Sastra dan Inklusi Disabilitas
Kaum disabilitas sebagai kaum minoritas masih kerap kali terabaikan dalam akses-akses kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan layanan-layanan lainnya. Selama ini, perwujudan ruang inklusi dalam realitas kehidupan sosial bagi penyandang disabilitas masih jauh panggang dari api. Kelompok yang mencapai 22,5 juta atau sekitar 5 persen dari penduduk Indonesia ini masih sangat rentan terhadap segala bentuk diskriminasi dan marginalisasi.
Disabilitas masih dipandang sebagai kecacatan dan ketidakmampuan sehingga kaum ini masih dianggap sebagai liyan. Akses pendidikan dan kesehatan yang kurang mendukung, ruang publik yang tidak ramah difabel hingga diskriminasi dalam lapangan kerja adalah bentuk-bentuk minimnya perhatian terhadap kelompok ini. Bahkan, alih-alih ada ruang inklusif yang tercipta, kaum difabel malah mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi sosio-psikologis mereka.
Disabilitas bukan hanya masalah kondisi fisik yang harus diperjuangkan secara medis, melainkan juga konstruksi sosial tentang bagaimana masyarakat memandang dan memperlakukan kaum difabel. Pada aras itulah, sastra berdiri. Karya sastra bergerak dengan mencatat mengapa laku diskriminatif secara sosial dapat terjadi dan rasa pedih penderitaan seperti apa yang dirasakan oleh para kaum difabel ini. Karya sastra dapat menjadi pelantang dalam menyuarakan perhatian tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak difabel.
Secara historis sastra Indonesia telah membuktikan mampu menyuarakan narasi-narasi pinggiran dari suara-suara yang terbungkam dan tidak terdengar. Jeritan penderitaan, ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan marginalisasi menemukan corong pengerasnya melalui suara-suara sastra. Oleh karena itu, melalui karya sastra, upaya mewujudkan inklusi bagi para penyandang disabilitas dapat disuarakan.
Salah satu novel yang menceritakan tentang kaum difabel adalah novel Biola Tak Berdawai (2004) karya Seno Gumira Ajidarma. Novel ini menjadi cerminan bagaimana difabel digambarkan dalam realitas sosial. Dafabel dicap dengan kesan negatif sebagai individu yang tidak sempurna dan cacat sehingga dipersepsikan tidak normal, tidak berguna, dan ditolak kehadirannya. Bahkan, keluarganya sendiri menganggap kaum difabel sebagai kutukan Tuhan dan pembawa kesialan.
Pandangan diskriminatif ini masih bertengger di kepala mayoritas masyarakat sehingga orang yang tidak normal ini harus dinormalkan, disembuhkan, atau direhabilitasi. Beberapa orang harus ditempatkan di tempat-tempat khusus yang terkotak-kotak sehingga makin tampak ketidaknormalannya. Alih-alih memfasilitasi kaum difabel untuk berkembang dan hidup sesuai dengan kemampuan mereka, masyarakat malah memojokkan mereka dalam label-label diskriminatif yang sempit. Novel Biola Tak Berdawai mendokumentasikan kelompok masyarakat yang kurang beretika dan kurang bermoral dalam memperlakukan kaum difabel.
Namun, di sisi lain, Seno juga menyampaikan gagasannya tentang difabel melalui sudut pandang difabel itu sendiri. Melalui tokoh Aku yang seorang tunadaksa, Seno mengonstruksi cerita bahwa sumber diskriminasi dan marginalisasi kaum difabel tidak berasal dari kaum difabel sendiri, tetapi anggapan subjektif dan kesalahpahaman masyarakat dalam memandang kaum minoritas ini. Padahal, tokoh difabel yang bernama Dewa ini juga memiliki cara tersendiri dalam melihat dan mendengar hingga ia mampu merasakan keindahan ciptaan Tuhan. Tidak seperti anggapan umum masyarakat, kaum difabel dalam novel ini digambarkan sebagai pribadi yang kuat dan mampu menghadapi pelbagai cobaan kehidupan.
Kekuatan orang-orang penyandang disabilitas seperti yang ditulis oleh Seno juga terungkap pada cerita pendek berjudul “Sarap” karya Okky Madasari. Cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Yang Bertahan dan Binasa Perlahan (2018) tersebut menunjukkan bahwa orang-orang difabel yang dianggap sarap, tidak mampu, tidak normal, cacat, dan sebagainya bukanlah seperti yang kita kira. Sejatinya, setiap orang memiliki kelebihan masing-masing. Okky menulis bahwa tokoh difabelnya memiliki kemampuan berpikir.
Dalam cerpennya yang lain berjudul “Bahagia Bersyarat”, Okky Madasari juga menulis tentang pergulatan keluarga yang memiliki anak yang mengidap disabilitas. Pada mulanya, sepasang suami-istri berbahagia karena mereka akhirnya dianugerahi anak setelah 5 tahun menunggu. Namun, kebahagiaan itu memudar setalah mengetahui bahwa anak mereka mengidap cacat mental. Sang suami pun tampak menyalahkan sang istri. Bahkan, sang suami mau menikah lagi setelah tidak tahan dan menganggap anaknya yang cacat mental sebagai beban. Akhirnya, karena melihat suaminya akan menikah, amarah sang istri meledak dan kemudian menghabisi nyawa ayah dari anaknya itu. Cerita pendek ini menarasikan pergulatan keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas. Kesimpulannya adalah bahwa difabel masih belum bisa diterima di lingkungan sosialnya, bahkan oleh keluarganya sendiri (termasuk ayahnya).
Ratna Idraswari Ibrahim adalah seorang sastrawan yang duduk di kursi roda karena terserang penyakit folio. Namun, ratusan cerita pendek dan beberapa novel lahir dari kecermerlangan pikirannya. Keterbatasan fisiknya tidak menyurutkannya untuk membela ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan kaum difabel.
Melalui karya-karyanya, seperti Menjelang Pagi (1995), Lakon di Kota Kecil (2001), Namanya Massa (2002), dan Bukan Pinang Dibelah Dua (2003), Ratna menyuarakan perlawanannya terhadap patriarki dan diskriminasi terhadap kaum difabel. Bahkan, cerpennya “Rambutnya Juminten” dan novel Lemah Tanjung menjadi dokumentasi penting tentang upaya perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan serta eksploitasi lingkungan.
Kiprah Ratna menunjukkan bahwa penyandang disabilitas adalah orang-orang yang tangguh dan juga memiliki kemampuan. Dari atas kursi roda, ia tetap berjuang dan membela keadilan serta melawan bentuk diskriminasi dan penindasan dalam bentuk apa pun. Ratna berpendirian bahwa difabel haruslah menjadi subjek yang mandiri dan Tangguh, bukan menjadi objek yang dikasihani terus-menerus. Meneladaninya adalah bentuk syukur bagi orang-orang yang lengkap secara fisik untuk tidak tinggal diam terhadap ketidakadilan dan ketimpangan di sekitar kita.
Akhirnya, membaca karya sastra yang menarasikan kaum difabel adalah upaya untuk mengetahui rasa dan pikiran mereka. Harapannya adalah perhatian lebih terhadap kaum difabel dapat digalakkan. Akses layanan umum, seperti pendidikan, Kesehatan, dan pekerjaan bagi penyandang disabilitas dapat terbuka lebar dan ruang-ruang inklusi semakin tersebar di tempat publik. Perlakuan terhadap penyandang disabilitas adalah sebuah bukti kadar kemanusiaan kita.
*Esai ini dimuat di Harian Rakyat Sultra pada Senin, 28 November 2022
Komentar
Posting Komentar