Sastra Menggugat Stigma Anak Kembar
*esai ini dimuat di Pos Bali pada Sabtu 2 Juli 2022
Anak kembar adalah bagian dari kehidupan masyarakat kita. Setidaknya, selama kita hidup, kita pernah bertemu anak kembar. Anak kembar itu dapat berupa teman, tetangga, saudara, orang asing di tepi jalan atau bahkan keluarga kita sendiri.
Hurlock dalam buku Child Development (1978) menjelaskan definisi “anak kembar” sebagai kelahiran dua bayi atau lebih dalam jangka beberapa jam atau hari; dapat berupa kembar dua, kembar tiga, kembar empat dan kembar lima. Menurut laporan BBC pada 14 Maret 2021, terdapat 1,6 juta anak kembar lahir setiap tahun di seluruh dunia atau terdapat satu dari 42 anak terlahir kembar.
Sebagai minoritas dalam masyarakat, anak kembar seringkali mendapatkan diskrimasi, terutama stigma-stigma akan kesamaan sifat dan pemikiran mereka. Terdapat asumsi-asumsi bahwa anak kembar memiliki hobi yang mirip dan ketertarikan (interest) yang serupa. Di tambah lagi, hal apa pun yang melekat pada anak kembar sering diperbandingkan. Dalam hal prestasi akademik, kecerdasan emosi, pola tingkah laku, hingga cara berpakaian. Scheinfield dalam buku Twins and Supertwins (1973) menyatakan bahwa anak kembar yang selalu dianggap sama dan dituntut untuk sama, memiliki tekanan yang sangat besar ketika dibandingkan dengan saudara kembarnya.
Dari segi tubuh fisik, anak kembar memang memiliki kemiripan. Namun, dalam hal sifat, kebiasaan dan pemikiran, anak kembar banyak memiliki perbedaan. Berk dalam buku Child Development (1989) menulis bahwa saudara kembar memilih untuk memiliki hobi yang berbeda dengan saudara kembarnya demi menunjukkan eksistensi mereka dan melepaskan diri dari identitas saudara kembarnya. Perbedaan ketertarikan ini adalah proses pencarian identitas dari anak kembar.
Pencarian identitas anak kembar ini menjadi topik utama dalam novelet Bukan Pinang Dibelah Dua (2003) karya Ratna Indraswari Ibrahim. Novelet ini menceritakan dua anak kembar yaitu Yana dan Yani dengan segala perbedaan sifat, karakter dan orientasi hidup. Melalui novelet ini, si penulis seolah-olah hendak mendobrak stigma masyarakat yang menyamakan sifat dan karakter anak kembar.
Stigma tentang kesamaan anak kembar bahkan bermula dari lingkungan terdekat si kembar, yaitu orang tua mereka.
Mama dan Papa tidak pernah menganggap saya sebagai Yana, yang punya pendapat dan selera berbeda dengan Yani. Mama dan Papa, seperti kebanyakan masyarakat, menganggap orang kembar itu punya prinsip, selera dan pendapat yang sama dalam segala hal. [hlm. 4]
Melalui kalimat-kalimat yang merefleksikan pemikiran Yana, Ratna Indraswari Ibrahim mengajukan gugatan-gugatan atas pendapat masyarakat yang menghakimi anak kembar dengan melakukan generalisasi atas kesamaan watak anak kembar. Padahal, anak kembar juga ingin mengkontruksi identitas mereka sendiri berdasar atas kehendak dan kesenangan mereka.
Menurut mereka [orang tua], setiap anak kembar seharusnya selalu bersama. Tetapi saya tidak akan pernah sepaham dengan pendapat mereka. Saya punya cita-cita, selera yang jauh berbeda dengan Yani. Mengapa orang tua maupun masyarakat selalu menganggap adalah kekeliruan yang fatal kalau saya berbeda dengan Yani? [hlm. 21]
Demi menegaskan perbedaan Yana dan Yani, novelet ini mencontohkan perbedaan keduanya dari hal keseharian yang teramat sederhana namun nyata, yaitu berbicara dan mendengar. Yani digambarkan sebagai orang yang suka berbicara, sedangkan Yana lebih menjadi pribadi yang banyak pendengar. Ratna sebagai penulis novelet seakan-akan menyatakan bahwa perbedaan anak kembar begitu jelas tetapi seringkali diabaikan oleh masyarakat.
Dalam hal pengambilan keputusan, Yana lebih mengandalkan imajinasi, sementara Yana nampak logis dan rasional. Hal ini berimplikasi pada pilihan karir keduanya. Yani dengan pendidikan tekniknya ingin menjadi seorang insinyur. Sementara Yana ingin menjadi seorang pengarang.
Sifat keduanya yang berbeda ini juga berdampak pada cara pandang mereka dalam melihat kehidupan. Yana lebih mengalir dalam kehidupan dan berprinsip ‘jalani saja dulu’. Sedangkan Yani adalah orang yang penuh perencanaan dalam mengatur masa depannya.
Contoh kasusnya adalah tentang pekerjaan yang akan diambil Yana. Dengan papa sebagai pakar ekonomi dan mama seorang sutradara bereputasi, Yani berpendapat bahwa Yana seharusnya melapor kepada orang tua mereka yang memiliki pengaruh dan kekuasaan agar Yana mendapat pekerjaan bagus. Yani berpikir bahwa anak harus mengambil manfaat dari kebesaran orangtua mereka.
Kalau kita sekarang ada dalam bayang-bayang kebesaran nama orang tua, Yana, itu konsekuensi logis kita, karena menjadi anak-anak orang terkenal. Sungguh saya tidak pernah merasa rikuh, sebab saya tahu banyak keuntungan yang bisa saya peroleh karena kita adalah anak-anak orang terkenal. [hlm. 3]
Namun, Yana lebih memilih untuk mencari pekerjaan sendiri tanpa bantuan dari kedua orang tuanya. Ia tidak ingin terbayang-bayangi oleh kebesaran orangtuanya. Yana ingin menjadi orang yang idealis, bebas dan mandiri dengan bekerja di rumah pamannya di luar kota.
Sebab saya adalah Yana yang tidak ingin pernah lagi dikaitkan dengan nama besar keluarga saya. Di kota kecil itu, pasti masyarakat tidak akan mengetahui siapa keluaga dan saudari kembar saya. Bisa jadi, saya akan mulai dari nol. Kesuksesan pasti berhasil saya dapatkan dengan jerih payah sendiri. [hlm. 9]
Novelet ini merepresentasikan sosok anak kembar yang memiliki banyak perbedaan identitas dalam hal sifat, kegemaran, pemikiran dan orientasi hidup. Yana melalui pilihan-pilihan hidupnya terus berusaha mengkontruksi identitasnya sendiri tanpa bayang-bayang orang tuanya dan kembarannya. Karena pencarian identitas adalah proses manusiawi dari setiap orang, termasuk Yana sebagai anak kembar.
Komentar
Posting Komentar