BERPUASA SEBAGAI MINORITAS
Ramadan pada tahun 1443 H atau 2022 M ini menjadi pengalaman menarik bagi saya pribadi. Pada bulan puasa ini, saya berpuasa sebagai minoritas. Bukan karena saya tinggal di luar negeri atau di sebuah lingkungan desa yang mayoritas non-muslim, tetapi karena saya bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah internasional di Surabaya. Mayoritas muridnya adalah warga etnis Tionghoa yang memeluk agama Kristen, Budha dan Konghucu. Di kelas saya, misalnya, hanya terdapat satu anak yang beragama Islam. Pemilik sekolah dan ketua yayasannya juga seorang non-muslim.
Tulisan ini hendak mencatat tentang bagaimana praktik-praktik toleransi beragama hidup dalam lembaga pendidikan dengan mayoritas non-muslim pada bulan Ramadan. Tulisan ini menjadi menarik sebagai catatan awal untuk melihat sejauh mana toleransi beragama dipraktikkan di negara kita yang majemuk ini. Praktik toleransi beragama di lembaga pendidikan non-muslim ini dibagi jadi dua: kebijakan-kebijakan formal dan tradisi-tradisi non-formal.
Kebijakan-kebijakan formal tentang toleransi di bulan Ramadan mewujud dalam tiga hal. Pertama, sekolah secara resmi meliburkan hari pertama di bulan puasa untuk menghormati para guru, staf dan karyawan yang beragama Islam. Jauh-jauh hari, sekolah telah menetapkan bahwa pada tanggal 4 April 2022 adalah hari libur sesuai kalender akademik lembaga. Bahkan sebelum pemerintah menetapkan awal Ramadan yang jatuh pada tanggal 2 April. Padahal, sebagai perbandingan, Aparatur Sipil Negara (ASN) tetap diwajibkan masuk kerja pada hari pertama bulan Ramadan. Pada libur Hari Raya Idul Fitri pun, hari libur lembaga kami lebih banyak daripada hari libur negara. Keringanan libur ini menunjukkan pernghormatan bagi muslim di lembaga tersebut.
Kedua, pengurangan jam kerja selama Ramadan. Pada hari-hari biasa, jam kerja akan berakhir pada pukul 16.00. Namun, selama bulan puasa, para karyawan diperbolehkan untuk meninggalkan tempat kerja pada pukul 14.00. Padahal tidak ada ketentuan hukum yang secara tegas mengatur perbedaan waktu kerja bagi para pekerja pada bulan Ramadan. Sehingga, sebenarnya waktu kerja di bulan Ramadan sama seperti hari-hari normal lainnya. Jadi, kebijakan pengurangan jam kerja saat puasa adalah sebuah kebijakan yang berdasarkan toleransi.
Ketiga, lembaga mengeluarkan surat resmi kepada para orangtua siswa yang juga mayoritas beragama non-muslim. Surat tersebut menghimbau kepada para siswa untuk mengirimkan sedekah ke sekolah sebagai ajang latihan bagi siswa untuk berderma sosial. Dalam kegiatan ini, para siswa mengirimkan beras, minyak goreng, gula, mie instan dan jajanan kering ke sekolah. Kemudian, beberapa guru dan siswa hadir langsung ke sebuah yayasan panti asuhan islam di Surabaya untuk menghaturkan barang-barang sedekah tersebut. Selain itu, lembaga juga membagikan barang-barang sedekah kepada para satpam dan tukang bersih-bersih di kompleks perumahan tempat lembaga berdiri. Kegiatan ini menunjukkan praktik toleransi ketika derma sosial dari orang non-muslim ini dibagikan kepada mayoritas orang-orang islam.
Kebijakan-kebijakan formal ini menjadi bukti bahwa toleransi beragama tidak hanya dalam tataran ide dan tradisi yang hanya dilakukan oleh kalangan pegawai. Tetapi, toleransi juga telah menjadi jangkar pikiran para stakeholders lembaga pendidikan.
Sementara radisi-tradisi non-formal merupakan praktik-praktik toleransi beragama di bulan Ramadan namun tidak disahkan secara resmi oleh lembaga sebagai sebuah kebijakan. Namun, praktik-praktik ini hidup di lingkungan lembaga. Misalnya, para guru yang berkeyakinan berbeda juga mempraktikkan penghormatan kepada muslim yang berpuasa. Mereka selalu makan siang di Ruang Makan. Jarang sekali saya melihat guru yang mengudap jajanan di Ruang Guru, karena mereka tahu ada beberapa temannya yang sedang berpuasa. Guru dan karyawan juga menggelar acara buka bersama di sebuah warung makan meskipun beberapa guru tidak berpuasa. Tidak ada protes dan boikot, misalnya, tentang bahwa buka bersama itu hanya tradisi muslim, non-muslim tak perlu ikut buka bersama. Padahal, secara jumlah, guru non-muslim lebih banyak. Buka bersama berjalan dengan gayeng, penuh keakraban dan kebersamaan.
Para siswa yang mayoritas non-muslim juga menghormati guru yang berpuasa. Mereka selalu mengucapkan minta maaf pada saat jam makan siang kepada saya. Beberapa murid juga seringkali memberi saya bungkusan-bungkusan kudapa. “Untuk buka puasa,” kata mereka. Bahkan, menjelang lebaran seperti ini, beberapa dari murid tidak hanya mengucapkan Selamat Lebaran kepada guru muslim, mereka juga mengirimkan hampers lebaran. Hal ini membuktikan bahwa para siswa juga dididik oleh orangtua mereka untuk turut menghormati tradisi dan ibadah orang muslim ketika Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.
Praktik-praktik toleransi beragama di lembaga pendidikan yang majemuk seperti ini perlu dilestarikan, dipertahankan dan ditingkatkan. Kita tidak pernah tahu di masa depan mungkin penghormatan terhadap orang berpuasa semakin menghilang atau tidak. Tetapi, kita perlu tahu bahwa praktik-praktik toleransi perlu dijaga bersama-sama. Salah satunya adalah melalui tulisan. Catatan ini adalah apresiasi saya terhadap mayoritas warga non-muslim di lingkungan lembaga pendidikan internasional yang telah membuktikan bahwa praktik-praktik toleransi beragama itu benar-benar nyata dan ada.
Komentar
Posting Komentar