang Berusia Lima Abad di Tengah Pandemi. BBC. https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53626634
Junus, U. (1986). Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Moelong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ratna, N. K. (2003). Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Statistika, B. P. (2021). Presentase Penduduk Miskin September Naik Menjadi 10,19 persen. BPS. https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/02/15/1851/persentase-penduduk-miskin-september-2020-naik-menjadi-10-19-persen.html
Susanto, D., Rosidah, A., Setyowati, D. N., & Wijaya, G. . (2020). Tradisi Keagamaan sebagai Bentuk Pelestarian Budaya Masyarakat Jawa pada Masa Pandemi. Suluk: Jurnal Bahasa, Sastra Budaya, 2(2). https://doi.org/10.15642/suluk.2020.2.2.107-118
Wibowo, N. H. (2020, November 4). Merawat Adat dan Tradisi Bali di Masa Pandemi. 4 November 2020. https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20201103195028-243-565503/foto-merawat-adat-dan-tradisi-bali-di-masa-pandemi
Žižek, S. (2020). Pandemic! Covid-19 Shakes the World. London: OR Books.
Komentar
Posting Komentar