Puasa, Puisi dan Religiositas

 

 

 


*Artikel ini pernah dimuat di rubrik Perada, Tanjungpinang Pos pada Sabtu, 16 April 2022

Ibadah puasa di bulan Ramadan adalah salah satu ibadah wajib bagi setiap muslim. Puasa dapat menjadi pengalaman keagamaan yang menarik bagi para pelakunya karena mereka diharuskan menahan nafsu seperti makan dan minum dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Gejolak batin dan emosi hati seperti ketentraman, kebahagiaan, perjuangan, pemberontakan, amarah hingga kesedihan turut mewarnai perilaku puasa manusia. Pengalaman dan perasaan keagamaan tersebut salah satunya tercatat melalui bait-bait puisi. Maka, membaca catatan hal-ihwal puasa, terutama melalui puisi adalah upaya membaca pengalaman keagamaan dari batin dan emosi dalam laku puasa.

Puisi-puisi tentang puasa dapat dimaknai sebagai bentuk kristalisasi pengalaman penyair yang didukung oleh penghayatan keagamaan dan pemaknaan emosional terhadap ritus puasa. Apalagi, ketika puisi tersebut dikarang oleh kiai, ulama dan guru. Puisi kiai-kiai tentang puasa dapat menjadi cermin untuk merenung dan memaknai puasa lebih dalam hingga ke akar-akar hakikatnya. 

Puasa dapat menjadi momen reflektif untuk melihat kembali, mempertanyakan ulang dan menggugat lagi tentang hakikat makan. Melalui puisi tentang puasa, urusan makan dapat dimaknai dan direnungkan ulang. Sebagai aktivitas sehari-hari yang rutin, mungkin kita luput untuk bertanya kembali tentang untuk apa kita makan. Makan untuk hidup atau hidup untuk makan. Anekdot menohok nan satir diajukan oleh Emha Ainun Nadjib tentang hal-ihwal makan dan minum ini dalam buku puisinya Sesobek Buku Harian Indonesia (1993).

Selalu jiwa saya bertanya kenapa tiap hari/orang mesti makan dan minum/Saya bilang itu merupakan syarat agar mereka/bisa berak dan kencing/Kalau yang orang maui, kata jiwa saya, hanya/buang air baik besar maupun kecil/Kenapa makanan dan minuman dibikin bermacam-macam/bertingkat-tingkat serta berhias-hias/Saya bilang karena mereka tak bisa tentukan/kualitas berak, hiasan tinja atau bau harum kencing/Kalau begitu, kata jiwa saya lagi, segera/mendekatlah padaku, agar tak telalu/lama engkau dikungkung oleh tujuan hidup/ berak dan kencing.

Sajak “Makan dan Minum 1” di atas mengisyaratkan hidup yang hanya bertujuan untuk makan dan minum sama halnya dengan hidup hanya demi berak dan kencing. Sebuah tujuan hidup yang sia-sia dan tidak bermanfaat.

Tuhan menciptakan aneka makanan yang beragam untuk menguji hasrat manusia yang tak pernah puas dan kenyang. Puisi Emha “Makan dan Minum 6” menggambarkan jika seseorang telah mendapatkan satu keinginan, ia akan memiliki keinginan lainnya. Ketika telur rebus sudah didapat, ayam bakar akan diharap. Saat sate kelinci sudah tertambat, gulai kambing ingin dilahap. Keinginan tanpa batas manusia dapat menjadi tak terkendali sehingga mengikis rasa kemanusiaan terhadap sesama seperti mencuri, membegal, menggarong, menggusur, menggeser dan menyingkirkan manusia lainnya. Karena itu, semakin manusia melambungkan hasrat inginnya, semakin tenggelam ia ke dalam jurang kelaparan tak bertepi. Maka, rasa lapar adalah rem kendali ampuh yang mengurangi gejolak nafsu yang terus menari-nari menggoda.  

Sajak-sajak tentang puasa menggali rasa terdalam akan hakikat lapar. Rasa lapar tidaklah hanya tentang mulut yang berhenti mengunyah, perut yang kosong melompong dan jerit ngilu lambung yang merintih. Namun, lapar selama berpuasa adalah sarana pengekangan hasrat kedirian. Penyair dari Madura, Zawawi Imron, mengibaratkan lapar sebagai samudra kearifan yang sedang menundukkan badai topan kenafsuan. Lihat puisinya yang berjudul “Lapar” berikut:

Kunobatkan lapar/jadi topan/yang bersujud di samudra/maka kenyang/bagai bayangan//jika merenung di hati bintang/lapar bergetar di lidah belati/kutusuk diri sendiri/kutu busuk di dalam hati/nyatanya aku telah mati// (Air Terisak Membelah Batu, 2014: 13)

Lapar adalah ibadah semesta untuk sejenak tidak bergerak, sekelebat beristirahat, serta sejengkal menepi dan menyepi. Tidak hanya bagi manusia, tetapi juga tumbuh-tumbuhan. Lapar adalah momen perenungan tentang betapa Tuhan telah menurunkan hujan deras kenikmatan dan anugrah yang tak pernah berhenti mengalir. Lapar seperti pintu tempat manusia kembali menyadari akan rahmat-rahmat-Nya. Zawawi Imron menarasikannya dalam puisi “Dengan Lapar” (Kelenjar Laut, 2013: 9):

Di gumuk penjaga jurang/akar-akar itu puasa pada akhir kemarau/Maka daun-daun ranggas, menjadi adat, menjadi musim/Kaubayar dengan hujan/makna selengkung lapar//Ah, seperti permainan! Tapi, ayat-ayat ini teramat dewasa/Untuk disebut permainan//Kata demi kata melembutkan kapas/dan memangkas halilintar/Dengan lapar kami belajar merindukan Engkau[..]

Puasa tidaklah hanya tentang lapar tetapi juga perjuangan menahan diri dan membersihkan hati. Makna itulah yang tergali dari puisi-puisi ulama kita, K.H. Mustofa Bisri. Melalui puisi “Nasihat Ramadlan buat A. Mustofa Bisri” dalam buku Pahlawan dan Tikus (2005), kiai yang akrab dipanggil Gus Mus mengisyaratkan puasa sebagai melawan nafsu kedirian.Yang dituntut untuk berpuasa adalah keseluruhan diri secara jasmani mulai dari kelamin, tangan, mulut, hidung, wajah, mata, telinga, rambut, kepala, kaki, dan tubuh; hingga rohani seperti batin dan pikiran.Dan yang paling penting, puasa puasa semata-mata adalah ibadah kepada Tuhan. Ditujukan kepada-Nya. Diserahkan kepada-Nya. Bukan demi ini itu. Bukan demi dunia atau isinya. […] puasakan dirimu/untuk menghayati Hidup//Tidak./Puasakan/hasratmu/hanya untuk/Hadlirat/Nya! (hal.71).

Puasa, bagi Gus Mus, adalah upaya untuk membersihkan sampah-sampah dari comberan hati seperti dengki, serakah, ujub, riya, takabur, dan penyakit-penyakit hati lainnya. Lebih jauh, kiai dari Rembang ini menegaskan nasihat bagi dirinya sendiri secara gamblang bahwa puasa merupakan upaya untuk merobohkan berhala dirimu/yang secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi/kau puja selama ini (hal. 71).Pada tataran literer, puisi Gus Mus nampak mengartikulasikan puasa sebatas ‘ke dalam’, menuju perbaikan pribadi. Namun, jika dimaknai lebih dalam, sajaknya menyiratkan bahwa puasa juga bernuansa sosial. Yaitu perbaikan diri dengan mengeliminasi sifat-sifat buruk turut serta dalam mencipta kebaikan dan menebarkan manfaat ke arah lingkup sosial.

Dimensi sosial puasa ini juga menjadi perhatian Djoko Saryono, penyair cum akademisi, dalam buku puisinya Solilokui Ramadan (2017). Sajak-sajaknya bertaburan kritik atas perilaku manusia yang berpuasa namun tidak mencapai tahap kedalaman ruhani. Yaitu orang-orang berpuasa dengan tetap mempraktekkan sifat-sifat buruk seperti dendam, benci, angkara, sombong dan merasa paling benar sendiri. Termasuk juga orang-orang yang berpuasa tetapi nihil kesadaran kemanusiaan untuk berbagi kepada sesama. Narasi puisinya mengafirmasi bahwa puasa yang tidak disertai dengan rasa kepedulian terhadap penderitaan sesama adalah puasa yang kosong dan tak berperikemanusiaan.

[…] Ohoi diri yang gamang, di manakah kau ada di antara kesendirian kaum papa, kesunyian pada dhuafa, dan peluang bersedekah bagi mereka?!” diriku kehilangan suara: tak ada kata-kata: sebab sedang sibuk belanja: mengumbar mata di toserba ternama […] (hal. 27)

Djoko Saryono seperti menasehati dirinya sendiri agar tidak terjerembab ke dalam golongan orang-orang yang malah sibuk membelanjakan harta materinya demi kesenangan duniawinya tanpa memperhatikan lingkungan sosialnya. Alih-alih berbagi, orang-orang ini lebih memilih untuk memadati pusat-pusat hiburan dan toko-toko perbelanjaan. Sajak-sajaknya berkisah:

[…] satu lukisan orang-orang merasa menuai kemenangan; sebab tuntas berlapar sebulan; sedang diriku menangguk kelelahan; lantaran menyaksikan orang-orang rakus belanjaan dan hiburan. “Ohoi diri yang daif, memang dunia kian lamur mana hakikat, mana pukat: hati-hati dirimu terjerat seperti banyak orang kau lihat.” […] (hal. 31)

***

Puisi-puisi tentang puasa anggitan para penyair di atas menyiratkan akan kedalaman keagamaan yang disebut oleh Paul Tillich sebagai religiusitas. Religiusitas adalah dimensi pengertian akan kehidupan yang tidak hanya bersifat lahiriah semata, tetapi juga menggali makna hidup yang lebih dalam, transenden dan bersifat ilahiah. Maka, seperti istilah Y.B. Mangunwijaya, dapat dikatakan bahwa para penyair ini merupakan hommo religius.

Walhasil, sajak-sajak mereka berdiri di atas dua sisi: profan sekaligus transenden dan transenden sekaligus humanis. Satu sisi, sajak-sajaknya adalah sajak profan yang mengaitkan hal-hal sederhana dan biasa dengan transendensi ke-Tuhan-an, seperti pemaknaan makan, minum, dan lapar yang bernuansa ibadah ilahiah. Di siisi lain, sajaknya juga mentransformasikan ibadah transenden menjadi lebih membumi dengan menekankan kepedulian kemanusiaan. Makna ini termaktub dalam pemaknaan puasa yang tidak hanya bersifat personal tetapi juga sosial, yaitu memaknai puasa sebagai refleksi pribadi dengan menyingkirkan sifat-sifat yang merugikan orang lain sehingga berubah menjadi manusia yang peduli sesama dan selalu menebarkan kebermanfaaatan sosial.

 

Komentar

Postingan Populer