Perihal Pandangan terhadap Tindakan Medis; dari Operasi hingga Psikiater
Saya selama ini skeptis dan pesimis terhadap tindakan medis yang katanya dapat menyembuhkan penyakit-penyakit kronis. Paman saya meninggal pasca operasi kanker getah bening. Ibu dan Bibi saya meninggal karena kanker payudara tanpa sempat menjalani operasi. Keduanya merasakan trauma terhadap operasi karena takut meninggal seperti adiknya. Namun, pengalaman saya akhir-akhir ini merubah pandangan saya terhadap operasi dan tindakan medis.
Semua bermula saat nenek saya menderita penyakit stroke. Ini adalah serangan stroke pertamanya. Asal muasalnya adalah karena ia terjatuh di kamar mandi dan kepalanya membentur tembok. Di umurnya yang ke-79, ia nampak sehat dan bugar, tetapi ternyata ada darah menggumpal di dalam tempurung kepalanya pasca benturan itu. Akibatnya, seluruh raganya melemas dan tulang belulangnya tak berfungsi. Ia koma selama seminggu di rumah sakit.
Berdasarkan pemeriksaan CT Scan, dokter sebenarnya ingin sesegera mungkin untuk mengoperasi kepala nenek saya demi mengeluarkan gumpalan darahnya. Namun, operasi tidak dapat dilakukan mengingat kondisinya yang belum stabil. Selama koma, tanpa makan apa pun, nenek saya hanya minum dari pipet kecil setetes demi setetes. Sementara energi tubuhnya berasal dari infus belaka. Ia tak mampu lagi mengatupkan kelopak mata. Tak dapat lagi bergerak. Tak dapat lagi berbicara. Hanya berbaring di atas dipan. Seakan-akan hanya tinggal menunggu waktu,Malaikat Izrail akan menjemputnya.
Namun, Tuhan berkata lain. Mukjizat datang. Dan entah mendapatkan kekuatan dari antah-berantah, kondisi nenek sedikit membaik. Dokter memberi pilihan: dioperasi atau tidak sama sekali. Keadaan nenek saya yang masih koma dapat dikatakan menguntungkan karena keluarga tak perlu berurusan tentang trauma atau penolakannya terhadap operasi seperti Ibu dan Bibi saya. Akhirnya, keluarga mengambil keputusan bahwa operasi pengambilan gumpalan darah harus dilakukan.
Tindakan medis memang luar biasa. Saya dibuat takjub olehnya. Operasi pengambilan gumpalan darah di kepala nenek saya berhasil dengan gemilang hingga perlahan tapi pasti ia kembali sehat seperti sebelumnya. Padahal, ia sebelumnya koma tanpa harapan sembuh. Sehari pasca operasi, ia telah kembali membuka mata. Dua hari berikutnya, ia telah mampu menggerakkan kaki dan tangannya, duduk di kursi roda dan kembali banyak berbicara.
Dokter berkata: “Besok sudah boleh pulang. Tapi, Mbah harus banyak berlatih duduk, menggerakkan tangan dan kaki. Perlahan-lahan, semuanya akan kembali pulih.” Operasi medis telah membalikkan 180 derajat kondisi fisik nenek saya.
Ini adalah pengalaman pertama saya menyaksikan keberhasilan operasi medis. Dan saya menyimpulkan bahwa keberhasilan tindakan medis nenek saya disebabkan ketepatan dan kecepatan penanganan. Andai nenek saya tidak segera dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami benturan. Andai ia hanya dirawat di rumah saja. Andai ia tidak segera dioperasi (Di Indonesia, masih banyak keluarga yang tidak sepakat terhadap tindakan operasi). Andai kita masih berurusan dengan trauma dan ketakutannya terhadap operasi dan perlu sekuat tenaga membujuknya, Tentu, nenek saya tidak akan mampu bangun dari koma tidur panjangnya.
Akan tetapi, pasca operasi, nenek saya ternyata belum sembuh secara total. Masih ada masalah berikutnya: nenek saya tak mampu tidur setelah operasi hingga satu minggu lebih lamanya. Setelah dikonsultasikan kepada dokter bedah dan dokter syaraf yang menanganinya saat operasi, mereka tak banyak memberikan jawaban. Obat tidur mereka hanya mampu menidurkan nenek saya dalam lima menit.
Akibat tak pernah tidur, pikiran nenek saya seperti mengambang dan melalangbuana tak tentu arah. Kesadarannya akan realitas menghilang. Ingatannya putus-nyambung putus-nyambung. Ia seperti melihat ibunya (Mbah Buyut saya) duduk mendampinginya. Ia sering menggigau tentang kecambah di kulkasnya. Ia sering menanyakan tentang bantal kesayangannya. Ia seperti melihat sepasang anak kecil yang berlarian di kamar lainnya. Banyak hal yang ia saksikan tetapi kami sama sekali tidak melihatnya.
Celakanya, bukan nenek saya saja yang tak tidur, para keluarga juga dipaksa untuk tak tidur. Setiap lima menit sekali, di tengah malam, nenek saya akan menjerit kesakitan dan merengek memanggil-manggil ibunya. Para penjaganya dipastikan akan begadang semalaman mengurusnya.
Atas saran seorang kerabat jauh, nenek saya dibawa ke psikiater meski diperlukan perdebatan panjang keluarga. Kata psikiater yang telah bergelar doktor itu, nenek saya mengidap kecemasan akut dan ketakutan akibat sakitnya. Nenek saya akhirnya pulang dengan membawa tujuh macam obat, mulai dari obat tidur, obat cemas, obat lambung dan sebagainya. Malam itu juga, nenek saya akhirnya mampu memejamkan mata. Pelan dan pasti, kesadarannya mulai kembali. Ia dapat mengenali anak dan cucu-cucunya. Apa yang ia saksikan adalah apa-apa yang kami lihat. Keluarga tak lagi ikut begadang bersamanya.
Pada titik ini, saya kembali terhentak. Karena kasus nenek saya, saya akhirnya percaya bahwa masalah kesehatan tidak hanya mengenai fisik saja, tetapi juga jiwa dan mental manusia. Kesehatan psikologis manusia adalah hal yang sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Saya tidak lagi menganggap remeh permasalahan mental, aspek-aspek kejiwaan dan hal-hal berbau psikologis bagi orang sakit.
Seperti kata psikiater tersebut bahwa orang dengan penyakit kronis atau penyakit menahun tidak cukup hanya dengan motivasi-motivasi penyemangat hidup dan petuah-petuah agama semisal sakit adalah jalan menghapus dosa atau sabar akan membuahkan pahala bagi orang sakit. Tindakan operasi pada pasien tidak hanya membutuhkan dukungan keluarga tetapi juga penanganan psikiater demi kesiapan mental pasien.
Kini, meski masih rajin kontrol ke Rumah Sakit atau ke psikiater, nenek saya telah sembuh. Ia telah banyak berbicara lagi, dapat berjalan lagi, dan tangannya telah mampu memegang sendok demi menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Disebabkan kesembuhan nenek saya, skeptisisme dan pesimisme saya terhadap tindakan medis akhirnya menghilang. Jika ditangani dengan sigap, cepat dan tepat, tindakan medis punya peluang besar untuk berhasil. Saya berandai-andai: Bibi dan Ibu saya dulu tentu masih memiliki peluang sembuh dan hidup jika mereka sesegera mungkin memeriksakan diri ketika masa awal pertumbuhan kanker payudara. Tidak menunggu kanker membesar, baru dioperasi. Secepat mungkin diperiksakan ke dokter dan selekas mungkin dioperasi.
Berkaca dari kasus nenek saya pula, selain penanganan fisik dengan operasi, pengobatan psikologis sebelum dan sesudah operasi juga diperlukan. Dahulu, Ibu dan Bibi saya merawat trauma bahwa ia tak mau dioperasi karena adiknya toh juga meninggal setelah dioperasi. Dengan membawanya ke psikiater sebelum dioperasi, Ibu dan Bibi saya berpeluang untuk mampu mengikis traumanya. Berkat ditangani profesional, keduanya tentu akan lebih siap secara mental untuk menghadapi operasi.
Walakhir, pengalaman mendampingi nenek saya selama lima bulan terakhir telah benar-benar merubah pandangan saya terhadap operasi dan tindakan medis. Operasi medis yang sigap dan didukung dengan pengobatan mental telah mengembalikan nenek saya menjadi kembali sehat dan bugar.
Komentar
Posting Komentar