PERAN SOSIAL KIAI PADA MASA KOLONIAL; KARYA-KARYA DJAMIL SUHERMAN DALAM TELAAH SOSIOLOGI SASTRA
*Artikel in pernah diterbitkan di jurnal Aksara (Balai Bahasa Bali) Vol. 33, No. 1, 2021
https://aksara.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/aksara/article/view/547
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakarya-karya Djamil Suherman menggambarkan sosok kiai dan peran-peran sosial kiai pada masa kolonial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan pisau teoretik sosiologi sastra. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka yang sumber data penelitiannya adalah kumpulan cerita pendek Umi Kalsum, novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe dan novel Sakerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kiai di dalam karya Djamil Suherman digambarkan sebagai pemimpin pesantren yang taat beragama. Kiai berperan dalam kehidupan sosial dengan cara mengajarkan agama, membimbing umat, mengajarkan kesaktian, memperkuat moral dan melawan penindasan kolonialBelanda. Peran perlawanan terhadap penjajahan ini merupakan ijtihad dan kontekstualisasi pemahaman keagamaan kiai sebagai bagian dari semangat zaman.
Kata kunci: kiai, peran sosial, sosiologi sastra
Abstract
This paper aims to research how Djamil Suherman's literary works portrayed the figure of the kiai and the social roles of the kiai during colonial period. The method used in this research is analytical descriptive with Alan Swingewood's theory of sociological literature. The data collection was done by literature study techniques where the source of the research data was “Umi Kalsum” collection of short stories, novel “Pejuang-Pejuang Kali Pepe” and novel “Sakerah”. The findings of this study indicate that the kiai in the work of Djamil Suherman is described as a religious leader of a pesantren. The kiai played a role in social life by teaching religion, guiding people, teaching supernatural powers, strengthening morals and resisting the oppression of Dutch. The role of resistance to this colonolialism is a form of ijtihad and contextualization of kiai’s religious understandingas part of the periodspirit.
Keywords: kiai, social role, sociological literature
PENDAHULUAN
Kiai adalah salah satu kelompok sosial di dalam masyarakat Indonesia. Sebagai negeri dengan penduduk mayoritas muslim, posisi dan peran kiai sebagai pemimpin agama dalam lanskap sosial masyarakat tidak dapat dinafikan.
(Dhofier, 2011) mencatat bahwa kiai merupakan kelompok elite yang dihormati dan disegani oleh masyarakat Jawa. Sebagai seorang guru dan pemimpin pesantren yang memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, kiai adalah tempat masyarakat bertanya hal apapun; mulai dari masalah agama, ekonomi hingga supranatural.
Oleh karena itu, selain sebagai kaum terdidik yang bertugas untuk menyampaikan pengetahuan Islam kepada penduduk desa, kiai juga merupakan patron, tempat penduduk bergantung (Turmudi, 2006).
Tokoh yang disebut “kiai” tidak hanya dianggap sebagai pemimpin informal, tetapi juga sebagai wujud personifikasi penerus Nabi Muhammad karena para kiai adalah pewaris para nabi dalam segi agama maupun akhlak. Maka, gelar kiai disematkan oleh masyarakat atas dasar keunggulan yang dimiliki kiai seperti kedalaman ilmu, kemuliaan nasab dan kekayaan ekonomi. Dengan keunggulan-keunggulan tersebut, kiai mempergunakannya untuk mengabdi kepada masyarakat (Moesa, 2007).Dengan kedudukan dan status sosial tersebut, kiai menyandang peran-peran sosial yang signifikan di masyarakat.
Peran sosial dapat dimaknai sebagai tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki status sosial tertentu. Peran mencakup hak dan kewajiban seorang individu dalam hubungannya dengan individu lain. Setidaknya, peran sosial mencakup tiga hal; yaitu norma-norma yang berhubungan dengan posisi seseorang dalam masyarakat, konsep apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat dan perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Dalam konsep sosiologi tentang teori peran (role theory), peran adalah sejumlah tindakan yang dilakukan individu dalam suatu konteks (lingkungan). Peran akan efektif bila memenuhi berbagai syarat, yang termasuk didalamnya berbagai norma yang melekat pada posisi sosial pelaku, kepercayaan/agama dan sikap yang dianut, serta konsep peran yang dimainkannya sendiri” (Borgatta & Marie L, 1992). Jadi, segala bentuk aktivitas atau kegiatan bermanfaat yang dilakukan oleh individu dalam suatu masyarakat dapat disebut sebagai wujud peran sosial.
Seperti halnya hubungan sosial, peran sosial bukanlah hal yang statis tetapi selalu bergerak secara dinamis sesuai dengan perubahan zaman dan perbedaan teritori. Sejarah mencatat bahwa peran-peran sosial kiai sudah merentang panjang sejak sebelum zaman kemerdekaan Republik Indonesia hingga masa sekarang. Setiap zaman menghasilkan peran-peran yang ‘dituntut’ berbeda dari sosok kiai.
Pada masa penjajahan, para kiai berperan sebagai panglima pemimpin laskar jihad yang berperang melawan Belanda. Diantaranya adalah KH. Zainul Arifin dari Barus Sumatera Utara yang menjadi pemimpin laskar Hizbullah (tentara Allah) dan KH. Masykur dari Malang yang mengomandoi Laskar Sabilillah (jalan kepada Alllah) (Farih, 2016). Ideologi nasionalisme bahwa mencintai negara adalah bagian dari iman (hubbul wathon minal iman) mengalir dalam urat nadi para kiai. Resolusi Jihad dari KH Hasyim Asy’ari semakin menegaskan bahwa hukum mempertahankan negara Republik Indonesia adalah bagian dari kewajiban agama yang harus dilaksanakan oleh umat Islam.
Seorang antropolog, Clifford Geertz, juga merekam aktivitas dan peran kiai di Jawa Timur pada medio akhir 1950-an.Geertz (1960)menyebutkan bahwa kiai memiliki peran sebagai cultural broker (makelar budaya) yaitu menghubungkan pesantren dengan kehidupan masyarakat petani di pedesaan Jawa. Kiai juga berperan untuk menyaring unsur-unsur budaya yang diperbolehkan atau yang tidak diperbolehkan berdasarkan agama islam untuk masuk ke dalam pesantren.
Namun, peran kiai berubah ketika teknologi masuk dengan membawa gempuran budaya “luar”. Horikoshi (1987) yang melakukan penelitian di Jawa Barat mencatat bahwa kiai tidak lagi hanya menjadi makelar budaya tetapi juga menjadi agen perubahan sosial bagi pesantren dan masyarakat di sekitarnya. Endang Turmudzi (2006), melalui penelitiannya di Jombang pada tahun 2003-2004, mengidentifikasi peran kiai menjadi empat kategori, yaitu: Kiai Pesantren, Kiai Tarekat, Kiai Panggung dan Kiai Politik. Kiai Pesantren merujuk kepada kiai pengasuh pondok pesantren; kiai tarekat adalah pemimpin tarekat yang biasa disebut mursyid; Kiai Panggung adalah kiai yang sering tampil dari panggung ke panggung untuk memberikan ceramah; dan Kiai Politik adalah kiai yang bergerak dalam politik praktis. Yang menarik dari penelitian ini adalah bahwa seorang kiai tidak mesti hanya memainkan satu peran kategori tetapi ia bahkan bisa menjalani peran keempat kategori secara bersamaan.
Salah satu yang merekam peran-peransosial kiai adalah karya sastra. Sastra dalam hal ini dapat menjadi dokumen sosial yang memotret sebuah atau beberapa peristiwa beserta jaring-jaring hubungan antarkelompok masyarakat yang terjadi pada kurun waktu tertentu di dalam sebuah teritori tertentu pula. Dalam artian bahwa ebuah karya selalu lahir dari kondisi sosio-historis masyarakat tempat pengarang memantulkan kondisi tersebut dan menginterpretasikannya ke dalam karya sastra. Dalam hal ini, sastra adalah sebagai cermin tentang kiprah kiai di masyarakat yaitu sejauh mana sastra menggambarkan realita sosial tentang peran-peran kiai dalam lingkup sosial kemasyarakatan, utamanya pada masa kolonial.
Djamil Suherman adalah salah seorang pengarang yang banyak memasukkan unsur kiai ke dalam karyanya. Ia lahir di Sidoardjo, Jawa Timur, tanggal 24 April 1924 dan meninggal tanggal 1 Desember 1985 di Bandung. Karyanya yang berupa buku, antara lain, adalah (1) Muara (kumpulan puisi bersama Kaswanda Saleh, 1958, Palembang: Lembaga Seni), (2) Manifestasi (kumpulan puisi bersama delapan penyair, 1963, Jakarta: Jambatan), (3) Umi Kalsum (kumpulan cerpen, 1963, Bukittinggi: NV Nusantara dan terbitan kedua kalinya oleh Mizan, 1984), (4) Nafiri (kumpulan puisi, 1983, Bandung:Pustaka Salman), (5) Pejuang-Pejuang Kali Pepe (novel, 1984, Bandung: Pustaka Salman), (6) Sarip Tambak Oso (novel, 1985, Bandung: Mizan); (7) Sakerah (novel, 1985), (8) Kabar dari Langit (kumpulan puitisasi terjemahan Quran, 1986), dan (9) Jalan Pintas ke Sorga: Kumpulan Kisah Nabi dan para Sahabat, 1986).[1]
Djamil Suherman dikenal sebagai sastrawan yang banyak menulis tentang agama Islam dan dunia pesantren, diantaranya adalah tentang kehidupan kiai pada masa penjajahan.Sosok Djamil yang tumbuh besar dan mendapatkan pendidikan di pesantren menjadi sisi menarik tersendiri untuk mendapatkan pandangan dalam (insider view) tentang peran-peran tokoh pesantren melalui karya-karyanya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, masalah penelitian ini yaitu pertama, bagaimana Djamil Suherman menggambarkan sosok kiai (pada masa kolonial) dalam karya-karyanya; kedua, peran-peran sosial apa yang dijalankan oleh kiai pada masa kolonial. Maka, sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap sosok dan peran kiai pada masa penjajahan yang tergambar melalui karya-karya sastra yang dikarang oleh Djamil Suherman.
Penelitian tentang karya-karya sastra Djamil Suherman telah dilakukan oleh beberapa peneliti, salah satunya adalah Agus Yulianto (2007) dengan judul “Novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe Karya Djamil Suherman: Suatu Tinjauan Sosiologis”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe mengandung dua dimensi religiusitas, yaitu pertama, nilai religius tentang hubungan manusia dengan manusia yang berupa bahwa manusia hendaknya bersikap rendah hati, tidak takabur, saling menghargai dan menghormati aturan sosial. Yang kedua yaitu nilai religius tentang hubungan manusia dengan Tuhan yang terdiri dari manusia percaya dan mengakui-Nya, selalu mengajak orang untuk kembali ke jalan-Nya dan menjalankan perintah-Nya. Penelitian di atas memang menggunakan sosiologi sastra, namun berfokus kepada nilai-nilai religius yang hidup dalam lingkungan sosial. Terlebih lagi, studi Yulianto hanya menyoroti novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe yang berbeda dengan studi ini yang menyoroti tiga karya Djamil Suherman.
Studi tentang karya Djamil Suherman juga dilakukan olehAtisah & Mujiningsih ( 1996)yang menitikberatkan pada latar pesantren dalam kumpulan cerpenUmi Kalsum. Atisah lebih banyak mengulas tentang pesantren sebagai setting tempat seperti masjid, rumah kiai, kamar dan pemondokan santri berikut dengan gambaran kehidupan pesantren yang sesuai dengan ajaran islam. Penelitian Atisah dan Mujiningsih belum mengungkap tentang dimensi sosiologis dari karya-karya Djamil Suherman. Peneliti lain, Rosyid H.W. (2019),juga pernah menulis tentang karya Djamil Suherman dari sudut pandang antropologis dengan judul “Subkultur Pesantren dalam Karya-Karya Djamil Suherman”. Ia menyebutkan bahwa karya Djamil Suherman menarasikanritual-ritual keagamaan yang hidup di pesantren seperti Marhabanan dan Mauludan. Karya Djamil juga berisi tentang lima elemen pesantren seperti pondok, masjid, kiai, santri dan pengajaran kitab kuning. Meskipun studi di atas juga mengulas tentang kiai, namun hanya dalam porsi yang sangat terbatas dan kurang komprehensif. Di sisi lain, penelitian ini juga menginspirasi penulis untuk melakukan kajian yang lebih mendalam tentang sosok kiai dalam karya-karya Djamil Suherman.
Sosok kiai dalam sastra Indonesia juga pernah diteliti oleh Aprinus Salam. Salam menyimpulkan bahwa, pertama, kiai memiliki posisi sosial yang signifikan karena mampu menjadi penasihat masyarakat dalam hal dunia. Ini menandakan bahwa kiai memiliki posisi penting dalam agama sekaligus masyarakat. Kedua, tidak ada gambaran kiai politik dalam karya sastra hingga zaman Orde Baru. Ketiga, karya sastra pasca reformasi menggambarkan keakeragaman sosok kiai. Dengan memilih banyak novel mulai dari zaman penjajahan Belanda hingga masa reformasi, penelitian Salam ini lebih menitikberatkan tentang perubahan sosok kiai dari zaman ke zaman dan tidak berfokus pada sosok kiai pada era tertentu. Penelitian Salam memang menggambarkan sosok kiai pada masa kolonial melalui novel karya Sutan Sati, Hamka, Suman Hs, Sutan Takdir Alisjahbana dan Nur Sutan Iskandar yang menggambarkan kiai sebagai sekadar saudagar kaya dan tidak memiliki kedalaman agama Islam. Hal ini berkaitan dengan seleksi politis yang dilakukan Belanda terhadap karya sastra. Namun, penelitian Salam tidak menyinggung karangan-karangan Djamil Suherman yang menjadi fokus penelitian ini.
Maka, studi ini dilakukan karena penelitian ini berbeda dengan studi-studi sebelumnya setidaknya dalam dua alasan. Pertama, pendekatan yang digunakan dalam membaca karya-karya Djamil Suherman. Pendekatan dan pisau teoretik yang berbeda tentu berbeda pula dalam penentuan titik fokus sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Untuk itu, pendekatan sosiologi sastra yang berfokus pada sosok dan peran kiai pada masa penjajahan adalah sebuah kebaruan dari penelitian ini yang belum pernah ditulis sebelumnya. Kedua, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga karya Djamil Suherman yaitu kumcer Umi Kalsum, novel Sakerah dan novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe. Ketiga data ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang sosok dan peran sosial kiai dalam pandangan Djamil Suherman.
Studi ini menggunakan teori sosiologi sastrasebagai pisau analisisnya. Sosiologi sastra adalah sebuah cara pandang yang melihat sastra memiliki hubungan dengan kehidupan sosial manusia, yaitu hubungan manusia dengan keluarga, masyarakat, politik dan negara (Swingewood & Laurenson, 1972: 12-14). Swingewood & Laurenson (1972: 13)menambahkan bahwa karya sastra merupakan dokumen sosiobudaya yang dapat digunakan untuk melihat suatu fenomena dalam masyarakat pada masa tertentu yang dapat berupa struktur sosial, hubungan keluarga, konflik sosial, tren perceraian dan komposisi populasi penduduk.
Lebih jauh lagi, Swingewood dan Laurenson menguraikan secara detail dalam bukunya The Sociology of Literature(1972) bahwaterdapat tiga perspektif sosiologi sastra, yaitu: penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang merefleksikan situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa historis.
Penelitian ini menggunakan perspektif pertama dari sosiologi sastra Swingewood karena berkesesuain dengan titik masalah yang ingin diungkap, yaitu tentang sastra sebagai dokumen sosial yang merefleksikan situasi sosial pada periode tertentu. Swingewood & Laurenson (1972: 16-17) menyatakan bahwa sastra adalah cerminan nilai dan perasaan individu dalam sebuah struktur sosial sebagai respon terhadap perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat yang berbeda-beda. Sehingga, karya sastra yang merekam kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia adalah barometer sosiologis paling efektif dalam melihat respon manusia terhadap tekanan sosial.
Maka, peran peneliti sosiologi sastra adalah untuk menghubungkan pengalaman imajinasi penulis dan iklim situasi historis untuk menemukan nilai dan makna dunia sosial tersebut dari karya sastra (Lowenthal, 1957 via Swingewood & Laurenson, 1972:14). Dalam hal ini, tugaskritikus sosiologi sastra tidaklah hanya menemukan refleksi sosial dan historis karya sastra, tetapi juga mengartikulasikan nilai-nilai yang tertanam di dalamnya(Swingewood & Laurenson,1972:14)
Wahyudi (2013:61) menggarisbawahi bahwa karya sastra bukanlah artefak tetapi hasil proses dialektika pemikiran, sehingga karya sastra bukanlah semata-mata cerminan realitas secara keseluruhan tetapi juga sentuhan pemikiran pengarang terhadap fakta yang terjadi. Maka, penemuan nilai dan makna dunia sosial dalam karya sastra dimaksudkan untuk menemukan keberpihakan karya sastra tersebut.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. MenurutMoleong (2013:6), penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami sendiri oleh subjek penelitian secara holistik lalu dideskripsikan dalam bentuk paparan kebahasaan yang dapat berupa kata-kata atau teks tulis.
Terdapat tiga langkah dalam penelitian ini. Pertama, penentuan data primer penelitian yang berupa karya-karya Djamil Suherman, yaitu kumpulan cerita pendekUmi Kalsum(1984),novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984) novel Sakerah(1985). Ketiga buku ini dipilih karena menarasikan tokoh dan peran sosial kiai yang menjadi pokok permasalahan dalam studi ini. Kata, kalimat, teks dan atau narasi dalam tigakarya tersebut menjadi sumber data penelitian ini. Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data pustaka sebagai data sekunder yang dianggap berkaitan dengan fakta sosial tentang peran kiai. Kedua, pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan teknik simak-catat. Peneliti membaca ketiga karya Djamil Suherman secara intensif dan seksama, lalu mencatat dan mengklasifikasikan data-data yang berkaitan dengan peran sosial kiai. Langkah ketiga adalah analisis data yang berupa teknik analisis isi (content analysis), yaitu peneliti melakukan analisis, interpretasi dan pemaknaan terhadap klasifikasi data teks untuk mengetahui peran-peran sosial kiai pada masa kolonial yang terekam dalam karya sastra lalu menghubungkannya dengan realitas sosial yang berupa fakta sosial dan fakta sejarah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kiai di dalam agama islam adalah seorang tokoh masyarakat yang segala polah tingkah dan tindak tuturnya menjadi perhatian masyarakat. Maka, gelar ‘kiai’ tidak sembarangan disematkan. Ada kategori-kategori tertentu yang harus melekat pada diri seseorang agar ia bisa disebut sebagai kiai. Terdapat karakteristik-karakteristik yang khas yang harus dimiliki olehseorang kiai. Kategori dan karakteristik inilah yang kemudian membentuk citra kiai.
Sebagai sebuah kontruksi sosial, citra kiai juga dapat berubah seiring dengan perubahan zaman, karena pola hubungan sosial masyarakat juga akan berubah berikut juga eksponen-eksponen sosialnya. Mungkin, pada suatu masa, kiai dicitrakan memiliki akhlak yang baik yang senang membantu sesama. Namun, kiai di sebuah tempat tertentu pada masa tertentu adalah seorang politisi yang sedang meraih kursi kekuasaan.
Maka, karya-karya Djamil Suherman adalah sebuah hasil lensa potret dalam menggambarkan citra kiai pada zaman tertentu yaitu pada masa penjajahan. Titik potret ini menjadi penting untuk melihat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti dibawah ini; apakah citra kiai mengalami stagnasi atau malah berubah pada masa sekarang, karakter-karakter sebagian atau semuanya yang mengalami stagnasi atau perubahan, apakah perubahan citra kiai ke arah yang lebih baik atau lebih buruk pada masa sekarang, mengapa stagnasi citra kiai terjadi di tengah gelombang perubahan zaman, atau mengapa kiai berubah pada masa sekarang. Hal-hal semacam di atas menjadi signifikan untuk ditelaah untuk melihat lanskap sosial masyarakat secara utuh dimana kiai berperan penting di dalamnya.
1. Kiai sebagai Individu
Kiai di dalam karya sastra Djamil Suherman mengamini definisi bahwa kiai adalah pimpinan pondok pesantren yang memiliki kedalaman ilmu agama. Kiai juga dalam artian memiliki genealogi biologis dari kiai pula, bahwa menjadi kiai juga dikarenakan ia adalah keturunan kiai pula. Novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe mencatat bahwa Kiai Mukmin adalah pimpinan Pondok Pesantren Gedangan tempat ia menggantikan kedudukan almarhum ayahnya, Kiai Idris. Begitu juga kumcerUmi Kalsum yang menuliskan bahwa:
“Kiai Sjafii adalah putera tunggal beliau (Kiai Ahmad-pen) yang kini menggantikannya sebagai Kyai pesantren Kedungpring.” (Pesantren dan Kiai Kami, hlm. 25)
Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Dhofier (2011:101-109), bahwa pengakuan akan kiai tidaklah diperoleh melalui keturunan namun melalui pengetahuan keagamaan. Keturunan kiai memang telah dipersiapkan untuk menjadi kiai karena tiga hal. Pertama, para kiai bertanggung jawab “menjaga” anggota keluarganya dari api neraka seperti yang diperintahkan Qur’an (surat 66 ayat 6) dengan mengajarkan agama kepada mereka. Kedua, kiai bertanggung jawab untuk melestarikan kehidupan dan kepemimpinan pesantren. Ketiga, untuk menjaga rantai intelektual (intellectual chain) dalam pemahaman terhadap agama.
Dalam cerita-cerita yang dikarang oleh Djamil Suherman, kiai sebagai individu digambarkan sebagai orang yang gemar melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh agama Islam. Tidak hanya melakukan ibadah yang wajib, tetapi juga ibadah yang bersifat sunah. Dengan kata lain, kiai melaksanakan ajaran agama melebihi rata-rata yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Secara kasat mata, ketaatan kiai pada ajaran agama berada pada level yang lebih tinggi daripada muslim-muslim lainnya. Kiai seperti diberikan kekuatan dan kemampuan berlebih dalam menjalankan perintah agama. Dalam kumpulan cerpen Umi Kalsum, Djamil Suherman menggambarkan sosok Kiai Sjafi’i,pemimpin pesantren di desa Kedungpring sebagai orang yang“suka sekali berpuasa dan siang malam melakukan sembahyang sunat”(Pesantren dan Kiai Kami, hlm. 25).
Ketaatan beragama inilah yang menjadi sumber bagi terciptanya citra-citra positif dan damai yang melekat pada sosok kiai. Sebagai seorang manusia, kiai digambarkan sebagai sosok yang “wajah dan keningnya yang selalu tampak bersih dan bercahaya” sehingga membuat tenang dan senang bagi siapapun yang memandangnya. Dengan sorot cahaya matanya, keteduhan adalah hal yang dirasakan ketika melihat kiai. Dalam novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe, keteduhan kiai dikarenakan adanya kedamaian iman dan ketawakalan di dalam jiwa kiai. Dalam kumcer Umi Kalsum, keceriaan wajah kiai adalah “pancar nur kebesaran seorang alim”.
2. Peran-Peran Sosial Kiai
Kiai di cerita-cerita Djamil Suherman adalah sosok manusia yang mengemban banyak peran sosial. Kiai adalah sosok yang mengajarkan agama Islam, membimbing masyarakat, mengajarkan kesaktian dan bahkan seorang pemimpin laskar perang dalam melawan Belanda.
a. Mengajarkan Agamadan Membimbing Umat
Sebagai pemimpin pesantren yang memiliki kedalaman pengetahuan agama Islam, dapat dikatakan mengajarkan agama adalah kegiatan paling penting dan utama dari kiai. Kiai dalam karangan-karangan Djamil, telah mengajarkan Islam setiap hari selama berpuluh-puluh tahun. Tidak hanya mengajar santri-santri yang tinggal bersamanya di lingkup pesantren, kiai juga ‘bertugas’ untuk membimbing masyarakat berkaitan dengan urusan keagamaan.
Seorang santri di dalam cerita pendek Pesantren dan Kiai Kami menceritakan pengalamannya ketika diajar oleh kiai.
“[…] tiap lepas Subuh menerima pengajian langsung dari Kyai Sjafii. Di tingkat lanjutan ini kami mempelajari Tafsir Quran dan pengajian-pengajian lain yang berat, seperti Mamba’ul Ulum, Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghazali, Filsafat dan Tasawuf.” (Pesantren dan Kiai Kami, hlm. 25)
Kitab kuning inilah yang menjadi pijakan kiai dalammemandu santri untuk memahami ajaran agama yang bersumber dari Qur’an dan Hadits. Tak pelak, kehidupan kiai tidak bisa dilepaskan dari kitab kuning dan santri. Rumah kiai adalah juga rumah bagi tumpukan kitab kuning yang berderet-deret rapi di rak-rak lemari (Pejuang-Pejuang Kali Pepe, hlm. 7).
Djamil Suherman juga menekankan tentang peran kiai dalam pengajaran agama di novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe. Ia menulis:
“Telah berpuluh-puluh tahun Kiyahi Mukmin menuntun santri-santrinya dengan pelajaran-pelajaran agama […] ajaran-ajaran agama tidak saja diberikan dalam pesantren, melainkan juga ke luar sebagai usaha da’wah. (hlm. 3)
Santri-santri hasil didikan kiai inilah yang telah dibekali pengetahuan agama dan keluhuran budi kemudian akan terjun ke masyarakat untuk menjadi menyebarluaskan ajaran-ajaran agama di satu sisi serta menebarkan kebermanfaatan bagi masyarakat luas di sisi lainnya. Santri-santri yang telah lulus dari pesantren dan bergabung dengan masyarakat adalah saluran kontribusi kiai di dalam menyampaikan asas-asas kebajikan dan nilai-nilai kebaikan. Djamil Suherman menarasikannya sebagai berikut:
“Di Gedangan juga diadakan pengajian-pengajian yang teratur, yaitu pengajian Shubuh, pengajian Ashar, dan pengajian Maghrib. Pengajian demikian telah berjalan berpuluh tahun yang dilaksanakan oleh leluhur Kiyahi Mukmin. Para lulusan Pondok Gedangan yang tersebar luas kini menduduki jabatan penting, baik di lembaga-lembaga negara yang pada waktu itu terbatas pada pangkat Penghulu Negeri, maupun pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di kota-kota besar.” (Pejuang-Pejuang Kali Pepe, hlm. 37-38)
Kiai sebagai tokoh sosial tidak hanya mengajar santri, tetapi juga membimbing umat secara umum. Jika kiai mengajar santri hanya dengan cukup berada di pesantren, maka kiai mengajar masyarakat harus dengan keluar rumah dan mengunjungi banyak tempat. Kiai berdakwah dengan menggelar pengajian dari masjid ke masjid, dari desa ke desa, dari satu wilayah ke wilayah lain. Di pelbagai tempat inilah, kiai menjadi pemimpin dari ritual-ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Seperti yang ditulis oleh Bruinessen (1994:21), bahwa kiai tidak hanya sebagai guru agama tetapi juga pemimpin ritual-ritual penting sekaligus pembaca doa pada pelbagai acara kemasyarakatan.
Kumcer Umi Kalsum menceritakan bahwa kiai memimpin doa pada acara kasidahan dan marhabanan (cerpen Jadi Santri, hlm. 14-15). Dalam gelaran peringatan Isra’ Mi’raj misalnya, kiai dituntut untuk membacakan sejarah Nabi Muhammad SAW beserta dengan kontekstualisasinya pada masa sekarang (cerpen Malam Mauludan, hlm. 51).
Kiai adalah pelita bagi masyarakat, tempat segala orang mengadukan masalah-masalah kehidupannya. Orang-orang datang kepada kiai atau menghadiri pengajian-pengajiannya adalah untuk mencari keberkahan hidup. Kiai dalam cerita Djamil Suherman adalah orang yang turut bertanggung jawab terhadap terbentuknya harmoni sosial. Kiai berusaha untuk menyuarakan bahwa manusia haruslah berbuat baik kepada sesama dan sejauh mungkin untuk tidak melakukan kejahatan. Mengajarkan agama bagi kiai adalah sama dengan satu tarikan nafas dalam menebarkan kedamaian.
Di dalam salah satu novelnya yang berjudul Sakerah, Djamil menceritakan tentang seorang preman yang telah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Pada mulanya, Sakerah digambarkan sebagai orang yang sering membuat keonaran, mengganggu ketertiban dan menciptakan ketidaktenteraman dalam hidup bermasyarakat. Namun, dengan sentuhan ‘tangan dingin’ kiai, akhirnya Sakerah menjadi orang yang baik. Bahkan, ia berjuang demi terwujudnya ketenteraman di desanya. Sakerah sebagai mantan preman digambarkan sering mencari petunjuk dan petuah hidup kepada kiai.
“Pada setiap pengajian di langgar desa, Sakerah selalu hadir dan disana dia membaktikan dirinya kepada Kyahi Saleh. Ketekunan Sakerah terhadap kebajikan membuat rumahtangganya berkah. Sekali sebulan dia silaturahmi kepada kyahi-kyahi di luar desanya. Dia ke rumah Kyahi Hasan di Sidoarjo, Kyahi Khalil di Dosermo […]”
Pertemuan Sakerah dengan kiai telah menyadarkannya pentingnya berbuat baik kepada sesama. Dengan apa yang dimilikinya, yaitu kesaktian, Sakerah sadar bahwa dia bisa banyak menebarkan manfaat bagi orang lain. Interaksinya yang intens dengan kiai membuat pola pikir dan tingkah lakunya berubah. Perlahan demi perlahan, Sakerah pun menjadi orang baik dan menyadari perannya sebagai manusia. Lalu, ia menggunakan kesaktian dan kekuatannya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Hal ini adalah berkat bimbingan dan nasihat kiai.
“Sakerah memandang bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah kebaikan. Kebaikan pada diri sendiri, keluarga dan orang lain. Pandangan demikian timbul saat-saat dia menyadari bahwa kejagoan manusia sebenarnya tidaklah ada artinya dibandingkan dengan kekuasaan Maha Pencipta.” (Sakerah, hlm. 2)
b. Mengajarkan Kesaktian dan Memperkuat Moral
Kiai dalam gambaran Djamil Suherman tidak hanya mengajarkan agama belaka, tetapi juga mengajarkan ilmu kesaktian silat dan kanuragan. Kiai juga adalah seorang pendekar yang sakti. Penampilan tubuhnya yang kekar adalah cerminan dari perawakannya yang kuat dan kepribadiannya yang teguh (Pejuang-Pejuang Kali Pepe, hlm. 25). Cerita-cerita Djamil menunjukkan bahwa genealogis kiai tidak hanya mewariskan kedalaman pengetahuan agama, tetapi juga menurunkan kesaktian. Kiai-kiai adalah para pendekar yang selalu mengajarkan kesaktiannya kepada muridnya-muridnya. Dalam kumcer Umi Kulsum digambarkan:
“Kiai Sjafii bukan saja termasyhur karena besar ilmunya. Menurut cerita kakekku, beliau juga punya kesaktian seperti ayah beliau. Dan kesaktian itu memang diwarisi turun temurun dari leluhur beliau yang kabarnya berasal dari negeri Mekkah.” (Pesantren dan Kiai Kami, hlm. 25)
Senada dengan hal di atas, novel Sakerah juga menegaskan:
“Dari Kyahi Khalil inilah Sakerah banyak memperoleh ilmu-ilmu kesaktian, ilmu kebal dan aji-aji yang tidak setiap orang mendapatkannya […] Pada masa mudanya, Pak Syaropah pun pernah berguru di Dosermo ini sebelum generasi Sakerah […]”
Namun, kesaktian dan ilmu silat yang diajarkan oleh kiai tidak hanya berupa kekuatan fisik saja, tetapi kiai juga membekali para pendekar dengan kekuatan batin dan kekuatan moral. Inilah yang membedakan ilmu silat yang diasuh oleh kiai. Kekuatan batin diperoleh melalui tirakat batin dan riyadah batiniah. Hal ini dapat dicontohkan bahwa apabila seseorang mau berguru silat kepada kiai maka ia diharuskan untuk berpuasa mutih selama empat puluh hari, yaitu puasa yang sahur dan buka puasa hanya diperbolehkan dengan memakan dan meminum hal-hal yang berwarna putih dan tawar seperti air putih, nasi, kerupuk dan garam. Adapula laku batin yang mensyaratkan seorang murid untuk melakukan salat hajat tiap tengah malam yang ditambah dengan dzikir-dzikir tertentu.
Kekuatan moral sengaja diajarkan untuk membekali para calon pendekar bahwa kekuatan dan kesaktian mereka benar-benar digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang mulia, tidak demi meraih-meraih hal-hal yang dilarang oleh agama. Maka, setiap pendekar asuhan kiai adalah pendekar yang diharapkan memiliki keagungan moral. Narasi berikut adalah pesan seorang kiai yang telah mendarah daging di dalam jiwa seorang pendekar bernama Sakera:
“Muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara dan wajib memelihara kasih sayang di antara mereka. Jangan ria, jangan takabur, dan mementang-mentangkan diri, karena seorang pun di dunia ini tak ada yang sempurna. Setiap orang punya kelebihan dan kelemahan. Kesempurnaan hanya pada Gusti Allah.”
Pesan-pesan kiai inilah yang menjadi panduan bagi para pesilat dalam menggunakan kesaktiannya. Saat pendekar melakukan kesalahan dengan menyalahgunakan kekuatannya, maka ia akan mengalami gejolak batin karena telah mengingkari apa yang diajarkan oleh gurunya. Hal inilah yang terjadi kepada Sakera setelah ia dengan penuh hawa nafsu membunuh beberapa orang dalam sebuah pertempuran.
“Dia pun seolah melihat Kyahi Saleh, guru dia pernah mengaji di suraunya di Desa Rembang. Kyahi itu pernah berkata kepadanya: orang yang kuat dan pemberani itu adalah dia yang berhasil menundukkan hawa nafsunya. Untuk apa kita harus berani mati. Yang perlu kita pikirkan iyalah berani hidup sesudah mati. Untuk itu, kita memerlukan bekal persiapan untuk hidup kelak.” (Sakerah, hlm. 87)
Pencak silat dan ilmu kesaktian memang telah temurun diajarkan oleh para kiai. Pada masa itu, pada pendekar dan pemilik kesaktian adalah garda depan perlawanan terhadap pihak kolonial.Sakera menjadi bukti bahwa meskipun pada awalnya ia adalah preman, ia memutuskan untuk melawan Belanda setelah mendapatkan pengajaran kiai. Santri-santri muda di pondok Kiai Mukmin dalam novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe adalah para pesilat tangguh yang menjadi pejuang terdepan dalam kisah pemberontakan terhadap Belanda.
Sepanjang sejarah revolusioner Indonesia, pemberontak dan petani berbondong-bondong datang ke syekh sufi, kiai dan guru pencak silat yang terkenal karena kekuatan mereka untuk mempersiapkan diri dan mengantisipasi pergolakan yang akan datang dalam hal perlawanan kepada Belanda (Wilson, 2002:156). Wilson (2002:156) menegaskan bahwa sekolah-sekolah silat tradisional bersama dengan tarekat yang dipimpin oleh kiai menjadi dasar yang kuat dalam gerakan revivalistik dan milenarian di Jawa.
Selain itu, kiai tidak hanya mengajarkan agama dan silat, tetapi kiai juga sering diminta masyarakat untuk membantu mereka berkaitan dengan alam gaib. Masyarakat mempercayai kiai Jawa sebagai kiai yang memiliki penglihatan batin serta ilmu kesaktian dimana kiai dianggap mampu menyembuhkan orang sakit secara spiritual dan mampu mengusir makhluk halus (Bruinessen, 1994:21). Karena kedalaman ilmunya, kiai dianggap mampu berhubungan dengan dunia supranatural seperti dunia sihir, jin, malaikat dan setan. Seperti yang terlihat dari narasi berikut saat seorang kiai mampu ‘menyembuhkan’ anggota masyarakat yang terkena sihir.
“Fatimah! Fatimah—dan lebih heran lagi ketika Kyai Sjafii datang melihatnya, seketika itu juga ia terdiam seperti kena sihir. Beliau meletakkan kedua tangan beliau ke ubun-ubun kemudian pada perut dan dadanya. Selesai itu, beliau berkenan memanjatkan doa dan semua yang menyaksikan sama khidmat melihatnya. Sejak itu, Amran tak bergerak-gerak lagi. Betapa bangga dan takjub kami melihat kesaktian Kyai itu.” (“Main Gambus” Umi Kalsum, hlm. 32)
c. Melawan Penindasan Kolonial
Karya-karya sastra anggitan Djamil Suherman menggariskan catatan penting tentang peran kiai pada masa kolonial, yaitu bahwa kiai adalah pelopor perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Pandangan ini berangkat dari kenyataan bahwa kedatangan Belanda ke pesantren telah mengganggu kehidupan keagamaan, baik di pesantren sendiri maupun di masyarakat secara umum. Kehadiran Belanda, bagi kiai, pasti akan mengacaukan syiar agama dan dakwah Islam. Hal ini dipertegas pula dengan pandangan kiai akan eksistensi bangsa ini. Kalimat hubbul wathon minal iman, mencintai negara adalah bagian dari iman merupakan landasan keagamaan yang menjadi dasar bagi setiap gerakan perlawanan terhadap Belanda. Bahwa sebagai bangsa, penduduk desa adalah pewaris sah bumi dan alam yang mereka hidupi dan tinggali.
“[…] Demikianlah saudara-saudara, pesantren dan desa kita terancam bahaya dan kita tak mungkin mengelakkannya. Dengan ancaman itu maka perasaan agama kita tersinggung. Juga perasaan kebangsaan, sebagai bangsa yang berhak mewarisi bumi ini.”
Kebulatan tekad untuk melawan Belanda tidak hanya berdasarkan landasan keagamaan semata, tetapi juga didukung oleh semangat historis bahwa para kiai beserta keturunannya adalah bagian terdepan yang tidak menyetujui akan penindasan yang dilakukan oleh Belanda. Dalam kumcer Umi Kalsum diceritakan bahwa pemimpin pesantren Gedangan, Kiai Sjafi’i, telah ikut berperang melawan Belanda bahkan saat masih kanak-kanak karena ikut ayahnya, Kiai Ahmad. Kiai satu ini menurut penduduk desa adalah pahlawan dan pemimpin peperangan Gedangan.
Kepeloporan kiai dalam melawan Belanda nampak di novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe. Pada mulanya, Belanda datang dengan keinginan untuk merampas tanah penduduk dan tanah pesantren demi membangun rel kereta api yang menghubungkan Surabaya-Malang. Penduduk desa yang tahu bahwa tanahnya akan dirampas tidak bisa berbuat apa-apa dan menyerahkan tanahnya secara terpaksa. Tetapi, hal itu tidak berlaku bagi tanah pesantren yang dikelola oleh kiai. Kiai dengan pendirian teguh menyatakan bahwa dia tidak akan menyerahkan tanah pesantren kepada pihak Belanda. Ia siap dengan segala konsekuensinya.
“Wahid! Katakan kepada Lurah bahwa Kiyahi Mukmin tidak sudi datang ke Balai Desa!”
“Mulai saat ini kita harus bekerja keras. Seandainya kita dipaksa menyingkir dan meninggalkan pesantren ini, demi Allah, kita harus menentangnya” (p. 43)
Di saat-saat aparatus pemerintahan seperti Lurah dan Pamong Desa telah bergabung dengan Belanda demi mengambil keuntungan pribadi, dapat dikatakan bahwa kiai adalah elemen sosial yang paling mampu untuk mempengaruhi masyarakat untuk mengatakan perlawanan. Walhasil, beberapa penduduk yang masih tersisa tanahnya akhirnya bergabung dengan pihak pesantren untuk mempertahankan tanah yang secara sah mereka miliki. Orang-orang yang telah menyerahkan tanahnya pun juga merapat kepada kiai untuk berjuang bersama merebut hak yang seharusnya mereka dapat.
Dalam melawan Belanda, kiai adalah pemain aktif dan pemimpin perang. Masjid difungsikan sebagai tempat musyawarah warga untuk mengatur strategi. Masjid serta rumah kiai dijadikan tempat berteduh sementara bagi para penduduk yang telah terusir dari rumahnya. Kekayaan kiai dipergunakan untuk memberi makan para penduduk dan mempersiapkan logistik peperangan.
Menyikapi Belanda yang terus merangsek ke rumah-rumah penduduk, Kiai menggelar musyawarah akbar dan ia langsung memimpin rapat. Ratusan santri kiai sendiri, santri dari pesantren lain dan penduduk telah berkumpul di masjid. Ada yang dari pesantren Dosermo, dariNgelom, dari Ngembul, dari Waru, dari Sidoarjo dan lain-lain telah menjadi satu untuk menegakkan kalimat ilahi. Dengan gaya persuasif, kiai menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan yang ia yakini kepada penduduk. Kiai Mukmin berkata dengan pelan namun pasti:
“Anak-anakku, seperti apa yang dikatakan oleh Ismail tadi, tak lama lagi kita akan kehilangan segala-galanya. Bukan saja harta benda, tetapi juga harga diri dan kehormatan sebagai bangsa yang merdeka di tanah air sendiri. Belanda dengan kekuasaannya akan merampas wilayah kita ini […] Kami ingin mendengar pendapat kalian […] Kalian yang hidup di pesantren ini, yang mencari dan mengamalkan perintah Allah, yang selalu mengorbankan apa yang kalian miliki demi tegaknya syi’ar agama kita, bertanggungjawab atas keselamatannya, bertanggung jawab atas keutuhannya. Masjid, pondok, rumah dan tanah ini adalah kepunyaan kalian […]” (Pejuang-Pejuang Kali Pepe, hlm. 54)
Demi mendengar ucapan kiai, masyarakat pun menyatakan dengan bulat bahwa mereka akan mempertahankan tanah mereka, akan tetap tinggal di tanah mereka dan siap berperang melawan Belanda. Mereka pun berbaiat dan bersumpah atas nama Tuhan untuk berjihad di jalan Allah.
“Demi Allah, mulai malam ini kita nyatakan perang kepada kompeni!”
“Perang!”
“Sabil!”
“Jihad!”
(Pejuang-Pejuang Kali Pepe, hlm. 106)
Dalam menanamkan benih-benih perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda, Kiai tidak hanya bermodalkan ucapan belaka, namun ia juga adalah seorang pemberi contoh dalam tindakan pula. Ia mengerahkan segala hal yang ia miliki demi kemaslahatan pesantren dan masyarakat. Rumahnya menjadi markas besar untuk tempat singgah para pejuang dan sebagai tempat para perempuan untuk memasak dan memasok bahan logistik peperangan. Sebagai pemimpin perang, kiai berada di barisan terdepan dalam menghadapi musuh.
“Kiyahi Mukmin dengan payah tampil kembali di jenjang masjid. Kobaran api memburunya. Semua mata melihatnya. Dilemparkannya pedangnya ke arah Ahmad lalu ia menghunus kerisnya. Ia turun dan menyerbu ke tengah pertarungan. Kembali mayat bergelimpangan. Satu persatu serdadu kompeni rebah oleh keris Kiyahi.” (hlm. 113)
Novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe dengan tokoh Kiai Mukmin adalah kisah sejarah yang diceritakan ulang oleh Djamil Suherman dengan narasi imajinatif. Kiai Hasan Mukmin adalah pemimpin gerakan perlawanan petani di Gedangan Sidoarjo pada tahun 1904(Fernando, 1995:242-262).Gerakan agama berbasis masyarakat tani ini bermula dari masalah pertanian dimana Belanda menerapkan penanaman paksa palawija (jagung dan ubi kayu) dan Belanda menentukan secara sepihak harga sewa tanah sawah untuk ditanami tebu(Umroh, 2017:92-93).Narasi-narasi Djamil Suherman menegaskan gambaran tentang perlawanan semangat zaman dari para kiai, yaitu perlawanan terhadap penindasan kolonial Belanda.
Secara historis, perlawanan yang dipelopori Kiai adalah gerakan yang sangat menyulitkan pihak Belanda. Pemberontakan tidak hanya terjadi di daerah Sidoarjo saja, pada masa sebelumnnya, masyarakat di Cilegondi bawah pimpinan Kiai Wasyid pada tahun 1888 melakukan perlawanan terhadap kaum penjajah. Salah satu peristiwa pemberontakan yang serius ini dipicu karena pejabat kolonial yang melarang umat Islam beribadah di masjid, selain juga pajak-pajak yang semakin tinggi (Kartodirjo, 2015:474-477). Secara umum, pada masa kolonial Belanda, kehormatan yang tinggi dari masyarakat memudahkan kiai untuk membangkitkan gerakan pemberontakan. Kerjasama antara kiai dengan para pemimpin rakyat dalam melawan Belanda akan sangat membahayakan pihak kolonial (Dhofier, 2011:19). Raffles dalam The History of Java mencatat bahwa kiai sangat aktif dalam berbagai pemberontakan (Ricklefs, 2008:3).
KESIMPULAN
Pembacaan terhadap karya-karya Djamil Suherman seperti kumcer Umi Kalsum, novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe dan novel Sakerah menunjukkan akan peran-peran sosial yang diemban oleh kiai pada masa kolonial. Maka, berdasarkan pembahasan di atas, penelitian ini menarik dua kesimpulan seperti yang termaktub sebagai berikut.
Pertama, peran pertama dan utama kiai adalah mengajarkan agama dan membimbing umat. Peran ini kiai jalankan dengan mengajarkan santri-santri tentang agama di pesantren. Kelak, santri-santri ini akan kembali ke kampung halaman dan diharapkan dapat berkontribusi terhadap masyarakat. Kiai juga berkunjung dari satu tempat ke tempat lain untuk menebarkan pemahaman tentang agama dan berbuat baik kepada sesama dengan menggelar pengajian-pengajian umum.
Selain mengajarkan agama, kiai juga turut melatih para pendekar-pendekar silat yang nantinya kekuatan mereka sangat berguna demi melawan penjajahan. Kiai juga memperkuat moral para pendekar ini dengan nasihat dan laku tirakat. Selain itu, kiai juga dianggap mampu berhubungan dengan dunia supranatural sehingga orang-orang yang merasa ‘sakit’ karena diganggu oleh setan atau jin akan meminta kiai untuk mengobati dan menyembuhkannya.
Kedua, sebagai bagian dari semangat zaman, kiai juga berperan dalam melawan penindasan kolonialBelanda. Hal ini membuktikan bahwa kiai menjadi pelopor perlawanan, inisiator gerakan dan pemimpin peperangan. Kiai adalah ujung tombak perlawanan dalam mengorganisasi masyarakat, menanamkan benih-benih perlawanan, memimpin rapat-rapat penyusunan strategi, menyediakan logistik perang hingga berdiri paling depan demi membunuh tentara Belanda.
Narasi-narasi Djamil Suherman dalam karya-karyanya menunjukkan kontekstualisasi dan ijtihad pemahaman keagamaan yang dilakukan oleh kiai pada masa kolonial demi mewujudkan kehidupan keagamaan dan sosial yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Atisah, & Mujiningsih, E. N. (1996). Latar Pesantren dalam Karya-Karya Djamil Suherman (Studi Kasus Kumpulan Cerpen Umi Kalsum). Pangsura, Bil.2(Jilid 2).
Borgatta, E. F., & Marie L. (1992). Encyclopedia of Sociology Volume 3. New York: Macmillan Publishing Co.
Bruinessen, M. van. (1994). Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS.
Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren: studi pandangan hidup kyai dan visinya mengenai masa depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Farih, A. (2016). Nahdlatul Ulama dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24(No. 2), 251–284.
Fernando, M. . (1995). The Trumpet Shall Sound for Rich Peasants: Kasan Mukmin’s Uprising in Gedangan, East Java, 1904. Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 26(No. 2), 242–262.
Geertz, C. (1960). The Javanese Kyai: The Changing Role of a Cultural Broker. Comparative Studies in Society and History, 2.
Horikoshi, H. (1987). Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.
Kartodirjo, S. (2015). Pemberontakan Petani Banten. Depok: Komunitas Bambu.
Moesa, A. M. (2007). Nasionalisme Kiai: Kontruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LkiS.
Moleong, L. J. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ricklefs, M. . (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Rosyid H.W., M. (2019). Subkultur Pesantren dalam Karya-Karya Djamil Suherman (Telaah Antropologi Sastra). Suar Betang, Vol. 14(No.2), 211–221.
Suherman, D. (1984a). Pejuang-Pejuang Kali Pepe. Bandung: Penerbit Pustaka.
Suherman, D. (1984b). Umi Kalsum; Kisah-Kisah Pesantren. Bandung: Penerbit Mizan.
Suherman, D. (1985). Sakerah. Bandung: Penerbit Pustaka.
Swingewood, A., & Laurenson, D. (1972). The Sociology of Literature. Paladin.
Turmudi, E. (2006). Struggling for the Umma : Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java. Struggling for the Umma : Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java. https://doi.org/10.26530/oapen_459752
Turmudzi, E. (2006). Struggling for the Umma; Changing Roles of Kiai in Jombang East Java. Camberra: Australian National University E-Press.
Umroh, U. A. (2017). Kyai Hasan Mukmin: Studi tentang perannya memimpin perlawanan petani pada pemerintah Kolonial Belanda di Gedangan 1904. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Wahyudi, T. (2013). Sosiologi Sastra Alan Swingewood; Sebuah Teori. Jurnal Poetika, Vol. 1(No. 1), 55–61.
Wilson, I. D. (2002). The Politics of Inner Power: The Practice of Pencak Silat in West Java. Western Australia: School of Asian Studies Murdoch University.
Yulianto, A. (2007). Novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe Karya Djamil Suherman: Suatu Tinjauan Sosiologis. In Bunga Rampai Penelitian Sastra. Banjar Baru: Balai Bahasa Banjarmasin Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Komentar
Posting Komentar