“Membaca Sastra di Kota Malang; Catatan Sewindu Pelangi Sastra”

 


Beberapa hari yang lalu, tepatnya 8 Juli 2018, Pelangi Sastra Malang memperingati ulang tahunnya yg ke-8. Komunitas yang berfokus pada perkembangan sastra ini telah sewindu mewarnai kehidupan sastra budaya di Kota Malang dengan segala dinamika yang mengiringinya. Melalui  forum-forum diskusi, bincang-bincang buku, dan  gelar panggung baca sastra, komunitas ini mencoba untuk memasyarakatkan sastra dn menyastrakan masyarakat dalam alur distribusi wacana dn pengetahuan. Dalam waktu yang cukup panjang untuk sebuah komunitas, setidaknya kita perlu menggarisbawahi dan memberikan perhatian pada gerakan komunitas ini dan dampaknya bagi publik dan masyarakat Malang.

Seperti yang sering diutarakan oleh Denny Mizhar, penyair dn koordinator Pelangi Sastra, bahwa kelompok ini berupaya menjadi terminal sastra; tempat bertemu, berkumpul dan berhenti orang-orang yang menggandrungi sastra. Terminal ini membuka ruang-ruang pertemuan kreatif para sastrawan 'pusat' dengan 'daerah' dan  'senior' dengan 'junior'. Tercatat banyak penulis yang telah berhenti dan berdialektika di tempat ini; seperti Eka Kurniawan, Okky Madasari, Agus Noor, Putu Fajar Arcana, Eko Triono, Dadang Ari Murtono, Mashdar Zainal, Faisal Oddang dan sebagainya.

Grup ini juga menyediakan karya-karya sastra lintas generasi dan lintas wilayah seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, W.S. Rendra dan sebagainya. Dengan akses yang terbuka dan ketersediaan novel, kumpulan cerpen dan buku puisi, masyarakat bisa mendapatkan sumber pengetahuan yang berharga dari dunia sastra. Kedua hal ini; kunjungan sastrawan dn ketersediaan karya sastra, tidak dapat dipungkiri komunitas ini mampu memperkaya dn memperluas dinamika sastra budaya di kota Malang.

Selain interaksi dengan sastrawan dari luar kota, komunitas ini juga menggali dn menelusuri penulis-penulis 'asli' dari Malang sendiri. Ratna Indraswari Ibrahim, sastrawan dan aktivis perempuan di medio 70an dan 80an, dihayati pemikiran dn karya-karyanya dalam forum baca novel "Lemah Tanjung" yang dilakukan secara rutin. Wahyu Prasetya, penyair yang membumbung di tahun 80an, juga diperingati hari mangkatnya untuk dipelajari jejak kepenyairannya dan kisah kehidupannya pada Sabtu 12 Mei 2018. Dibedah pula buku "Literature; suara dari Hutan Jenar", agar generasi kini mampu merekam dan mengetahui bahwa Malang memiliki penyair besar.

Generasi sastrawan senior di Kota Malang juga ikut bergelut, turun gelanggang dn menghidupi komunitas ini. Tokoh-tokoh seperti Djoko Saryono, Nanang Suryadi, Tengsoe Tjahjono dan Yusri Fajar bahu-membahu mendidik secara kultural anak-anak muda yang gandrung sastra. Hal ini juga menyuntikkan semangat kepada generasi kini untk belajar dn mempelajari sastra atau berproses dengan giat untk menjadi penulis dn pengarang di masa depan. Karya-karya sastra mereka dapat dengan mudah ditemukan, dan dijadikan pembelajaran untuk bagaimana menulis karya sastra yang baik. Tidak hanya melalui karya sastra, interaksi secara langsung dan pertemuan face-to-face dengan para sastrawan Malang tersebut untk memperbincangkan sastra dn karya kreatif mampu menciptakan aura positif di kalangan anak muda. Tak pelak, banyak penulis muda yang lahir dari rahim komunitas ini seperti Dwi Ratih Ramadani, Royyan Julian dan Felix Nesi dengan karya-karya yang terus terbit dn bermunculan. Jalur genealogi sastra di Malang semakin menemukan bentuknya dalam pelestarian karya sastrawan yang telah meninggal, turun gunungnya sastrawan senior dan pertumbuhan penulis-penulis muda. Maka, optimisme akan perkembangan kehidupan sastra di Kota Malang patut untuk diangkat.

Dalam proses penyemaian semangat kesastraan, Pelangi Sastra menjalin kerjasama dgn bidang kesenian lain seperti film dn musik untuk saling mengisi dan berbagi proses kreatif dalam menciptakan wacana kebudayaan di Malang. Dalam genre film, Pelangi Sastra bekerja sama dgn Parade Film Malang dalam diskusi wacana ekranisasi dan alih wahana dari karya sastra ke bentuk seni film. Dalam musik, beberapa puisi karya penyair Denny Mizhar menjadi lirik-lirik liris dalam lagu-lagu grup musik Hankestra. Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono juga digarap oleh grup musik Kerabat Swara dalam album "Kisah Kopi dn Kisah Penyair". Alih wahana ini dapat menjadi adaptasi positif dalam proses kreatif dan kekaryaan di bumi arema ini.

Untuk merespon ulang tahun Kota Malang yang jatuh pada tanggal satu April, Pelangi Sastra mengadakan “Pekan Sastra dan Lapakan Buku” dari tanggal 2-7 April 2018 sebagai perwujudan upaya bahwa kota ini juga bergulat dengan tradisi sastra yang berakar kuat, mempunyai jalur (trajectories) silsilah yang jelas dan kekhasan tersendiri dalam ekspresi estetik sastra. Seperti yang diungkapkan oleh Djoko Saryono bahwa Malang sebagai ruang pertemuan antar budaya menciptakan ruang ekspresi yang kosmopolit. Budaya yang dibawa pendatang bercampur dengan budaya arek dan budaya mataraman menghasilkan estetika diasporik yang juga terefleksikan dalam karya-karya sastra penulis yang berasal dari Malang atau penulis yang berproses di Malang. Walhasil, budaya kosmpolit dan estetika diasporik ini menjadi ciri khas yang unik dalam novel, cerita pendek atau puisi-puisi yang berasal dari Malang.

Malang sebagai kota tidak hanya didefinisikan sebagai ruang administratif dan sosiologis belaka, tetapi juga bergulat dengan aspek ekonomi, pendidikan dan budaya serta sastra. Maka, perkembangan sastra di suatu daerah dapat menjadi suatu indikator dalam menilai kemajuan sebuah kota. Di usianya yang kedelapan, Pelangi Sastra dan segala aktivitas geraknya telah mencoba untuk mendefinisikan Kota Malang dengan mengisi lini budaya sastra sebagai medium perjuangan untuk terus mengangkat harkat kemanusiaan.

*M. Rosyid HW

Komentar

Postingan Populer