Hadiah untuk Dadang

 Cerpen ini telah terbit di koran Banten Raya pada 5 April 2022


 

 

Sinar pagi perlahan menembus jendela usang kamar Joko. Cahaya memberinya sedikit rasa panas yang membangunkannya. Sayup-sayup terdengar suara gaduh di dapur.

“Bapak! Kebun belakang rumah harus dijual!”

“Itu satu-satunya sisa harta kita, Nak.”

“Kalau tidak dijual, siapa yang mau biayai penyakit Bapak!? Buat makan sehari-hari saja kita masih sulit.”

Dadang sedang bertikai dengan Rokhim. Dadang memang bengal dan pemabuk berat. Joko melihat mereka sejenak dengan sorot mata kosong, lalu pergi ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Ia mengabaikan bapaknya dan abangnya, seolah mereka tak pernah ada. Rokhim dan Dadang masih beradu mulut.  

Joko dibesarkan oleh keluarga kecil yang hanya beranggotakan tiga: dia, Rokhim dan Joko. Dulu, ibunya berselingkuh, dan memutuskan untuk berpisah dengan Rokhim saat ia masih berusia dua tahun. Usaha Rokhim bangkrut setahun yang lalu saat Covid mendera. Hari-hari terasa begitu berat bagi Joko. Ditambah lagi, Dadang, abangnya yang pemabuk, hanya menjadi beban bagi keluarga Joko.

          ***

Joko memasuki gerbang SMA dengan besi berkarat dan cat terkelupas. Sebenarnya, ia tak hendak belajar di sekolah terpencil ini. Bahkan, nyaris ia tak dapat bersekolah. Untungnya, Joko mendapatkan program beasiswa yang dapat mengurangi beban Bapaknya. Jika saja usaha Bapaknya tidak gulung tikar, mungkin ia dapat belajar di sekolah yang lebih baik. Covid-19 mengubah hidup semua orang, termasuk Joko. Bel berbunyi, pelajaran pun dimulai.

Sepulang sekolah, Joko tak langsung kembali ke rumah. Dengan motor butut Rokhim, Joko menempuh perjalanan menuju Rumah Makan Padang yang terletak sedikit lebih jauh dari rumahnya. Dia langsung menuju ruang ganti. Dengan baju serta celemek yang menempel di badannya, Joko berjalan menuju dapur yang disambut oleh beberapa rekan kerjanya.

“Joko, baru nyampe?” sapa salah satu seniornya.

“Iya, Mas. Ada yang harus diantar?”.

“Itu diantar ke meja 54 ya!” ucapnya sambil menunjuk gurami asam manis yang telah tersaji di atas meja. Dengan hati-hati, Joko membawanya menuju meja pembeli.

“Terima kasih” ucapnya serak. Joko menganggukkan kepalanya untuk menjawab “sama-sama”.

 

Matahari mulai terbenam dan adzan magrib pun sudah berkumandang. Joko beranjak menuju masjid. Sesudah shalat, dia berdo’a. Memohon kepada Sang Pencipta. Memohon pengampunan-Nya, memohon perlindungan-Nya, serta memohon petunjuk tentang lika-liku hidupnya yang sangat rumit. Hanya berserah kepada-Nya,  Joko merasa kuat untuk menjalani hari-hari yang terasa berat.

Ia berdoa agar Bapaknya kembali sehat, agar usaha Bapaknya dapat mulai bergeliat, agar Dadang tak kembali berbuat bejat dan agar virus Covid segera diangkat.

            Joko kembali ke tempat di mana dia bekerja untuk mengambil slip hariannya. Hari ini, ia merasa sedikit beruntung daripada kemarin. Setidaknya, uang hari ini cukup untuk berobat Bapak besok. Lelaki itu pun meraih tas kumalnya, lalu beranjak meninggalkan rumah makan tersebut. Tak lupa, ia berpamitan kepada rekan kerjanya. Dia menempuh perjalanan menuju rumah tercinta.

          Dua belas tiga puluh, ia baru membuka pintu rumahnya dan langsung menuju kamar Bapaknya. Bapaknya masih terjaga meski tak dapat lagi beranjak dari kasur. Ia meraih tangan berurat Bapaknya untuk mencium punggung tangannya. Sebagai tanda hormat.

“Gimana hari ini, Nak?” tanya Bapak.

“Alhamdulillah, Pak. Hari ini Joko ada uang lebih buat Bapak berobat besok”.

“Iya, Nak. Bapak lupa kalau besok waktunya Bapak kontrol. Ya sudah, uangnya taruh saja di atas meja. Nanti Bapak simpan. Kamu cepat-cepat mandi, terus makan. Tadi Bu Asyrini bawa makanan di meja,” ucap Bapak. Joko meletakkan uang di atas meja, lalu pergi beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Baru saja ia merebahkan diri, ia teringat Dadang yang belum pulang seminggu terakhir. Apa yang sedang Dadang lakukan di sana? Apakah ia telah makan hari ini? Apakah Dadang dapat memaklumi kondisi Bapaknya?

          ***

          Adzan subuh sayup-sayup terdengar oleh telinga Joko. Ia mau tak mau harus membuka matanya. Bagi Joko, panggilan ilahi harus segera dilaksanakan. Joko beranjak dari pulau kapuk lalu mengambil wudhu. Ia mengenakan baju koko putih yang terasa lembut di badannya. Dia menyambar sajadah kumal Bapaknya, lalu pergi menuju mushola yang terletak dekat dengan rumahnya. Dia lalu berserah diri pada-Nya.

          Sepulang dari masjid, Joko terkejut melihat pintu rumahnya terbuka. Ia meluncur menuju kamar Bapak. Bapak terbaring bersimbah darah di lantai. Dadang tengah menggenggam sebilah pisau di tangan kanannya. Terdapat lumuran darah segar pada pucuk belati.

“Bapak!!!” teriak Joko histeris sambil menghampiri Bapak yang bersimbah darah.

“Balasan bagi siapa pun yang berani melawanku,” tegas Dadang.

“Kau harusnya membujuk Bapak untuk segera menjual tanah belakang. Hasilnya dibagi dua. Untuk biaya hidup sehari-hari. Jangan-jangan kau ingin mengambil tanah warisan itu untuk diri kamu sendiri,” Dadang mencerocos tak karuan. Tercium aroma pekat arak dari mulutnya.

“Joko tak pernah berpikir seperti itu, Bang. Toh, aku bekerja juga demi kesembuhan Bapak dan makan kita sehari-hari. Abang saja yang tak pernah pulang!” sanggah Joko.

“Alah kamu, mentang mentang bisa cari duit, seenaknya sendiri. Bapak itu tak perlu berobat, sudah tua dan lama-lama juga mati.”

Joko tak dapat menahan lagi amarahnya. “Aaaah....” teriak Joko sambil menghampiri Dadang dan mencoba untuk memukul Dadang. Keduanya bergumul di atas lantai dengan saling pukul. Namun, Dadang yang berniat untuk melindungi diri malah tak sengaja dan tiba-tiba menancapkan pisau yang masih dipegangnya. Tepat pada dada bidang Joko. Joko roboh, tak berdaya. Bersimbah darah.

          Dadang kalap. Ia berlari menuju kamar ke kamar. Mengobrak-abrik lemari. Ia harus lari sejauh mungkin, namun ia juga harus membawa bekal sebanyak-banyaknya, pikirnya. Pasti Joko masih menyimpan beberapa lembar uang. 

Saat tengah menyusuri rak-rak lemari milik adiknya, dia menemukan buku. Terselip beberapa uang merah di dalamnya. Dengan senyum sumringah, Dadang membuka buku tersebut guna mengambil uang di dalamnya. Tanpa sengaja, dia pun melihat tulisan yang entah kapan ditulis oleh adiknya. Badannya bergetar membaca surat itu. Buku itu adalah buku harian Joko.

17 Juli

“Hari ini capek sekali. Sepulang kerja harus mengantar Bapak ke rumah sakit. Semalam, Bapak drop dan pingsan begitu saja. Pas mau bayar biaya admin, ternyata uangnya dipakai Abang untuk minum-minum entah di mana. Mau tak mau, aku harus cari pinjaman uang ke tetangga sebelah. Ya Allah, kuatkan aku. Sembuhkan Bapak, Ya Allah.”

Dadang pun melewati beberapa halaman, sampai akhirnya dia menemukan halaman yang membuatnya tertegun.

4 September

“Hari ini, Abang ulang tahun. Aku akan memberinya kejutan. Sudah kusiapkan uang jauh-jauh hari untuk kado Abang. Sepulang kerja, aku mampir di toko jam tangan di tengah kota. Aku beli jam tangan buat Abang. Sesampainya di rumah, Abang belum pulang. Sudah hampir seminggu, Abang tak pulang. Jadi jam itu kusimpan di dalam lemari Bapak. Maaf ya, Bang, belum bisa jadi adik yang baik buat Abang.”

Dadang lalu berlari dengan gegas menuju kamar Bapak. Dengan cepat, ia mengobrak-abrik isi lemari Bapak. Dia menemukan sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna hitam polos. Dengan tangan gemetar, Dadang pun membukanya. Di dalamnya, terdapat jam tangan berwarna emas dengan warna hitam pada bagian frame-nya. Tapi, bukan itu saja yang Dadang dapati, ada secarik kertas putih terlipat di samping kotak.

“Selamat ulang tahun, Bang. Panjang umur ya! Dadang benar-benar minta maaf kalau selama ini Dadang belum bisa turutin apa yang Abang mau. Dadang minta maaf, Bang, belum bisa jadi adik yang baik buat Abang. Tapi ingat ya bang, Dadang selalu ada untuk Abang.”

Mata Dadang memanas. Perlahan-lahan, tetes demi tetes tangis membanjiri wajahnya. Dadang merasa sangat terpukul. Terpukul sekali. Dia sudah terlambat menyadari kehadiran Joko. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Mayat Rokhim dan Joko terbujur kaku di kamar rumah.

Dadang berlari sekencang-kencangnya. 

                                                Habib F. Maskur

                                                Siswa SMP Progresif Bumi Sholawat

Sidoarjo, Jawa Timur


 

 





 


                                               

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer