Kota dalam Kata-Kata Sastra
*Tulisan ini dimuat di koran Malut Post pada 29 Juli 2022
Kota adalah anak kandung modernitas. Ia bertumbuh dan bergeliat bersama industri yang masuk ke desa. Desa-desa bertransformasi dan berevolusi, apalagi selepas kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Kota, secara definitif, dihadap-hadapkan dengan desa dalam sebuah oposisi biner. Namun, kota, pada dasarnya, tidak sesederhana itu. Kata kota diidentikkan dengan keramaian, kemudahan akses pendidikan, ekonomi dan kesehatan, jalan raya yang lapang plus kemacetannya, gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik dan keterserapan tenaga kerja serta budaya modern yang dianut warganya. Memaknai kota adalah melihatnya dengan utuh dan berkesinambungan. Salah satunya adalah dengan kaca mata sastra dan kebudayaan.
Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Dijumpai adalah sebuah tawaran menarik dari Raudal Tanjung Banua dalam mencatat pertumbuhan kota-kota dari perspektif sastra. Kota-kota dibingkai menjadi tokoh utama dalam cerita-cerita yang acak, maju-mundur, tak beraturan dan kaya data. Berangkat dari rekam perjalanan dan pengalamannya, Raudal dengan piawai meramu kumpulan cerita yang memuat banyak hal tentang sebuah kota. Mulai dari politik, latar alam, konflik sosiologis, pertumbuhan ekonomi hingga budaya populer. Semuanya dirangkum dan diikat dengan satu kata; kota.
Menyuntuki cerita-cerita dalam buku ini, pembaca dibawa menyusuri bentangan kota-kota di Indonesia dari ujung barat hingga ujung timur. Membaca cerpen-cerpen ini seperti halnya bepergian, berjalan-jalan, berwisata dan berpelesir ke kota-kota kecil di Indonesia. Pembaca bisa merasakan atmosfer Kota Tarakan, meloncat ke Kota Wamena, ke Maumere, ke Trenggalek, ke Kota Majene, ke Kota Asembagus dan banyak lagi. Raudal menyisirnya dalam kategori-kategori yang cukup memudahkan seperti Kota-Kota Hikayat, Dua Kota Ikan, Kota-Kota Rantauan, Kota-Kota Air, Kota-Kota Kecil Sepak Bola, Kota Rawa dan Kota-Kota Gaib.
Raudal, dalam sebuah diskusi bukunya di Malang, tidak mengikat “kota”-nya dengan definisi kota yang ditawarkan oleh Kementrian Dalam Negeri atau Undang-Undang yang terlalu administratif. Bukan kota kecamatan, kota kabupaten atau pusat keramaian belaka, namun ia berangkat dari sebuah ide yang bernama konflik laten. Walhasil, kumcer ini penuh dengan konflik-konflik yang tertebar di setiap penjuru. Bahkan satu cerpen pun bisa merangkum konflik berlapis dari berbagai kota.
Melalui kumcer ini, Raudal mengintrodusir bentuk pembaruan dalam kaitan kajian sastra dan kota. Kumpulan cerita ini menjadi menarik karena ia mendobrak segala bentuk kemapanan (establishment) dalam karya sastra, setidaknya dalam empat hal.
Pertama, konten cerita berpusat pada kota-kota kecil yang tersebar dari ujung Sumatera hingga perbatasan Papua. Berbeda dengan kebanyakan penulis yang mengekplorasi kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Jogjakarta, Raudal malah mengangkat kota-kota kecil yang kadang orang Indonesia sendiri tidak familiar dengan namanya karena keterpencilan letaknya atau terlalu luasnya wilayah negara ini. Seperti saat ia mengulas tentang Muncar, kota pelabuhan kecil di ujung timur Pulau Jawa.
“Kami melanjutkan perjalanan lebih ke selatan, memasuki lorong-lorong dan jalan-jalan sempit Kota Muncar; jalan yang mestinya diperlebar tanpa harus menjadikan deretan pohon asam sebagai alasan. Kini aku pun paham benar-benar tak punya alasan untuk menghindar dari kenyataan bahwa pelabuhan dan kota ikan di mana-mana sama saja.” (Dua Kota Ikan, hal.70)
Kota kecil dengan ragam persepektif dan konflik yang ia tawarkan memperkaya diskusi dan wacana tentang kajian sastra kota (urban literary studies) dengan sastra sebagai titik pijak dan pintu masuk yang menarik. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa diajukan; bagaimana sebuah karya sastra mengilhami pembentukan penataan dan grand design sebuah kota atau tata kota yang menginspirasi lahirnya karya sastra, bagaimana seorang arsitektur menautkan gedung yang ia bangun dengan karya sastra yang pernah ia baca sebelumnya, bagaimana sebuah konflik sosial di sebuah kota terjadi karena terbitnya karya sastra atau karya sastra yang membuat konflik laten di kota kecil dan masih banyak lagi.
Kedua, Raudal bermain-main dengan eksplorasi estetis dalam cerpen-cerpennya. Ia merangkai fiksi dan fakta, memadukan imajinasi dan kenyataan. Tekniknya pun berubah-ubah; kadang naratif, bisa deskriptif, seperti esai atau bahkan laporan reportase. Kota-kota dalam tulisan Raudal adalah kota nyata yang dapat di temukan di Indonesia. Namun, imaji fiksi juga meletup dalam kota-kota buatannya.
Ketiga, tidak seperti sastra perjalanan (travel literature) yang sedang marak akhir-akhir ini, Raudal memilih jalan berbeda. Sastra perjalanan belakangan kebanyakan berisi tulisan pengalaman subjektif yang penuh rasa kekaguman akan tempat-tempat baru, tips dan trik dalam berpetualang atau kendala-kendala yang dihadapi. Perjalanan ke kota dalam tulisan Raudal bukanlah seperti turis yang penuh takjub dalam mengeksplorasi keindahan dan eksotisme belaka. Wisata dalam buku ini juga tidak terjebak dalam penyakit kolonialisme dimana orang kota ‘besar’ dengan kaca mata superior dan terdidik memandang ‘rendah’ kota-kota ‘kecil’ yang dikunjunginya. Namun, Raudal menggali ceritanya dari konflik-konflik yang menghinggapi kota-kota kecilnya. Jadi, cerita buku ini dapat dikategorikan sebagai sastra perjalanan yang berbeda dan unik.
Maka, kumpulan cerita pendek garapan Raudal Tanjung Banua ini merekam kota melalui konflik, berayun dalam alunan kota imajiner dan kota nyata serta mencatat turisme perjalanan dari sisi yang berbeda. Membolak-balik halamannya adalah menjelajahi kota-kota dalam kata-kata sastra.
Komentar
Posting Komentar