Sastra dan Tradisi Pesantren; Membaca Djamil Suherman

*Artikel ini pernah terbit di jurnal Suar Betang Vol. 14, No. 2, Desember 2019

http://suarbetang.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/BETANG/article/view/140 


Pondok pesantren merupakan mutiara islam nusantara bagi Indonesia. Lembaga pendidikan islam ini telah mengakar kuat dan tersebar di pelbagai wilayah negeri ini. Membicarakan pendidikan bangsa ini, pesantren adalah salah satu lokomotif utamanya, jauh sebelum sekolah diintrodusir Belanda melalui kolonialisme.

Pondok pesantren bagi Ki Hadjar Dewantara, dalam Polemik Kebudayaan pada dekade 1930an, adalah sebagai pusat pembangunan budi pekerti. Sementara Soetomo berpikir bahwa pesantren memberikan pengajaran lahir dan batin bagi murid-muridnya. Ia juga berpendapat bahwa pesantren berperan dalam menanamkan cinta tanah air dan spirit kebangsaan. Ini membuktikan bahwa para pemikir awal bangsa ini tidak menafikan peran dan kontribusi pesantren terhadap kemajuan peradaban Indonesia.

Kini, berdasarkan data pondok pesantren tahun 2018 yang dikelola Kementrian Agama, terdapat 25.938 pesantren dengan jumlah santri 3.962.700 di seluruh Indonesia. Jumlah itu hanyalah data yang tercatat secara resmi, masih banyak lagi pesantren-pesantren ‘kecil’ dan terkadang tidak memiliki kelengkapan versi pemerintah yang belum masuk dalam pangkalan data tersebut. Pesantren telah dan akan terus menggerakkan roda pendidikan dan tranmisi pengetahuan .

Adalah Abdurrahman Wahid, seorang putra pesantren, yang mula-mula mencatat tentang pesantren sebagai subkultur dalam sebuah esai panjangnya. Kategori sub-kebudayaan ini berdasarkan tiga aspek; cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti serta hierarki kekuasaan intern tersendiri. Ketiga aspek di atas di kalangan pesantren memiliki kekhasan tersendiri yang unik dan berbeda dengan lingkup dan komunitas sosial masyarakat yang lain. Gus Dur juga menyakini bahwa identitas subkultur pesantren akan terus diuji seturut perubahan kultural di masyarakat. Ada semat harapan Gus Dur bahwa tata nilai pesantren tetap bertahan dan tidak hilang di tengah arus zaman.

Tata nilai dan subkultur pesantren pada setiap zaman telah lama ‘dibaca’ dan dicatat oleh para intelektual dan akademisi. Catatan kalangan pesantren sendiri tergambarkan dalam esai-esai Abdurrahman Wahid dan tulisan semi-biografis Saifudin Zuhri dalam Guruku Orang-Orang Pesantren dan  lain-lainnya. Ilmuwan sosial juga tak luput menuliskannya, seperti dalam antropologi; Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai (Zamakhsyari Dlofier), Sosiologi;  Kyai dan Perubahan Sosial (Hiroko Horikoshi), Politik; Ijtihad Politik Ulama’ (Greg Fealy) dan masih banyak lagi. Pesantren dengan segenap perubahan dan sepak terjangnya di setiap periode memang sangatlah menarik untuk dicatat.

Salah satu bidang keilmuan yang juga mencatat kultur pesantren dan (biasanya) jarang diperbincangkan adalah sastra. Padahal karya sastra memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh bidang lainnya yaitu mencatat detail-detail peristiwa kebudayaan melalui narasi, deskripsi dan refleksi beserta gejolak dan getar psikologis yang dirasakan oleh manusia. Berbeda dengan teks-teks lainnya, sastra juga mampu merekam nilai-nilai budaya sebagai dokumen sosial yang hidup melalui simbol dan tanda.

Adalah Djamil Suherman sebagai salah satu pengarang yang menuliskan kultur pesantren dalam karya sastra. Melalui novel-novelnya seperti Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984), Sarip Tambak Oso (1985), dan terutama kumpulan cerpennya Umi Kalsum (1984), Djamil bercerita tentang subkultur pesantren pada zaman kolonial, mulai dari peran kiai, pola pendidikan santri, kegiatan keagamaan di pesantren hingga kisah perlawanan pesantren terhadap kolonialisme Belanda.

Antropologi Sastra dan Tradisi Pesantren

Antropologi sastra adalah upaya untuk mendedah sikap dan perilaku manusia di dalam teks-teks sastra pada sebuah kurun waktu. Sikap manusia sering didasarkan pada struktur nilai tertentu yang akhirnya membentuk budaya sebuah komunitas sosial. Karena ‘hasil’ kebudayaan manusia seperti tata nilai, habitus adat, alat dan teknologi kehidupan hingga gugusan pengetahuan juga tertulis dalam karya-karya sastra.

Antropologi sastra, dalam amatan Nyoman Kuta Ratna, memiliki tugas penting yaitu untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan yang hidup masyarakat tertentu; dalam tulisan ini adalah tentang masyarakat pesantren pada zaman kolonial Belanda melalui karya sastra seorang Djamil Suherman.

Sebagai titik pijak dan memudahkan pembacaan, tulisan ini berangkat dari riset antropologi sosial Zamakhsyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai. Ia menyatakan bahwa secara umum pesantren memiliki lima elemen pokok; pondok, masjid, pengajaran kitab islam klasik, kiai dan santri.

Pertama, pondok/asrama: yang menjadi tempat tinggal dan mukim santri, biasanya terletak di dalam komplek pesantren dimana kiai tinggal dan terdapat sebuah masjid. Kedekatan dengan rumah kiai dimaksudkan agar kehidupan santri dapat diamati oleh kiainya.

“Di belakang surau itu terletak rumah ahli Kyai Sjafii dan di sampingnya berderet panjang bangunan berpetak-petak, pondok santri-santri yang datang dari jauh, yang ingin mengangsu ilmu bertahun-tahun di pondok itu.” (Umi Kalsum, hal. 9)

“Tak jauh dari masjid arah belakang, berdiri beberapa petak bangunan yang merupakan pondokan beratus-ratus santri.” (Perjuang-Pejuang Kali Pepe, hal. 8)

Kedua, masjid; adalah sentral kegiatan di pesantren yang tidak hanya untuk tempat beribadah salat tetapi juga tempat belajar kitab kuning, dan kegaiatan keagamaan lainnya seperti Marhabanan dan Kasidahan. Bahkan, masjid dipakai sebagai tempat bermusyawarah dan menentukan strategi dalam menghadapi Belanda.

Malam itu seluruh santri berkumpul dalam masjid. Juga sebagian rakyat yang masih bertahan ikut hadir. Ruangan masjid Syuhada itu penuh sesak. Barangkali tak seorang pun ketinggalan. Musyawarah besar akan dilangsungkan…Diungkapkannya segala masalah kehidupan pesantren, sejarah dan latar belakang Gubernemen yang hendak mencaplok hak anak pribumi. (Pejuang-Pejuang Kali Pepe, hal. 51-52)

Ketiga, pengajaran kitab islam klasik (kitab kuning) merupakan pembelajaran khas di pesantren yang mencakup banyak aspek ilmu agama seperti gramatika arab, tauhid, fiqih, hadits, ulumul qur’an, tasawuf, akhlak dan sebagainya.

Pengajaran kitab di pesantren terkenal dengan penggunaan pegon; sistem penulisan yang menggunakan aksara Arab (huruf hijaiyah) yang dimodifikisi. Aksara pegon adalah penyangga tradisi literasi di pesantren. Ia dipakai untuk mengajarkan dan memahami khazanah kitab klasik di pesantren. Kitab-kitab klasik, Djamil mencontohkan, adalah seperti  Mamba’ul Ulum, Ihya Ulumuddin, Arkanul Islam, Safinah, Sullam atau Munjiyyat. Djamil Suherman dalam Umi Kalsum mengibaratkan tulisan pegon sebagai jenggot karena ditulis berentetan di bawah teks kitab asli.

Abdullah meneruskan pengajiannya dengan sebuah kitab jenggot, salah satu kitab fiqh tingkat rendah berbahasa Arab, yang bawahnya direnteti tulisan pego bahasa Jawa. Nglewer kecil-kecil seperti jenggot.” (Umi Kalsum, hal. 53)

Walaupun menggunakan aksara arab, pegon lazimnya dituliskan dengan bahasa-bahasa lokal seperti Jawa, Madura ataupun Sunda. Djamil mencatat dalam kumcer Umi Kalsum.

“…di rumahnya Abdullah kecil membaca:

            Alhamdu, utawi skehe puji, iku

            Lillahi, keduwe Allah

            Rabil ‘alamina, kang mengerani wong alam kabeh.” (Umi Kalsum, hal. 54)

Walhasil, pengajaran kitab ini membentuk cara pandang dan sistem pengetahuan tertentu di pondok pesantren. Djamil  menulis “di kampung dan pesantren Gedangan jejaka atau gadis yang pintar mengaji dinilai lebih tinggi” (Umi Kalsum, hal. 25)

Keempat, kiai; merupakan pimpinan pesantren yang ahli agama islam dan mengajar kitab-kitab islam klasik. Kiai tinggal di komplek pesantren dan biasanya terletak di samping masjid. Dalam citra Djamil Suherman, kiai adalah sosok manusia yang memiliki banyak peran sosial. Kiai digambarkan sebagai sosok yang mengajar santrinya, memimpin salat berjamaah di masjid, memimpin berdoa dalam kegiatan kemasyarakatan, bahkan pemimpin perang melawan Belanda disamping secara individu adalah orang yang gemar beribadah.

“beliau suka sekali berpuasa dan siang malam melakukan sembahyang sunat” (Umi Kalsum, hal. 25)

Selain itu, Kiai di cerita-cerita Djamil Suherman selalu mewarisi darah perlawanan yang kental terhadap segala penindasan penjajahan. Mereka adalah para panglima perang. Karena itu mereka memiliki kemampuan sebagai pendekar dan pengajar silat.  

“beliau (Kiai Sjafi’i) juga punya kesaktian...memang diwarisi turun temurun dari leluhur beliau…bahwa semasa kanak-kanak beliau pernah ikut perang sabil melawan Belanda di samping ayahnya di desa Gedangan… Kyai Ahmadlah salah seorang pahlawan dan pemimpin dalam peperangan Gedangan dulu.” (Umi Kalsum, hal. 25)

Kiai juga diidentikan dengan hal-hal gaib dan sebagai sosok yang diandalkan jika terjadi permasalahan berkaitan dengan dunia yang tak terlihat.

“Fatimah! Fatimah—dan lebih heran lagi ketika Kyai Sjafii datang melihatnya, seketika itu juga ia terdiam seperti kena sihir. Beliau meletakkan kedua tangan beliau ke ubun-ubun kemudian pada perut dan dadanya. Selesai itu, beliau berkenan memanjatkan doa dan semua yang menyaksikan sama khidmat melihatnya. Sejak itu, Amran tak bergerak-gerak lagi. Betapa bangga dan takjub kami melihat kesaktian Kyai itu.” (Umi Kulsum, hal. 32)

Kelima  santri: yaitu sebutan untuk murid yang belajar di pesantren.Para santri biasanya datang dari kota-kota yang jauh namun adapula yang berasal dari desa setempat. Mereka datang ke pesantren untuk  belajar agama dan, pada zaman dahulu, mereka belajar selama bertahun-tahun untuk menekuni kitab-kitab.

“Mereka adalah manusia-manusia muda yang datang dengan satu tujuan, yaitu menimba ilmu akhirat dan mengamalkannya kelak bila mereka lulus dan kembali ke kampung masing-masing.” (Pejuang-Pejuang Kali Pepe, hal. 8)

Selain belajar agama dan akhlak, santri juga belajar tentang hidup dan kemandirian. Maka, sejak usia muda santri harus dapat berdiri sendiri dalam segala hal. Djamil menyebut kemandirian santri dalam hal memasak, mencuci, setrika baju dan menimba air.  Di sisi lain, mereka juga belajar tentang ketrampilan-ketrampilan hidup lainnya.

Mereka selain dididik sebagai orang-orang takwa dan taat beribadah dengan menimba ilmu agama sebanyak-banyaknya, juga mereka diajar ketrampilan. Mereka mendapat pelajaran praktek bertukang, bertani, kerajinan tangan serta keterampilan-keterampilan lainnya. “(Pejuang-Pejuang Kali Pepe, hal. 32)

Pesantren juga menjadi tempat persemaian kecintaan terhadap tanah air. Kalimat hubbul wathon minal iman berdegup di dada para santri. Saat Belanda menjajah bangsa ini, santri adalah salah satu laskar yang bertempur melawannya karena mereka meyakini bahwa agama dan kebangsaan dalam satu tarikan nafas yang sama. Seperti yang dikatakan Ismail, tokoh santri dalam novel Djami Suherman:

“…Demikianlah saudara-saudara, pesantren dan desa kita terancam bahaya dan kita tak mungkin mengelakkannya. Dengan ancaman itu maka perasaan agama kita tersinggung. Juga perasaan kebangsaan, sebagai bangsa yang berhak mewarisi bumi ini.” (Pejuang-Pejuang Kali Pepe, hal. 52)

Kritik dan Apresiasi

Karya-karya Djamil Suherman yang menggambarkan kisah-kisah pesantren telah banyak menuai pujian, kritik dan apresiasi. Baik dari orang pesantren sendiri ataupun dari para kritikus sastra. H.B. Jassin memuji kumcer Umi Kalsum sebagai kisah yang menarik karena menceritakan lingkungan pesantren yang ‘sedikit sekali mendapat perhatian dari para pengarang’. Namun, ia juga menyayangkan bahwa situasi langgar dan pesantren dilukis ‘agak statis karena bersifat deskriptif’ belaka.

Senada dengan Jassin, Gus Dur dalam esainya “Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia” menulis bahwa Djamil telah menggarap pesantren sebagai objek sastra namun ‘belum berhasil mengungkapkan hidup kejiwaan pesantren’. Gus Dur juga menyitir bahwa Djamil hanya bernostalgia dengan masa kecilnya di pesantren.

Kritik juga datang dari Ajip Rosidi bahwa dalam buku Umi Kalsum, agama baru merupakan latar belakang saja dan belum menjadi masalah sastra. Begitupula Goenawan Muhammad, yang menganggap kehidupan beragama hanya menjadi latar dan bukan pemecah persoalan. Namun, Ajip dan Goenawan juga mengapresiasi bahwa karya Djamil selanjutnya, Perjalanan ke Akhirat, permasalahan mulai disinggung dan menjadi pemecah persoalan.

Kritik dan apresiasi terhadap kepengarangan Djamil Suherman setidaknya dapat dirangkum dalam tiga hal. Pertama, Djamil, melalui Umi Kulsum, dianggap sebagai pelopor penulisan sastra bernuansa agama dan pesantren yang belum pernah ditulis sebelumnya. Kedua, Umi Kulsum, buku pertama Djamil, banyak menuai kritik karena hanya menempatkan agama dan pesantren sebagai latar belakang saja dalam penceritaan yang deskriptif dan monoton. Ketiga, pujian kembali datang mengenai novel Perjalanan ke Akhirat yang membawa agama sudah merasuk dalam lingkup sosial kemasyarakatan.

Sayangnya, tidak banyak tulisan yang mengulas karya Djamil Suherman setelah Umi Kulsum dan Perjalanan ke Akhirat. Padahal, novel seperti Sakerah, Pejuang-Pejuang Kali Pepe, Sarip Tambak Oso bergerak lebih jauh dengan kompleksitas permasalahan yang lebih beragam. Ia merekam pendekar-pendekar pesantren, gerak pesantren  terhadap kolonialisme, pejabat desa sebagai antek Belanda serta jejak sosiologis perjuangan para kiai dan santri. Seperti apresiasi yang dilayangkan oleh Jalaluddin Rakhmat, “Pejuang-pejuang Kali Pepe, bagiku bukan saja roman perjuangan tetapi juga sebuah catatan antropolog sosial yang manis. Pola-pola tingkah laku santri, nilai-nilai, norma, dan kepercayaan di dunia pesantren serta hubungan santri dengan kiai dan keluarganya dilukiskan seperti sebuah catatan sejarah.”

Nama Djamil Suherman dalam kancah sastra Indonesia sangat menarik ditinjau dari  kaitan sastra dan tradisi pesantren pada era sekarang ini setidaknya dari dua alasan.

Pertama, sebagai catatan kebudayaan tentang gambaran tradisi pesantren di zaman kolonial. Mengingat geliat perubahan pesantren yang berjalan terus menerus serta upaya modernisasi dan internasionalisasi pesantren dalam merespon  perubahan masyarakat akibat revolusi teknologi, maka menelisik kembali sejarah dan budaya pesantren pada masa lampau adalah sebuah kebutuhan untuk menjaga tata nilai pesantren tetap pada relnya.

Perubahan adalah keniscayaan dan pesantren secara historis memiliki sikap adaptif yang luar biasa terhadap perubahan itu yang dibuktikan dengan keberadaannya hingga kini. Bahkan, pesantren mengalami perkembangan dan kemajuan yang luar biasa. Maka, Djamil Suherman dan karya sastranya adalah salah satu pintu untuk menengok kembali subkultur pesantren melalui jalur sastra. Seperti harapan Gus Dur, bahwa agar pesantren tidak kehilangan tata nilainya meskipun masyarakat berubah.

Kedua, Djamil Suherman pada masanya adalah pembaharu dalam bidang sastra karena menggarap tema pesantren yang belum ditulis oleh sastrawan lainnya. Sebagai awal, wajar jika banyak kritik yang mengarah kepadanya.

Di tengah banyaknya penulis dan pengarang yang berasal dari pesantren, Djamil menjadi titik tolak penting untuk meneropong geliat sastra pesantren di zaman sekarang ini. Apakah ia masih berjalan stagnan dengan garapan tema-tema yang sama dan serupa tanpa menggali kehidupan pesantren lebih dalam lagi? Ataukah ia telah berjalan jauh dan berkembang dari segi estetik, teknik penceritaan, kompleksitas tokoh hingga kritik sosial dalam menceritakan kisah-kisah tentang pesantren. Sastra pesantren, baik bertemakan pesantren dan atau ditulis orang pesantren, menjadi penting karena ia turut berperan dan ikut andil dalam perkembangan sastra indonesia.  

 

Referensi:                                      

Dhofier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2011.

Jalaludin Rakhmat, “Pesantren: Subkultur yang Hampir Punah”, Pejuang-Pejuang Kali Pepe. Bandung: Penerbit Pustaka. 1984.

Mohamad, Goenawan. “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini”, Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. 1982. Hal 137-146 .

Mihardja, Achdiat K. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya, 1986.

Ratna, I Nyoman Kuta. “Antropologi Sastra; Perkenalan Awal”, Metasastra, Vol. 4 No. 2 Desember 2011, hal. 150-159.

Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung: Penerbit Bina Cipta. 1986. 

Suherman, Djamil. Perjalanan ke Akhirat. Bandung: Penerbit Pustaka. 1985.

Suherman, Djamil. Umi Kulsum; Kisah-Kisah Pesantren. Bandung: Mizan. 1984.

Suherman, Djamil. Sakerah. Bandung: Penerbit Pustaka. 1985.

Suherman, Djamil. Sarip Tambak Oso; Kisah-Kisah Seorang Ibu. Bandung: Penerbit Mizan. 1985.

Suherman, Djamil. Pejuang-Pejuang Kali Pepe. Bandung: Penerbit Pustaka. 1984.

Wahid, Abdurrahman. “Pesantren dalam Kesusastraan Indonesia” Kompas pada 26 November 1973.

Wahid, Abdurrahman. “Pesantren sebagai Subkultur”, Pesantren dan Pembaharuan, M. Dawam Rahardjo (ed.), Jakarta: LP3ES, 1974.

Wahid, Abdurrahman. “Pendidikan Tradisional di Pesantren”, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LkiS, 2010.

http://pbsb.ditpdpontren. Kemenag.go.id//pdpp/ diakses pada 12 Juni 2019

 

 


 

 

Komentar

Postingan Populer